Syariah

Toleransi: Kunci dan Solusi Perdamaian Dunia

Sel, 14 November 2023 | 14:00 WIB

Toleransi: Kunci dan Solusi Perdamaian Dunia

Keragaman agama yang harus mengedepankan toleransi. (Foto: NU Online/Freepik)

Nabi Muhammad saw mengibaratkan manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai penumpang-penumpang satu perahu yang terdiri dari dua tingkat.  Begitu kata Profesor Quraish Shihab dalam pengantar buku  Toleransi; Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Kebaragamaan [Ciputat; Lentera Hati, 2022], halaman x. Sebagian penumpang dalam perahu itu tinggal di bagian bawah, sedangkan sebagian lainnya di tingkat atas. 


Manusia yang berada di bawah bila akan dan ingin memperoleh air, maka harus naik melewati para penumpang yang di atas. Dalam kondisi ini mereka berkata: “Seandainya kita melubangi perahu untuk mengambil air agar kita tidak mengganggu para penumpang yang di atas” 


Nabi Muhammad selanjutnya menegaskan bahwa: “Apabila para penumpang membiarkan mereka melubangi perahu, maka mereka semua akan binasa (tenggelam), tetapi bila penumpang yang di bawah dicegah, maka mereka semua akan selamat.” 


Dalam hadits tersebut, perumpamaan tersebut menggambarkan situasi di mana terdapat dua kelompok penumpang dalam sebuah perahu. Kelompok penumpang yang berada di tingkat bawah ingin mengambil air, tetapi mereka tidak ingin mengganggu penumpang yang berada di tingkat atas. Mereka pun memilih untuk membocorkan perahu untuk mendapatkan air yang dibutuhkan.


Tindakan membocorkan perahu demi mendapatkan air, pada awalnya mungkin tampak tidak mengganggu, tetapi pada akhirnya akan mengakibatkan kebinasaan semua penumpang. Lambat laun, perahu akan bocor parah dan menyebabkan tenggelam, dan semua penumpang akan ikut tenggelam.


Maka langkah yang tepat, kata Profesor Quraish Shihab, para penumpang yang atas mencegah penumpang di tingkat bawah melubangi perahu. Mereka dibiarkan dengan hati terbuka, mengambil air ke atas. Dengan begitu, kerusakan perahu akan dapat dicegah. Pun penumpang akan selamat dari karam di tengah lautan.


Perumpamaan yang diungkapkan Prof Quraish Shihab tadi, mirip situasi sekarang ini.  Era saat ini, manusia tengah berada dalam situasi globalisasi. Dunia telah menjadi semakin saling terhubung, sehingga kita dapat dianggap sebagai penumpang dalam sebuah perahu yang sama. Setiap orang di dunia memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. 


Globalisasi telah melahirkan konsep warga negara global [citizen of the word]. Konsep ini didasarkan pada gagasan bahwa umat manusia adalah satu kesatuan, dan bahwa kita semua saling bergantung satu sama lain.


Gambar penumpang yang berada dalam perahu yang sama menggambarkan konsep warga negara global dengan sangat baik. Penumpang dalam perahu itu mewakili semua orang di dunia. Mereka semua berada dalam perahu yang sama, dan mereka semua harus bekerja sama untuk menjaga perahu itu tetap mengapung.


Jika ada satu penumpang yang membuat lubang di perahu, maka semua penumpang akan berada dalam bahaya. Begitu pula, jika ada satu negara yang membuat masalah di dunia, maka semua negara akan terkena dampaknya.


Sebagai warga global, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga dunia ini tetap aman dan sejahtera. Kita harus saling memahami dan menghormati, dan kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah-masalah global.


Prayetno dalam jurnal Pusham Unimed Volume VII, Nomor 1 Juni 2017, yang berjudul  Warga Negara Global; Tantangan, Peluang dan Tanggung Jawab Bersama, halaman 2 menulis bahwa konsep warga negara global (global citizen) lahir seiring dengan semakin pesatnya arus globalisasi. Arus deras globalisasi telah membawa perubahan signifikan terhadap peradaban dunia. 


Salah satu perubahan yang paling mendasar adalah semakin memudarnya batas-batas antarbangsa. Dunia seolah menjadi tanpa batas (borderless), pergerakan manusia baik secara fisik maupun gagasan menjadi semakin tidak terkontrol. Dalam kondisi global yang bergeser pada konsep citizen of the world, maka umat manusia harus harus saling bekerja sama agar perahu yang kita tumpangi [dunia] ini tidak tenggelam.


Toleransi Sebagai Solusi

Salah satu upaya agar warga negara global dapat menerima satu dengan yang lain, adalah dengan toleransi. Seyogianya kita menggalakkan toleransi antar umat beragama maupun antar umat seagama, bahkan toleransi antar sesama manusia. 


Toleransi kata Profesor Quraish Shihab bisa diartikan sebagai pengakuan eksistensi pihak lain, menyangkut diri, keyakinan dan pandangannya, kendati tidak sepakat dengan pandangannya atau tindakannya. Selama itu disampaikan dalam bentuk damai dan tidak melanggar peraturan dan undang-undang. 


Pasalnya, dalam konteks agama, setiap orang berhak berkeyakinan bahwa agama atau pandangan, budaya atau suku bangsanya adalah yang terbaik, tetapi itu tidak boleh melahirkan sikap tidak adil sehingga tidak mengizinkan pihak lain mempunyai hak yang sama. 
  

Sementara itu, Rasulullah memang banyak memberi contoh bagaimana hidup damai di tengah perbedaan. Nabi Muhammad mengajarkan bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan harus diterima dengan baik. Setiap orang, tanpa memandang perbedaan agama, ras, atau suku, memiliki hak untuk hidup dengan aman dan nyaman.


Praktik itu dilaksanakan Nabi, ketika hijrah ke Madinah. Langkah yang pertama dilakukan Nabi, membangun hubungan damai dengan masyarakat setempat. Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin [Makkah] dengan Anshar [kelompok masyarakat Madinah] yang berbeda ras, budaya, dan bahasa. 


Di samping itu, Nabi  membuat perjanjian dan aturan hidup bersama dengan kabilah-kabilah yang sudah lama menetap di Madinah. Perjanjian ini dikenal dengan nama Piagam Madinah. 


Konsep Piagam Madinah, yang dibawa Nabi adalah yang menghapus sistem kesukuan yang berlaku di Madinah pada masa itu. Sistem kesukuan ini sering kali menimbulkan konflik antar kelompok. Nabi menggantikan sistem kesukuan dengan sistem yang lebih egaliter, yaitu sistem yang berdasarkan keadilan dan persamaan hak.


Lebih lanjut, persamaan kemanusiaan manusia merupakan landasan yang sangat kuat guna melahirkan toleransi, melebihi kekuatan kesamaan suku, bangsa, dan agama, karena semua itu masih dapat berbeda antara seseorang dengan yang lain. “Sedangkan kemanusiaan, dapat menampung kesemuanya,” begitu penjelasan Quraish Shihab tentang toleransi dan kemanusiaan.  


Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau manusia menyadari hakikat jati dirnya sebagai insan yang harus hidup harmonis, bergerak dinamis, dan mau melupakan kesalahan orang lain, maka akan lahir toleransi yang diharapkan. 


Tuhan menciptakan manusia bersumber dari seorang ayah dan seorang ibu, kemudian menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Dengan demikian, semua manusia adalah sama dan diciptakan oleh Tuhan untuk saling mengenal dan memahami.


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."


Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al Misbah,  menegaskan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang suku, ras, atau bangsa. Perbedaan-perbedaan tersebut hanyalah bersifat lahiriah dan tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap derajat kemanusiaan seseorang di hadapan Allah.
 

Allah menciptakan manusia dengan tujuan agar mereka saling mengenal dan saling menolong. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, manusia akan saling mengenal dan belajar dari satu sama lain. Hal ini akan mempererat tali persaudaraan dan meningkatkan kerja sama antar manusia.


Dalam ayat yang lain, pada Q.S al Mumtahanah [60] ayat 8, Allah menganjurkan umat Islam berbuat baik pada orang lain, meskipun seorang non-Muslim. Pasalnya, berbuat baik kepada sesama manusia kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam. 


لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ


Artinya: "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."


Imam Baghawi dalam kitab Tafsir al-Baghawi, Jilid V, halaman 71 mengatakan ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim, selama mereka tidak memerangi umat Islam dan tidak mengusir umat dari negeri tempat tinggalnya.


Lebih dari itu, Allah juga menekankan untuk selalu bersikap baik dan berlaku adil kepada semua orang, tanpa memandang agama, suku, atau ras mereka. Allah sangat menghargai orang-orang yang selalu bersikap adil dan tidak membeda-bedakan orang lain berdasarkan latar belakang yang berbeda. Dalam kitab Tafsir al-Baghawi, Jilid V, halaman 71 dijelaskan:


 أَيْ لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنْ بِرِّ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ، وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ، تَعْدِلُوا فِيهِمْ بِالْإِحْسَانِ وَالْبِرِّ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ،


Artinya; "Allah tidak melarang kamu berbuat baik pada non muslim yang tidak memerangi kamu, dan juga menganjurkan berlaku adil pada mereka, maka berbuat adillah pada mereka dengan kebaikan dan kebajikan, sesungguhnya Allah menyukai orang yang berbuat adil."


Dengan demikian, dalam dunia modern yang semakin beragam, seyogianya kita hidup berdampingan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan ras. Dengan toleransi memungkinkan kita hidup berdampingan secara damai di dunia yang beragam ini.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Keislaman, tinggal di Ciputat