Tafsir

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 13: Etika Merawat Lingkungan dari Al-Qur’an 

NU Online  ·  Jumat, 25 Juli 2025 | 17:00 WIB

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 13: Etika Merawat Lingkungan dari Al-Qur’an 

Ilustrasi konservasi alam. Sumber: Canva/NU Online.

Kita hidup di atas tanah yang menyimpan sesuatu. Logam, batu bara, emas, dan mineral lainnya. Mereka diam di kedalaman bumi, seperti rahasia yang tidak selalu ingin dibuka. Tapi manusia punya tangan, dan punya kehendak untuk menggali.


Pertanyaan pun lahir: bagaimana agama, terutama Islam, memandang hal ini? Apakah menggali tambang adalah bagian dari ibadah atau bentuk lain dari pengabaian terhadap ciptaan? Apakah Al-Qur’an, Kitab Suci, menyentuh persoalan ini?


Islam sebagai agama yang paripurna tentu memberikan panduan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mengelola kekayaan alam. Dalam Surat An-Nahl ayat 13, Allah berfirman:


وَمَا ذَرَاَ لَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُخْتَلِفًا اَلْوَانُهٗ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّذَّكَّرُوْنَ 


wa mâ dzara'a lakum fil-ardli mukhtalifan alwânuh, inna fî dzâlika la'âyatal liqaumiy yadzdzakkarûn


Artinya; “(Dia juga mengendalikan) apa yang Dia ciptakan untukmu di bumi ini dengan berbagai jenis dan macam warnanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.” 


Imam Al-Qurthubi,  menjelaskan bahwa kata “alwānuhu” dalam ayat tersebut tidak hanya berarti warna secara harfiah. Ia menafsirkan kata ini meliputi bentuk, jenis, dan rupa dari seluruh ciptaan: hewan, tumbuhan, bebatuan, bahkan benda-benda mati yang ada di dalam bumi seperti logam, mineral, dan batu bara. Semua itu merupakan bagian dari kekayaan bumi yang boleh dimanfaatkan oleh manusia.


Al-Qur’an memakai kata lakum, ”untuk kalian”, untuk menegaskan bahwa semua itu ditundukkan bagi manusia. Namun, kata “untuk” di sini tidak berarti bebas seenaknya. Ia menuntut tanggung jawab. Dengan kata lain, tambang pun termasuk bagian dari ayat ini. Ia adalah “warna” bumi yang ditata oleh Tuhan dalam lapisan-lapisan tanah dan bebatuan. Maka ketika manusia menggali tambang, sesungguhnya ia sedang berinteraksi langsung dengan salah satu bukti kekuasaan Tuhan.


Lebih jauh lagi, dalam tafsirnya, Al-Qurthubi menegaskan bahwa keberagaman warna dan bentuk ciptaan Allah adalah tanda kekuasaan-Nya. Perbedaan warna pada binatang, pepohonan, batu-batu, dan mineral bukanlah kebetulan. Itu semua adalah bukti bahwa alam semesta ini tidak berdiri sendiri, tapi ditata oleh Zat Yang Maha Esa. Dan manusia diminta untuk merenunginya, bukan sekadar menikmatinya.


Maka, saat kita membicarakan tambang, logam, dan sumber daya alam lainnya, jangan lupa bahwa semua itu adalah bagian dari “warna-warni” ciptaan Tuhan. Ia bukan semata-mata sumber ekonomi, tapi juga tanda-tanda kebesaran-Nya.


الثَّالِثَةُ- قَوْلُهُ تَعَالَى: (مُخْتَلِفاً أَلْوانُهُ) “ مُخْتَلِفاً” نُصِبَ على الحال. و” أَلْوانُهُ” هَيْئَاتُهُ وَمَنَاظِرُهُ، يَعْنِي الدَّوَابَّ وَالشَّجَرَ وَغَيْرَهَا. (إِنَّ فِي ذلِكَ) أَيْ فِي اخْتِلَافِ أَلْوَانِهَا. (لَآيَةً) أَيْ لَعِبْرَةً. (لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ) أَيْ يَتَّعِظُونَ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ فِي تَسْخِيرِ هَذِهِ الْمُكَوَّنَاتِ لَعَلَامَاتٌ عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللَّهِ تَعَالَى، وَأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى ذلك أحد غيره. 


Artinya; Firman-Nya Ta‘ala: (مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ). Kata “mukhtalifan” (berbeda-beda) berfungsi sebagai keterangan keadaan (hal), sedangkan “alwānuhu” berarti bentuk-bentuk dan rupa-rupanya, seperti binatang, pepohonan, dan sebagainya. (إِنَّ فِي ذَٰلِكَ), yaitu pada perbedaan warna-warna dan bentuk-bentuknya, (لَآيَةً) — sungguh terdapat tanda kekuasaan Allah, (لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ) — bagi kaum yang mau mengambil pelajaran dan peringatan, serta menyadari bahwa segala yang diciptakan dan ditundukkan ini adalah bukti keesaan Allah Ta‘ala, dan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya selain Dia. (Imam  Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, Jilid X, hlm. 85). 


Sementara itu, Ibnu Katsir menyebut bahwa Allah menciptakan berbagai hal di bumi dengan beragam warna dan bentuk. Setelah menyebut keagungan langit (ayat sebelumnya, 12), Allah juga mengingatkan kita tentang ciptaan-Nya di bumi. Di antaranya ada hewan, tumbuhan, logam, dan benda mati yang memiliki bentuk dan warna yang berbeda-beda.


Semua ciptaan itu bukan hanya indah dipandang, tapi juga memiliki manfaat. Ada yang bisa dimakan, dijadikan obat, atau dipakai untuk keperluan hidup manusia. Perbedaan rasa, warna, dan bentuk dari makhluk-makhluk itu menunjukkan betapa besar kuasa Allah. Ini menjadi tanda bagi orang-orang yang mau berpikir dan bersyukur.


Kata “alwānuhu” dalam ayat ini mencakup semua jenis ciptaan yang berbeda-beda, termasuk hasil bumi seperti logam dan batuan tambang. Ini menegaskan bahwa kekayaan alam, baik yang tumbuh di atas tanah maupun yang tersimpan di dalamnya, semuanya adalah nikmat dari Allah yang patut disyukuri. 


Pendeknya, ayat ini menegaskan bahwa segala jenis hasil bumi, termasuk logam dan batuan tambang, masuk dalam cakupan ayat ini. Simak penjelasan Ibnu Katsir berikut;


وقوله: ﴿وَما ذَرَأَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُخْتَلِفاً أَلْوانُهُ﴾ لما نبه تعالى على معالم السموات نبه على ما خلق في الأرض من الأمور العجيبة، والأشياء المختلفة من الحيوانات والمعادن، والنباتات والجمادات على اختلاف ألوانها وأشكالها، وما فيها من المنافع والخواص ﴿إِنَّ فِي ذلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ﴾ أي آلاء الله ونعمه فيشكرونها


Artinya; “Dan firman Allah: 'Dan apa yang Dia ciptakan untuk kalian di bumi dengan beragam warnanya,'  setelah Allah menjelaskan tanda-tanda (keagungan-Nya) di langit, Dia kemudian menjelaskan apa yang Dia ciptakan di bumi berupa hal-hal yang menakjubkan, dan berbagai macam makhluk hidup, logam [mineral-mineral], tumbuh-tumbuhan, serta benda-benda tak bernyawa dengan perbedaan warna dan bentuknya, serta berbagai manfaat dan khasiat yang terkandung di dalamnya. 'Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mau mengingat,' yakni mengingat nikmat-nikmat dan karunia-karunia Allah, lalu mereka bersyukur atasnya,” (Ibnu Katsir, tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1998 M], jilid IV, hlm. 182).


Adapun Syekh Nawawi Banten, menjelaskan, bahwa di ayat 13 ini,  Allah menciptakan dan menundukkan segala yang ada di bumi ini untuk kepentingan manusia. Baik itu hewan, tumbuhan, maupun benda-benda di alam, semuanya memiliki bentuk dan warna yang berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan betapa besar cinta dan perhatian Allah kepada makhluk-Nya.


Menariknya, walaupun asal-usul ciptaan itu bisa saja sama, seperti tanah atau unsur alam, tetapi hasil akhirnya sangat beragam. Setiap makhluk memiliki ciri khas dan keunikan sendiri. Bagi orang yang mau merenung, hal ini semakin menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah yang Mahakuasa dapat menciptakan keanekaragaman seperti ini.


Perlu kita sadari, di dunia ini, kita bisa melihat berbagai warna dan bentuk yang berbeda-beda. Ada logam seperti emas dan perak, ada juga batu-batuan yang indah. Semua itu bukan sekadar benda mati tanpa makna. Justru, semua perbedaan itu adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah. Di balik ciptaan tersebut, ada banyak manfaat dan hikmah yang bisa kita rasakan.


Syekh Nawawi Al-Bantani berkata; 


وَما ذَرَأَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ أي وسخر لكم ما خلق لكم في الأرض من حيوان ونبات مُخْتَلِفاً أَلْوانُهُ إِنَّ فِي ذلِكَ أي اختلاف ما في الأرض لَآيَةً لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ (١٣) أي يتعظون فإن اختلاف طبائع ما في الأرض وأشكاله مع اتحاد مواده إنما هو بصنع حكيم عليم قادر مختار منزه عن كونه جسمانيا وذلك هو الله تعالى 


Artinya: “Dan apa yang Dia ciptakan untuk kalian di bumi,” maksudnya: dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang Dia ciptakan di bumi, berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan, “yang beraneka ragam warnanya,” yakni berbeda-beda rupa dan jenisnya. “Sesungguhnya pada yang demikian itu,” yaitu pada perbedaan apa yang ada di bumi itu, “terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran,” yakni yang mau mengambil ‘ibrah. Karena perbedaan tabiat dan bentuk dari apa yang ada di bumi, padahal bahan asalnya satu, itu hanyalah ciptaan dari Tuhan yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan memiliki kehendak, yang suci dari sifat jasmani, dan Dialah Allah Ta‘ala. (Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid I, halaman 588).


Dari pelbagai penafsiran ulama-ulama di atas, jelas kekayaan bumi seperti emas, perak, besi, timah, batu bara, dan minyak bumi adalah bagian dari ayat-ayat kauniyyah (tanda-tanda kekuasaan Allah) yang boleh dimanfaatkan manusia dengan syarat menjaga kemaslahatan dan kelestarian.


Dalil lain yang memperkuat hal ini adalah Surat Al-Hadid ayat 25:


وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌࣖ ۝٢٥


Artinya, “Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”


Begitu juga dalam surat Fushilat ayat 10:


وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبٰرَكَ فِيْهَا وَقَدَّرَ فِيْهَآ اَقْوَاتَهَا فِيْٓ اَرْبَعَةِ اَيَّامٍۗ سَوَاۤءً لِّلسَّاۤىِٕلِيْنَ ۝١٠


Artinya, “Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.”

 
Dari ayat-ayat ini, kita bisa melihat bahwa pemanfaatan logam dan hasil tambang memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an. Islam tidak melarang pemanfaatan tambang dan kekayaan alam. Sebaliknya, Al-Qur’an memberi izin, bahkan menganjurkannya, asalkan dikelola dengan bijak. Artinya, dalam mengelola tambang, manusia harus memperhatikan kepentingan umum, menjaga kelestarian alam, serta menghindari kerakusan dan eksploitasi berlebihan.


Dalam pandangan Islam, bumi bukan sekadar tempat berpijak, melainkan amanah dari Sang Pencipta yang harus dijaga dan dikelola dengan bijak. Kekayaan yang terpendam di dalam perut bumi, emas, perak, batu bara, nikel, hingga minyak bumi, merupakan nikmat sekaligus ujian. 


Pun, ketika manusia menggali kekayaan tersebut, aktivitas itu tidak serta-merta netral. Ia bisa menjadi sumber maslahat atau justru menciptakan mafsadah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip Islam menjadi kompas moral yang sangat relevan dalam mengarahkan aktivitas pertambangan agar tetap berada dalam koridor etika dan keberlanjutan.


Setidaknya ada 3 pilar utama dalam menjalankan aktivitas pertambangan, dan juga aktivitas lain yang berkaitan dengan eksplorasi sumber daya alam. Pertama, menjauhi mafsadah/kerusakan. 

 
Tak bisa dipungkiri, salah satu prinsip utama dalam Islam adalah maslahah (kebaikan/kemanfaatan) dan mafsadah (kerusakan/mudharat). Prinsip ini menegaskan bahwa segala aktivitas manusia, termasuk pertambangan, hanya dapat dibenarkan bila lebih banyak mendatangkan manfaat daripada kerusakan. Dalam hal ini, Al-Qur’an mengingatkan manusia dengan firman Allah:


وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦


Artinya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”


Sekilas, ayat ini tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga ekologis. Allah menekankan bahwa bumi telah diciptakan dalam keadaan seimbang dan layak huni. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ini, bukan malah merusaknya atas nama pembangunan atau keuntungan.


Dalam buku Fikih Energi Terbarukan, halaman 68 yang disusun hasil kolaborasi LAKPESDAM-PBNU, disebutkan bahwa salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan dan krisis energi adalah manusia itu sendiri. Sebab, manusialah yang diberi amanah oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, yang seharusnya menjaga dan merawat alam, bukan malah merusaknya. Sayangnya, sering kali manusia justru lupa akan tanggung jawab itu dan bertindak seenaknya terhadap alam.


Padahal, semua nikmat dan sumber daya alam yang Allah sediakan begitu melimpah dan diciptakan untuk kebaikan manusia. Seharusnya kita bisa memanfaatkannya dengan bijak, bukan dieksploitasi habis-habisan tanpa memikirkan dampaknya. Penggalian sumber daya alam boleh saja dilakukan, tapi tetap harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan keseimbangan hidup. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, kita malah merusak bumi tempat kita tinggal.


Prinsip kedua dalam pengelolaan tambang menurut ajaran Islam adalah negara harus berperan aktif dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam fiqih, tambang dan kekayaan alam lainnya digolongkan sebagai milik umum (al-milkiyyah al-‘ammah), bukan milik individu atau kelompok tertentu. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab besar untuk mengelola sumber daya tersebut demi kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir pihak.


Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman Al-Hasyr ayat 7:


كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ


Artinya; "(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."


Kesadaran akan pentingnya peran negara ini juga menjadi sorotan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas & Konbes NU) tahun 2012 di Cirebon. Dalam forum tersebut, para alim-ulama dari NU secara tegas menekankan bahwa negara harus memperkuat otoritasnya dalam mengelola sektor pertambangan, khususnya mineral dan batubara. Tujuannya jelas: mencegah dominasi pihak luar yang bisa merugikan rakyat dan menguras kekayaan bangsa. (Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, [Jakarta: LTN PBNU, 2012], hlm. 22).


Dari pembahasan itu, muncul sejumlah rekomendasi penting. Salah satunya adalah perlunya aturan yang mewajibkan pasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk dalam negeri diprioritaskan terlebih dahulu. Negara juga harus memastikan bahwa hasil dari pengelolaan sumber daya alam ini memberikan pemasukan yang layak, minimal mencakup pungutan 'usyur sebesar 10 persen dan ditambah dengan kharaj atau pajak sesuai dengan aturan yang berlaku. (Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012,  hlm. 23)


Tak hanya itu, pemberian izin usaha pertambangan juga harus tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat. Dengan begitu, kontrol terhadap kegiatan pertambangan bisa lebih efektif dan merata. Bahkan kontrak-kontrak pertambangan yang sudah berlaku sebelum adanya undang-undang baru pun dianjurkan untuk segera disesuaikan, tanpa harus menunggu sampai masa kontraknya habis. Semua ini adalah bentuk ikhtiar agar kekayaan alam dikelola secara adil, berkelanjutan, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.


Prinsip ketiga dalam pengelolaan tambang menurut Islam adalah tanggung jawab terhadap lingkungan. Dalam ajaran Islam, manusia diberi peran sebagai khalifah di bumi. Peran ini bukan hanya tentang kepemimpinan, tapi juga tanggung jawab besar untuk menjaga alam agar tetap lestari. Aktivitas pertambangan harus dilakukan dengan penuh kesadaran agar tidak merusak ekosistem. 


Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman surat Al-Baqarah ayat 30:


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةًۗ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ إِنِّيٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ


Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.' Mereka berkata, 'Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?' Dia berfirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'


Amanah sebagai khalifah ini adalah tanggung jawab yang berat. Bahkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 72, Allah menggambarkan betapa beratnya amanat tersebut hingga langit, bumi, dan gunung-gunung enggan memikulnya. Namun manusia menerimanya, walaupun sering kali bertindak zalim dan bodoh terhadap tanggung jawab tersebut.


إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُۚ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka takut akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”


KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Beliau menjelaskan bahwa konsep al-mīzān (keseimbangan) dalam Al-Qur’an menandakan pentingnya menjaga harmoni alam. Firman Allah dalam surat Ar-Rahman ayat 7–9:


وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ۝ أَلَّا تَطْغَوْا۟ فِى ٱلْمِيزَانِ۝ وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ


Artinya: “Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan.”


KH Ali Yafie bahkan mengusulkan agar hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan) menjadi prinsip keenam dalam Maqashid al-Syari’ah, bersama dengan lima prinsip utama lainnya. Artinya, menjaga kelestarian alam bukan hanya tugas sosial atau moral, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan utama hukum Islam.


Dengan demikian, Surat An-Nahl ayat 13 mengandung petunjuk bahwa seluruh ciptaan Allah di bumi, yang berbeda warna dan bentuknya, diciptakan untuk manusia. Islam mendukung pemanfaatan sumber daya alam selama dilakukan dengan etika tanggung jawab, menjaga lingkungan, dan mengutamakan kemaslahatan publik. Dengan pemahaman yang tepat, ayat ini menjadi dasar teologis sekaligus inspirasi untuk membangun ekosistem yang adil, berkelanjutan, dan membawa manfaat bagi seluruh umat manusia.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung.