Tafsir

Debat Capres 5: Ketua KPU Singgung Ayat Perebutan Kekuasaan, Begini Tafsirnya

Ahad, 4 Februari 2024 | 20:39 WIB

Debat Capres 5: Ketua KPU Singgung Ayat Perebutan Kekuasaan, Begini Tafsirnya

Ilustrasi: Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menyinggung Ayat Perebutan Kekuasaan Surat Shad 35 saat Debat Capres kelima 4/2/2024.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari membuat pernyataan mengejutkan dalam sambutannya pada debat presiden putaran kedua yang diadakan pada hari Sabtu, 3 Februari 2024. Hasyim Asy'ari mengatakan bahwa dia pernah bertanya kepada gurunya tentang apakah kekuasaan dapat direbut? Kemudian gurunya menjawab bahwa hal itu "bisa".

 

Hasyim Asy'ari kemudian menjelaskan bahwa dalil yang mendasari jawaban gurunya tersebut adalah surah Shad ayat 35, yang berbunyi:

 

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
 

Artinya; Dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

 

Lebih lanjut, menurut Ketua KPU, bahwa inti ayat tersebut adalah sebelum seseorang berkuasa dan memimpin negeri, ia harus terlebih dahulu memohon ampunan kepada Allah swt. Hal ini dimaksudkan agar kepemimpinannya dimulai dengan hati yang bersih dan niat yang ikhlas, semata-mata untuk mencari ridha dan rahmat Allah.

 

Kendati demikian, Hasyim menegaskan bahwa siapapun yang diberikan amanat kepemimpinan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, tidak boleh menyia-nyiakan amanah tersebut. Pasalnya, amanah harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi untuk kepentingan rakyat.

 

Sementara itu, Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah, Volume 12, halaman 144 menjelaskan bahwa surah Shad ayat 35 menerangkan, setelah melewati ujian dan menyadari kesalahan, Nabi Sulaiman merasa menyesal dan memohon ampunan kepada Allah. Dia mengakui kesalahan-kesalahan terkait ujian yang dihadapinya dan mengungkapkan penyesalannya kepada Allah. 

 

Dalam doanya, Nabi Sulaiman memohon ampunan atas kesalahan-kesalahan tersebut dan meminta agar diberikan kerajaan yang istimewa, tidak seperti yang pernah diberikan kepada siapa pun sebelum atau sesudahnya. 

 

Doa tersebut bukanlah untuk menghalangi orang lain memperoleh kekuasaan, kata Profesor Quraish Shihab, tetapi lebih sebagai permohonan agar dia dapat lebih berbakti kepada Allah dengan kekuasaan yang khusus itu. Mungkin dalam bentuk mukjizat yang unik dan berbeda dari kekuasaan yang diberikan kepada penguasa sebelumnya dan sesudahnya.

 

Ibnu Asyur, seorang ulama kontemporer terkemuka, dalam Kitab At-Tahrir wa At-Tanwir jilid XXIII halaman 262, menjelaskan bahwa doa Nabi Sulaiman adalah permohonan agar kerajaannya berlanjut hingga kematiannya tanpa diganggu siapapun. Nabi Sulaiman sadar bahwa ada orang yang ingin menyaingi dan mengambil alih kekuasaannya.

 

Doa ini bukan bertujuan untuk menghalangi nikmat Allah kepada orang lain, atau untuk berbangga diri dengan kekuasaan. Doa ini semata-mata untuk mengabdi dan bersyukur lebih banyak kepada Allah, serta menghindari kekufuran sekecil apapun, baik dari diri beliau maupun dari orang lain sepanjang masa.

وَارْتَقَى سُلَيْمَانُ فِي تَدَرُّجِ سُؤَالِهِ إِلَى أَنْ وَصَفَ مُلْكًا أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، أَيْ لَا يَتَأَتَّى لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ، أَيْ لَا يُعْطِيهِ اللَّهُ أَحَدًا يَبْتَغِيهِ مِنْ بَعْدِهِ. فَكَنَّى بِ لَا يَنْبَغِي عَنْ مَعْنَى لَا يُعْطَى لِأَحَدٍ، أَيْ لَا تُعْطِيهِ أَحَدًا مِنْ بَعْدِي

 

Artinya; "Sulaiman naik tingkat dalam pertanyaannya sampai dia menggambarkan sebuah kerajaan yang tidak pantas bagi siapapun setelahnya. Maksudnya, tidak mungkin bagi siapapun setelahnya untuk mendapatkannya, dan Allah tidak akan memberikannya kepada siapapun yang menginginkannya setelah Sulaiman. Dia menggunakan frasa "tidak pantas" untuk mengartikan "tidak akan diberikan kepada siapapun", yaitu "tidak akan diberikan kepada siapapun setelahku".

 

Sementara itu, Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Tafsir Marah Labib, Jilid II, halaman 318 menjelaskan bahwa ayat ini menjelaskan tentang Nabi Sulaiman yang memohon kepada Allah swt untuk memberikannya kekuasaan yang tidak dimiliki oleh siapapun. Nabi Sulaiman ingin mendapatkan kekuasaan yang tidak ada yang mampu menentangnya. Dia percaya bahwa hal ini akan menjadi mukjizat baginya, karena mukjizat adalah sesuatu yang tidak dapat ditiru oleh siapapun.

 

أي غيري بحيث لا يقدر أحد على معارضته ليكون معجزة لي، لأن المعجزة أن لا يقدر أحد على معارضتها فكان المراد أقدرني على أشياء لا يقدر عليها غيري ألبتة ليصير اقتداري عليها معجزة تدل على صحة نبوتي ورسالتي

 

Artinya: "Berikanlah aku sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tidak seorang pun mampu menentangnya, dan itu akan menjadi mukjizat bagiku. Karena mukjizat adalah sesuatu yang tidak mampu ditentang oleh siapapun. Jadi, yang dimaksud adalah berikanlah aku kemampuan untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan orang lain sama sekali, agar kemampuanku itu menjadi mukjizat yang menunjukkan kebenaran kenabian dan kerasulanku."

 

Pada sisi lain, Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar jilid VIII halaman 6191, menjelaskan permohonan Nabi Sulaiman kepada Allah swt untuk dianugerahi kekuasaan yang tak tertandingi oleh siapapun setelahnya telah terkabul. Puncak kejayaannya adalah ketika ia berhasil mendirikan Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha.

 

Sebagai catatan, rumah ibadah pertama yang didirikan di muka bumi adalah Ka'bah di Makkah, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dibantu oleh putranya, Ismail. Nabi Sulaiman merupakan keturunan dari Ya'kub (Israel), putra Ishaq, dan Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim. Baitul Maqdis menjadi masjid tauhid kedua di dunia.

 

Setelah Baitul Maqdis berdiri, Nabi Sulaiman wafat. Ia wafat dalam keadaan berdiri, mengawasi para jin yang tengah bekerja. Setelah wafatnya Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil terpecah belah dan tidak pernah bersatu kembali. Kerajaan Nabi Sulaiman menjadi puncak tertinggi dari kekuasaan dan kemegahan Bani Israil.

 

Dengan demikian, kutipan ayat Al-Qur'an surah Shad ayat 35 tersebut membawa pesan bahwa seseorang boleh berusaha merebut jabatan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang menekankan etika, keadilan, dan harapan ridha dari Allah. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman Ciputat Jakarta