Syariah

Viral Perempuan Tak Berjilbab Masuk Masjid, Bagaimana Seharusnya Sikap Takmir?

Rab, 24 Agustus 2022 | 23:00 WIB

Viral Perempuan Tak Berjilbab Masuk Masjid, Bagaimana Seharusnya Sikap Takmir?

Jilbab dianggap penutup aurat perempuan. Oleh karenanya, perempuan yang tidak berjilbab dianggap aib di masyarakat

Baru-baru ini viral di TikTok, curhatan seorang perempuan yang kesal karena merasa ditolak masuk masjid dengan alasan tidak memakai Jilbab.


Dalam video yang diunggah oleh akun @etibudy01, dikatakan bahwa ibu tersebut hendak menemani suaminya melaksanakan shalat maghrib di Masjid at-Thohir yang kemungkinan dibuat oleh Erick Thohir, Mentri BUMN karena nama beliau juga disebut-sebut.


Ibu tersebut mengaku ditolak masuk masjid oleh “bapak-bapak” yang tidak dijelaskan secara spesifik apakah bapak-bapak tersebut adalah pengurus masjid tersebut atau bukan.


Video tersebut kemudian terbukti adalah hoaks. Entah apa maksud dan keinginan pembuat hoaks tersebut yang tentunya merugikan banyak pihak dan bisa menciptakan pandangan negatif bagi umat Islam. 


Meskipun demikian, menarik bagi kita untuk mengkaji bagaimana seharusnya sikap takmir masjid jika ada perempuan tak berjilbab hendak masuk ke dalam masjid? Lebih spesifiknya jika ini ditilik dari perspektif fiqih dakwah?


Dalam tulisan kali ini, kami akan berfokus hanya pada persoalan bolehkah menolak perempuan tak berjilbab untuk masuk masjid? Tidak akan menyinggung kontroversi seputar hukum mengenakan jilbab bagi perempuan muslim.


Memang merupakan sebuah fenomena yang umum di beberapa masjid di Indonesia, di mana para takmir masjid menerapkan aturan wajib berbusana muslim bagi mereka yang ingin masuk masjid. Aturan berbusana muslim tersebut kemudian dipahami sebagai kewajiban menggunakan jilbab bagi perempuan muslim.


Sesungguhnya, aturan tersebut memiliki maksud baik, yakni agar masjid menjadi tempat dimana para pengunjungnya menjaga adab dan kesopanan. Tetapi, apabila ternyata ada jamaah yang tidak mengikuti peraturan demikian, maka apakah boleh melarang mereka masuk masjid.


Dalam kajian fiqih, yang nyata-nyata dilarang masuk masjid ialah perempuan yang sedang haidh atau dalam kondisi junub. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat Aisyah Ra:


وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُب. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ 


Artinya, “Dari Sayidah Aisyah RA, sungguh Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang yang junub,” (HR Abu Dawud).


Selain itu, siapapun diperbolehkan untuk masuk ke dalam masjid apalagi bagi kaum muslim yang berniat untuk beribadah.


Terkait dengan jamaah perempuan, Nabi mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam masjid secara leluasa dan melarang sesiapapun untuk mencegahnya:


لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ


Artinya: “Janganlah kamu melarang hamba-hamba Allah dari kalangan wanita untuk pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi mereka boleh keluar dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR Abu Dawud)


Hadits di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa perempuan diperkenankan masuk masjid dengan catatan mereka bisa menjaga kehormatan mereka, diantaranya ialah dengan tidak menggunakan wewangian karena dikhawatirkan hal itu akan menimbulkan fitnah.


Selanjutnya, secara spesifik, berkenaan dengan perempuan muslim tak berjilbab hendak masuk masjid. Terdapat sebuah riwayat:


عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا


Artinya: Dari Ummu ‘Athiyyah, ia mengatakan, “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengajak kaum perempuan keluar pada Idul Fitri dan idul Adha, yaitu gadis-gadis, perempuan yang haid, dan para perempuan yang dipingit. Adapun perempuan haidh, maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab’. Nabi menjawab, ‘Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.’” (H.R. Bukhari)


Hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa sikap Rasulullah Saw. ketika terdapat seorang perempuan tak berjilbab yang ingin masuk masjid, Nabi tidak mengusirnya, namun beliau meminta perempuan lain untuk meminjamkan jilbabnya.


Jika kita kaitkan dengan konteks sekarang, khususnya di Indonesia, maka tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh takmir masjid jika terdapat perempuan tidak berjilbab hendak masuk masjid ialah meminjamkan jilbab dan tidak serta merta mengusirnya.


Dalam praktiknya, memang di setiap masjid di Indonesia ini pasti terdapat mukena pinjaman yang bisa dipakai oleh mereka yang tidak membawa mukena. Maka solusi bijak yang bisa diambil ialah pastikan posisi mukena pinjaman berada di pintu masuk masjid sehingga bagi mereka yang tidak memakai jilbab bisa mengenakan mukena yang fungsinya sama-sama menutupi aurat.


Mengusir perempuan tak berjilbab yang hendak masuk masjid dirasa kurang bijak dari sudut pandang fiqih dakwah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dakwah harus dilakukan dengan cara yang baik, yakni hikmah dan mawizhah hasanah.


Sudah seyogianya takmir masjid bersikap bijak. Bukan dengan cara menolak, namun dengan memfasilitasi agar ia bisa beribadah dengan baik. Ini berlaku bagi takmir masjid yang memiliki kewenangan di tempat tersebut.


Dikhawatirkan, ketika perempuan muslim tak berjilbab ditolak masuk masjid, ia malah akan meninggalkan shalat atau terlambat melaksanakan shalat. Semoga kita senantiasa mampu menciptakan kedamaian. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes