Repo (Repurchase Agreement) merupakan suatu bentuk transaksi penjualan “surat berharga” dengan janji untuk dibeli kembali oleh pihak penjual.
Praktik Repo di dunia perbankan biasanya berlangsung dengan jalan pencatatan aset yang telah dibeli sebagai asetnya. Namun, meski benar bahwa aset tersebut telah menjadi milik pembeli, namun pembeli masih dibebani kewajiban terikat, yaitu harus bersedia menjual kembali aset yang telah dibelinya kepada perbankan (penjual). Mungkin istilah fiqih yang tepat untuk pola akad jual beli seperti ini adalah masuk kategori aqdu al-buyû’ bis-syarthi lsi syirâ’, ‘aqd al-buyû’ bil-wa’di li al-syirâ’.
(Baca juga: Transaksi Giro Bank Syariah dari Sudut Akad Mudharabah)
Para ahli perbankan menyatakan bahwa 30 persen nyawa dunia perbankan adalah dihidupi oleh hasil transaksi Repo. Hal ini dikarenakan dalam transaksi Repo, keuntungan sudah pasti bisa didapatkan oleh pihak penjual. Misalnya bank syariah, membeli sebuah surat berharga kepada Bank Indonesia, dengan janji akan dibeli kembali oleh Bank Indonesia, maka dalam hal ini keuntungan dari pihak Bank Indonesia sudah pasti didapatkan melalui transaksi tersebut dengan tetap terjaga asetnya, karena asetnya tdak mungkin keluar. Sementara pihak bank syariah, mendapatkan kucuran dana melalui transaksi pembelian tersebut karena memiliki surat berharga yang dapat ia gunakan.
Permasalahan hukum yang timbul dari akad transaksi model ini adalah bagaimanakah pandangan fiqih terhadap transaksi Repo? Inilah yang akan dikupas dalam tulisan kali ini.
Pandangan MUI terhadap Hukum Transaksi Repo
Pandangan pertama, kita mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kompilasi Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 94/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS) berdasarkan prinsip syariah, Majelis Ulama Indonesia secara tegas menyampaikan bahwa boleh bagi perbankan untuk melaksanakan transaksi Repo. Ada beberapa ketentuan yang turut disertakan dalam Deret Fatwa tersebut, yakni:
Pertama, transaksi Repo SBS (Repurchase Agreement on Surat Berharga Syariah) dilakukan dengan aqad al-bai' ma'a al-wa'd bi al-syira', yaitu akad jual beli dengan janji akan dibeli lagi. Akad ini nampaknya dipandang oleh MUI sebagai sejalan dengan al-ba’u al-ahdi.
Kedua, akad Jual beli Surat Berharga Syariah (SBS) harus dilakukan dengan akad jual beli yang sesungguhnya (al-bai' al-haqiqi) yang antara lain ditandai dengan berpindahnya kepemilikan SBS yang diperjualbelikan berikut segala hak dan akibat hukum lain yang melekat padanya, sehingga bukan hanya sekedar catatan saja.
Ketiga, penjual SBS berjanji untuk membeli kembali SBS tersebut pada masa yang akan datang; dan Pembeli juga berjanji untuk menjual kembali SBS tersebut pada masa yang akan datang (saling berjanji/al-muwa'adah).
Keempat, jual-beli SBS harus menggunakan/mengacu pada “harga pasar” atau harga yang disepakati.
Kelima, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) boleh menjadi penjual dan/atau pembeli Repo SBS.
Keenam, Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) yang melakukan jual-beli SBS harus tunduk dan patuh pada ketentuan yang terdapat dalam fatwa MUI tersebut.
Ketujuh, dalam hal janji tidak dipenuhi, maka pihak yang mengingkari janji dapat dikenakan sanksi.
Dasar keputusan DSN MUI ini selain Al-Qur’an dan Al Hadits, juga ditambah beberapa landasan lain yaitu fatwa Ibnu Taimiyah, Keputusan Lembaga Fiqih Intemasional OKI No. 157, pertemuan ke-17 tahun 2006, tentang al-Muwa'adah wa al-Muwatha'ah fi al-'Uqud yang dilaksanakan pada 24-28 Juni 2006 di ‘Amman, pendapat Syeikh Yusuf al Syubaili, dan beberapa Fatwa DSN MUI lainnya. Untuk pendapat Syeikh Yusuf al Syubaili adalah dikutip dari kitab Adawatu al-idarat al-Makhatir al-Suyulah wa al-Badail ittifaqiyyati i’adati al Syira’ fi al Muassasati al Maliyah al Islamiyah halaman 15, adalah sebagai berikut:
فإذا احتاجت مؤسسة مالية للسيولية فإنها تبيع أوراقا مالية مملوكة لها – كصكوك اسلامية أو أسهم – بثمن نقدي وتنقل ملكيتها للمشتري ملكية تامة بما لها وما عليها من حقوق بما في ذلك قبض الأرباح وحضور الجمعيات العمومية في الأسهم والتصويت والمشاركة في زيادة رأس المال وتعديل عقد التأسيس والنظام الأساسي للشركة مصدرة الأسهم وكافة التصرفات القانونية الناشئة عن ملكية هذه الأوراق. ويقترن عقد البيع بوعد من قبل المشتري ببيع هذه الأوراق للمالك الأول (البائع) خلال فترة محددة
"Jika lembaga keuangan perlu likuiditas, maka lembaga tersebut dapat menjual surat berharga seperti sukuk atau saham secara tunai. Dengan jual beli ini, maka kepemilikan surat berharga tersebut berpindah ke tangan pernbeli secara penuh dengan berbagai akibat hukurnnya, seperti mendapatkan keuntungan, menanggung risiko kerugian, hak menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham, hak suara, hak dalam penambahan modal, pengubahan akta perusahaan, pengubahan anggaran dasar/anggaran rurnah tangga perusahaan penerbit saham, serta seluruh hak dan perbuatan hukurn lain yang melekat pada surat berharga tersebut sesuai peraturan perundangundangan. Transaksi jual ini disertai dengan janji dari pembeli untuk rnenjual kernbali surat berharga tersebut kepada penjual pertama selama periode tertentu."
Realitas Transaksi Jual Beli Repo di Tubuh Bank Syariah
Apakah benar bahwa bank syariah menerapkan sistem Transaksi Repo ini dalam praktik kesehariannya dan apakah benar telah sejalan dengan amanat Fatwa DSN MUI di atas?
Untuk mengetahui praktik di lapangan, ada sebuah Surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan via online secara resmi dalam webnya Bank Indonesia. Surat Edaran ditujukan kepada bisa dijadikan bukti fisik penerapan.
Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman resminya tertanggal 16 Nopember 2015,melalui Surat Edaran Nomor 17/ 42 /DPM tanggal 16 November 2015 tentang Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah, sebagaimana yang dikutip oleh penulis, menerbitkan pemberitahuan terkait latar belakang terbitnya surat edaran, antara lain sebagai berikut:
• Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
• Transaksi Repurchase Agreement (Repo) SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing Facilities Syariah.
• Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah akad al-bai’ (jual beli) yang disertai dengan al-wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
• Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight).
Kesimpulan dari surat edaran ini, adalah bahwa memang benar jika bank syariah juga ikut turut serta berpartisipasi dalam transaksi Repo.
Apakah partisipasinya ini menempatkan bank syariah sebagai subyek atau sebagai obyek Repo?
Jika melihat isi dari surat edaran Bank Indonesia di atas, nampak bahwa sebenarnya bank syariah menempati obyek Repo. Indikasi dari hal ini adalah bank syariah harus mematuhi segala ketentuan yang diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang kendali seluruh perbankan di Indonesia.
Pandangan Banknoter terhadap Transaksi Repo
Nama lain dari transaksi Repo menurut ahli perbankan adalah sama dengan secured loan (pinjaman dengan jaminan), buy back arrangement/pembiayaan dengan jaminan bisa dibeli kembali (BBA), collateralized borrowing/meminjam bersyarat. Instrumen yang umumnya digunakan dalam transaksi adalah berupa Obligasi Negara (surat utang negara), obligasi perusahaan, Sertifikat Bank Indonesia dan Saham.
Berdasarkan tempo jangka waktu jatuhnya, Repo dibagi menjadi tiga, yaitu Repo dengan jangka waktu sehari, Repo dengan jangka waktu tertentu dan Repo tidak berjangka waktu. Adanya perbedaan antara harga jual dan harga beli merupakan obyek yang dipandang sebagai sarana mudah investasi perbankan.
Tinjauan Fiqih Klasik terhadap Transaksi Repo
Di dalam literatur Fiqih Klasik, ada sebuah transaksi yang menyerupai dengan Transaksi Repo ini. Transaksi tersebut disebut sebagai bay’u al-‘inath, yaitu sebuah transaksi yang dilakukan melalui proses menjual barang secara ajil (kredit) dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali secara haalan (kontan) dengan harga yang lebih murah dari harga kredit yang mana kedua transaksi antara menjual dan membeli tersebut terjadi pada waktu yang bersamaan.
Bay’u al-‘inah ini merupakan jenis transaksi yang dipandang sebagai tidak sah oleh mayoritas ulama fiqih disebabkan karena beberapa hal. Pertama, transaksi ini pada dasarnya adalah hilah (siasat) dari seorang peminjam (penjual) yang membutuhkan dana talangan usahanya. Hilah (siasat) ini dimaksudkan untuk menghindari riba yang diakibatkan proses pinjam-meminjam tersebut, sehingga ia siasati melalui transaksi jual-beli dengan bersyarat akan dibeli lagi dengan harga yang lebih mahal dibanding harga jual. Selisih antara harga jual dan harga beli ini yang mereka sebut sebagai ribhun, namun pada dasarnya adalah sama dengan riba, karena adanya faktor jatuh temponya pembelian obyek yang dijual tersebut kepada pemilik asal. Adanya jatuh tempo pembelian kembali, menunjukkan bahwa kepemilikan obyek Repo oleh pembeli bersifat tidak taam (tidak sempurna).
Alasan lain, yang menyebabkan bay’u al-inah ini sebagai yang dipandang tidak sah oleh ulama fiqih adalah karena seharusnya pihak penjual suatu ‘ain (barang), sudah tidak memiliki kewajiban apa pun terhadap barang yang dijualnya. Namun, justru dalam transaksi Repo ini, pihak penjual masih memiliki tanggungan dengan menebus barang yang dijualnya dengan ketentuan harga yang ditetapkan pada masa terakhir jatuh tempo. Jika demikian halnya, maka seharusnya benar apa yang disampaikan oleh banknoter bahwa Repo ini pada dasarnya adalah secured loan (pinjaman dengan jaminan). Kalau begitu, selisih harga tersebut apakah bisa disebut riba? Kira-kira, menurut anda disebut sebagai apa?
Wallahu a’lam
Muhammad Syamsudin, pegiat Kajian Fiqih Terapan; Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Jatim