Syariah

Urgensi Bersuci dan Pencegahan Hepatitis

Sab, 14 Mei 2022 | 12:00 WIB

Urgensi Bersuci dan Pencegahan Hepatitis

Semua upaya ini tentu sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan diri dan menghindarkan penularan penyakit-penyakit menular melalui limbah cairan tubuh, termasuk hepatitis.

Sebagai agama yang sangat relevan dengan kesehatan dan kebersihan, Islam mengatur semua hal tentang bersuci dengan sangat detail. Umat Islam mengenal adanya hadats, najis, dan taharah atau bersuci dengan aturan yang lengkap.


Upaya-upaya tersebut, khususnya bersuci dari najis sangat penting dalam mencegah potensi penularan hepatitis yang sekarang kembali merebak. Penyebab hepatitis misterius tersebut diduga berasal dari adenovirus yang banyak terdapat pada kotoran manusia serta SARS CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.


Sumber kotoran pada tubuh manusia biasanya berasal dari sisa-sisa proses metabolisme yang dibuang melalui anus, kulit, maupun saluran kemih. Pembuangan yang normal dan wajar akan sangat penting bagi kesehatan.


Ketidaknormalan pembuangan sampah tubuh yang berlebihan, tersumbat, atau mencemari lingkungan dapat melahirkan ketidaknyamanan dan menimbulkan penyakit. Hal-hal tersebut terjadi karena kotoran manusia mengandung bakteri maupun mikroba lainnya seperti virus yang berbahaya untuk kesehatan bila mengontaminasi manusia lainnya.


Contoh-contoh hasil pembuangan tubuh alami adalah air kencing, keringat, muntahan, tinja, lendir dahak, maupun pembuangan dari saluran rahim seperti darah haid dan cairan lainnya. Kecuali keringat dan lendir dahak, sampah-sampah yang disebutkan tersebut termasuk najis dan harus disucikan.


Selain pengeluarannya harus normal, penanganan sampah-sampah alami dari tubuh tadi juga harus sesuai dengan kaidah kesehatan dan agama agar tercapai kesehatan serta kesucian. Apabila penyucian najis diabaikan, maka akan mengganggu keabsahan ibadah, merusak suasana pergaulan sosial, mencemari lingkungan, menimbulkan  bau dan penyakit yang merugikan kesehatan.


Buang air besar dan kecil merupakan kebutuhan alami seorang manusia. Namun, sebagai makhluk yang mulia dan beretika, manusia tidak layak memenuhi hajat tersebut dengan semaunya sebagaimana binatang. Proses pembuangan tinja maupun urin harus dilakukan dengan benar sehingga dapat mencegah penularan infeksi penyakit yang dapat membahayakan diri dan lingkungannya.


Salah satu sampah terbesar yang dibuang dari tubuh secara alamiah adalah tinja. Sampah lainnya adalah air seni atau urin. Seorang muslim harus memastikan agar pembuangan tinja maupun urin tidak mengganggu kondisi lingkungan di sekitarnya baik dari bau maupun keberadaan najisnya.


Detailnya Islam mengatur proses istinja selaras dengan fitrah manusia untuk membersihkan diri dari semua bekas kotoran yang dihasilkan dari buang hajat. Islam menjaga kehormatan martabat manusia dari cara mereka membuang air besar maupun air kecil sehingga tidak mencemari lingkungan dan tempat tinggal.


Bahan-bahan untuk beristinja di dalam Islam diatur secara khusus. Air suci dan menyucikan serta beberapa bahan lainnya yang memenuhi syarat dapat digunakan untuk beristinja. Beristinja memiliki tujuan menghilangkan bau dan zat kotoran dari proses buang air.


Islam memberikan solusi yang jitu dengan adanya beberapa bahan yang dapat dipakai beristinja yaitu air atau media lain yang padat dan menyerap kotoran. 


Di dalam kitab-kitab fiqih, salah satunya Safinatun Naja, dikenal aktivitas beristinja dengan batu atau semacamnya (tisu, kertas, kain atau yang sejenis). Syarat benda yang dapat digunakan untuk beristinja sebagai pengganti air adalah padat, suci, bisa menyerap kotoran, kering dan tidak terhormat (bukan makanan).


Bahan-bahan tersebut bisa digunakan meskipun masih ada air yang dapat digunakan untuk bersuci. Jadi tidak perlu menunggu tidak ada air terlebih dahulu untuk dapat menggunakan bahan-bahan tersebut.


Meskipun diperkenankan bersuci dengan benda padat selain air seperti yang disebutkan di atas, Islam mensyaratkan cara dan tempatnya. Syarat-syarat yang berkaitan dengan cara ada 2 yaitu waktu diusap harus sampai bersih, tidak disunnahkan dicium, bahkan makruh mencium area yang terkait.


Selain itu, benda padat yang digunakan tidak boleh kurang dari 3 potong bahan padat. Bila dirasa masih kurang bersih dengan 3 potong benda padat, maka bisa ditambahkan agar mengikuti sunnah menjadi hitungan bilangan yang ganjil.


Syarat tempat yang berkaitan dengan istinja dengan benda padat selain air di antaranya sisa najis masih di berada di tempat keluarnya. Artinya jika laki-laki buang air kecil, sisa najis masih di sekitar kepala kemaluan. Bila sudah pindah ke selangkangan tidak bisa lagi dibersihkan dengan benda padat, harus dengan air. Sedangkan bagi wanita, sisa najis air kencing masih berada di wilayah belahan kemaluan dan sekitarnya.


Bila kotoran berupa sisa tinja dari buang air besar, maka masih berada di lubang belakang (anus) di kiri dan kanan. Bila tinja sudah mengenai paha, maka tidak bisa lagi disucikan dengan benda padat dan harus dengan air. Syarat yang lain adalah tempat keluarnya kotoran belum kering, maknanya hendaknya proses pembersihan dilakukan segera setelah buang air.


Selain itu, tempat keluarnya kotoran tidak kemasukan sesuatu dari luar. Bila sudah tertempel air atau terpercik air, maka tidak bisa lagi disucikan dengan benda padat dan harus dengan air. (Syekh Sumair, Matan Safinatun Naja, 2003, PT Karya Toha Putra, Semarang, halaman 18).


Air yang digunakan untuk bersuci secara Islami juga harus suci dan menyucikan. Air bekas mandi atau bekas mencuci tidak bisa digunakan untuk beristinja karena bisa menyebarkan mikroba penyebab infeksi, termasuk di antaranya adalah penyebab hepatitis.


Hepatitis yang kebanyakan disebabkan oleh virus merupakan penyakit yang mudah menyebar melalui air yang terkontaminasi kotoran dari tubuh manusia.


Penelitian terkini menunjukkan adanya adenovirus pada tinja anak-anak yang mengalami diare (Tang, dkk, Molecular Epidemiology of Human Adenovirus, Astrovirus, and Sapovirus Among Outpatient Children With Acute Diarrhea in Chongqing, China, 2017–2019, tahun 2022, Frontiers in Pediatrics).


Selain adenovirus, virus SARS CoV-2 juga ditemukan pada air buangan limbah yang mengandung kotoran manusia (Narbad dan Elumogo, What human waste can tell us about Covid-19, tahun 2022, UK Research and Innovation).Kedua virus tersebut banyak ditemukan pada kasus hepatitis yang sekarang merebak.


Air yang sudah tercemar juga tidak bisa digunakan untuk bersuci bila kurang dari dua kullah atau sekitar 216 liter. Apabila jumlah air banyak, yaitu lebih dari 2 kullah atau lebih dari 216 liter maka tidak akan berubah menjadi najis karena adanya kotoran. Namun, hal ini juga dengan syarat bahwa air yang banyak itu tidak berubah warna dan baunya karena sebab adanya kotoran. Atau, bisa juga dibuktikan dengan penelitian bahwa air yang tidak berubah warna dan baunya itu tidak terkontaminasi oleh bakteri atau virus yang membahayakan. Karena bila terkontaminasi oleh mikroba yang membahayakan kesehatan, tentu air tersebut tetap tidak layak digunakan (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher: 2015], halaman 252).


Ada sejumlah adab ketika buang air yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin. Beberapa di antaranya bersifat maknawi seperti menghindari menghadap kiblat, menghindari berbicara dengan orang lain dan menghindari berzikir di dalam toilet.


Namun, beberapa di antara adab buang air besar ada yang langsung berkaitan dengan kesehatan dan mendukung pencegahan hepatitis seperti larangan berlama-lama di dalam toilet, anjuran beristinja dengan tangan kiri, menggunakan alas kaki, larangan buang air di tempat yang sering dilewati manusia, di lubang tempat tinggal hewan, di mata air atau sungai yang airnya dipakai untuk minum (Azhar, 2015: 254)


Setelah beristinja, Islam juga mengatur kebersihan pribadi maupun lingkungan. Mencuci tangan dengan sabun, membasuh bekas-bekas buang air yang masih menempel di kulit maupun lantai toilet harus dilakukan dengan sempurna hingga hilang bau dan penampakan fisiknya. Untuk menghindari percikan najis di pakaian, maka Islam menganjurkan buang air sambil jongkok atau duduk dan melarang buang air sambil berdiri kecuali terpaksa (Azhar, 2015: 255).


Selain tinja dan urin, hepatitis juga dapat ditularkan melalui sampah cairan tubuh lainnya. Cairan-cairan tubuh lainnya baik yang berasal dari mulut maupun saluran pencernaan dan saluran lain perlu dibersihkan secara berkala.


Islam mengajarkan mandi dengan air sebagai media pembersihan keringat dan cairan-cairan tubuh lainnya. Manfaat mandi setiap hari yang dilakukan oleh kaum muslimin tentu bisa membersihkan tubuh dari dari kotoran najis yang berwujud cairan pada umumnya, termasuk keringat yang bukan najis. 


Di dalam Islam ada beberapa mandi yang disunnahkan seperti mandi di Hari Jumat dan hari raya. Ada pula mandi yang diwajibkan seperti mandi besar (setelah berhubungan suami-istri, maupun setelah berhadats besar).


Sebelum mandi, najis-najis berupa kotoran cairan tubuh dibersihkan terlebih dahulu. Semua upaya ini tentu sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan diri dan menghindarkan penularan penyakit-penyakit menular melalui limbah cairan tubuh, termasuk hepatitis.


Semua aturan bersuci secara Islami merupakan langkah logis untuk memenuhi hajat biologis sekaligus menjaga kesehatan. Kontaminasi air dan lingkungan dari kotoran manusia yang dapat menyebarkan hepatitis dapat dicegah dengan menerapkan bersuci dan menangani najis secara Islami.


Sudah selayaknya perhatian terhadap bersuci secara islami dan penyucian najis ini diperhatikan oleh seorang muslim untuk mengikuti sunnah Nabi sekaligus mendukung perilaku sehat, baik kesehatan personal maupun lingkungan.


Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi