Menafsir Ulang Makna Kemerdekaan: Begini Kata Al-Qur'an tentang Kebebasan Manusia
NU Online · Kamis, 7 Agustus 2025 | 14:00 WIB
Alief Hafidzt Aulia
Kolomnis
Sebentar lagi kita akan merayakan HUT-RI yang ke-80 tahun, bertepatan pada 17 Agustus 2025 mendatang. Bangsa Indonesia pasti menggelar peringatan kemerdekaan ini dengan penuh kegembiraan, mulai dari Sabang sampai Merauke. Lomba-lomba diselenggarakan, pidato-pidato dikumandangkan, yang tujuannya untuk menanamkan semangat nasionalisme dan patriotisme.
Namun, sudah 80 tahun Indonesia Merdeka, sering kali kita lupa untuk merenungkan kemerdekaan tahun demi tahunnya. Apa sebenarnya makna “Merdeka” secara mendalam, khususnya dalam perspektif Islam?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang kerap kita lupakan. Apakah kita sudah dianggap merdeka jika pikiran kita masih dijajah oleh algoritma digital yang semakin ke sini terus menggiring kita pada opini yang tidak logis? Apakah kita benar-benar Merdeka jika ekonomi kita masih dikendalikan oleh dorongan konsumsi dan impian semu akan kekayaan tanpa batas? Dan apakah kita pantas dianggap Merdeka jika kita masih takut untuk bersuara, tunduk pada kekuasaan yang menekan, dan kehilangan keberanian untuk berpihak pada keadilan?
Baca Juga
Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan
Hal-hal semacam ini yang perlu kita renungkan. Dalam kondisi semacam ini, al-Qur’an perlu dibaca dan direnungkan ulang. Bukan hanya dibaca secara tartil, melainkan benar-benar menjadi pedoman pembebasan diri dan masyarakat dari segala bentuk “perbudakan modern” yang kian menjelma menjadi wujud baru, lebih canggih dan lebih tersembunyi.
Misi Pembebasan Rasulullah
Para ahli tafsir telah menjelaskan secara gamblang bahwa tujuan diturunkannya Islam adalah untuk membebaskan manusia, bukan hanya bebas dari kemusyrikan, tapi juga dari segala bentuk ikrah (pemaksaan), zhulm (kezaliman), dan ishr (beban yang memberatkan). Hal ini sudah ditegaskan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 157 yang berbunyi:
Baca Juga
Khutbah Jumat: Merawat Kemerdekaan
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ
Artinya: “Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-A’raf: 157)
Ayat ini menggambarkan, salah satu misi utama para Nabi adalah membebaskan manusia, baik dari kesesatan akidah ataupun dari belenggu kehidupan. Imam al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani menuliskan, al-ishr dan al-aghlal merupakan simbol dari sistem penindasan sosial dan spiritual yang dapat membelenggu manusia di masa lalu, dan Islam datang untuk menghapusnya.
قوله: (إِصْرَهُمْ) الإصر هو الحمل الثقيل من التكاليف الشاقة، وقوله: (وَالْأَغْلَالَ) جمع غل، وهي القيود، والمعنى: أن الرسول يخفف عنهم ما كانوا فيه من ظلم الملوك والأحبار وكثرة الحرج في الشرائع
Artinya: “Ayat: “(إِصْرَهُمْ)”, maksudnya adalah beban berat berupa kewajiban-kewajiban yang sulit. Dan firman-Nya: “(وَالْأَغْلَالَ)” adalah bentuk jamak dari “ghull”, yaitu belenggu atau rantai. Maknanya: Rasul (Nabi Muhammad) datang untuk meringankan beban mereka, membebaskan mereka dari kezaliman para raja dan pendeta, serta melepaskan mereka dari tekanan berat dalam syariat-syariat sebelumnya.” (Ruh Al-Ma’ani, [Dar Ihya at-Turath al-Arabi: Beirut, 1994], juz 9, hlm. 206)
Di sisi lain, Imam Fakhruddin Ar-Razi menuliskan dalam kitabnya Tafsir al-Kabir:
الإسلام جاء بالتخفيف والتيسير، ورفع كل قيد كان يمنع الناس من حرية الاعتقاد والتفكير، ولهذا قيل إن النبي كان رحمةً تحرر العقول من الجهل
Artinya: “Islam datang dengan kemudahan dan keringanan. Islam mengangkat segala ikatan yang menghalangi manusia dari kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Karena itu, sesungguhnya Rasulullah disebut sebagai Rahmat yang membebaskan akal dari kebodohan.” (Tafsir al-Kabir, [Beirut: Dar Ihya at-Turath, 1999], hlm. 165)
Kemerdekaan Spiritual dan Intelektual
Salah satu fondasi paling kokoh dalam ajaran Islam adalah kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan. Allah SWT telah memuliakan manusia dengan akal pikiran, dan karenanya pula setiap individu diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri, dan pasti setiap pilihan yang diambil memiliki konsekuensinya.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 256 berbunyi:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2/256)
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari menjelaskan dalam kitabnya bahwa paksaan yang tidak dibenarkan karena kebenaran Islam sudah cukup jelas bagi yang berpikir dan mencari.
لا تُكرِهوا أحدًا على الدخول في ملة الإسلام، فقد تبين له الرشد من الغيّ، وبان له الحق من الباطل، فمن اهتدى فلنفسه، ومن ضلّ فإنما يضلّ عليها
Artinya: “Janganlah kamu memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam, karena sungguh jelas (perbedaan) antara petunjuk dan kesesatan, telah nyata kebenaran dari kebatilan. Maka barang siapa yang mendapatkan petunjuk, maka itu merupakan (manfaat) untuk dirinya, dan barang siapa yang sesat, maka sesat itu akan kembali kepada dirinya sendiri.” (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, [Kairo: Dar al-Ma’arif, 2000], jilid III, hlm. 11)
Dalam dunia modern, ayat di atas menjadi bentuk kritik tajam terhadap segala bentuk dominasi ideologis, baik berupa indoktrinasi pikiran maupun dogmatisasi politik. yang menghilangkan otonomi berpikir individu. Kemerdekaan spiritual dan intelektual adalah fondasi utama dari bentuk kemerdekaan yang lain.
Merdeka bukanlah sekadar upacara bendera, memasang twibbon kemerdekaan, maupun jargon patriotik yang berulang setiap tahunnya. Ketika pikiran kita masih terbelenggu oleh algoritma yang membungkam nalar, ketika suara kita masih dibungkam oleh kekuasaan yang mengancam, dan ketika keinginan serta harapan kita dibentuk oleh budaya yang memperbudak, maka hakikatnya kita belum Merdeka sepenuhnya.
Merdeka adalah tugas harian, perjuangan batin, dan keberanian intelektual. Islam hadir untuk membangkitkan kembali semangat keberanian dalam melawan segala bentuk perbudakan, apa pun wujud dan manifestasinya.
Alief Hafidzt Aulia, Alumni Kelas Menulis NU Online 2025, dan Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi.
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
2
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
3
Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama
4
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
5
Pakar Linguistik: One Piece Dianggap Representasi Keberanian, Kebebasan, dan Kebersamaan
6
IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
Terkini
Lihat Semua