Apakah Manusia Hedonis secara Alami? Begini Penjelasan Al-Qur’an
NU Online · Selasa, 17 Juni 2025 | 15:00 WIB
Muhammad Zainul Mujahid
Kolomnis
Manusia merupakan makhluk yang dibekali dengan akal dan nafsu. Dengan mengoptimalkan fungsi akal, manusia dapat menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, ketika manusia dikuasai oleh hawa nafsu, derajat kemanusiaannya akan turun drastis bahkan lebih rendah dari pada binatang.
Adanya unsur nafsu dalam diri manusia menyebabkan mereka ingin memiliki segala hal yang dapat menunjang kehidupan dan memenuhi segala keinginan materialnnya. Sikap ini sejatinya tidak bermasalah. Namun, ketika hawa nafsu mendominasi akal, manusia akan lupa tujuan hidup yang asasi sehingga ia hanya mengejar kesenangan dunia karena menganggap bahwa kebahagiaan sejati itu ada pada materi. Inilah yang disebut dengan hedonisme.
Secara sederhana hedonisme dapat diartikan sebagai cara pandang yang menganggap bahwa kesenangan dan kepuasan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Mereka yang memiliki pola pikir seperti ini biasanya disibukkan oleh urusan-urusan materi.
Segala tindakannya selalu diproyeksikan untuk harta dan orientasi keduniaan semata. Karena fokusnya hanya menyangkut urusan materi, mereka sangat jarang bahkan tidak pernah mementingkan urusan rohani yang sejatinya jauh lebih penting dari pada unsur jasmani.
Kecintaan manusia terhadap harta benda dan hal-hal yang sifatnya materi memang berjalan secara alami dan tidak dapat dipungkiri. Pasalnya, hal tersebut memang sudah menjadi naluri setiap manusia. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah swt, dalam Surat Ali ‘Imran ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Artinya: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali ‘Imran [03]: 14)
Baca Juga
Frugal Living menurut Ajaran Islam
Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam setiap manusia memang telah terpatri kecintaaan terhadap hal-hal yang disyahwati. Ada beberapa hal yang disebutkan sebagai perkara yang disyahwati manusia; wanita, keturunan, harta dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya menyukai kenikmatan dunia yang sifatnya meteril itu.
Menurut al-Zamakhsyari, ada dua alasan mengapa hal-hal di atas diistilahkan sebagai ‘asy-syahwati’ atau 'al-musytahât' (hal-hal yang disyahwati). Pertama, karena apa yang disebutkan dalam ayat tersebut merupakan hal-hal yang biasanya sangat diinginkan oleh manusia. Alasannya karena mereka menganggap bahwa kebahagiaan dan kesenangan ada pada perkara-perkara tersebut.
Kedua, istilah syahwat sendiri sejatinya memiliki konotasi negatif. Sehingga ayat ini sebenarnya bertujuan agar manusia berhati-hati terhadap perkara-perkara tersebut. (Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, [Beirut, Darul Kitab al-‘Arabi, 1407 H.], juz 1, hal. 342)
Mencari kesenangan dunia sejatinya tidak dilarang selama masih dalam batas kewajaran. Hal ini karena memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk material yang akan selalu membutuhkan materi untuk melangsungkan hidup. Dengan demikian, adalah sebuah kewajaran manakala manusia menginginkan materi karena mereka memang membutuhkannya.
Dalam hal ini, Allah swt, berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan (dari) Allah yang telah Dia sediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, ‘Semua itu adalah untuk orang-orang yang beriman (dan juga tidak beriman) dalam kehidupan dunia, (tetapi ia akan menjadi) khusus (untuk mereka yang beriman saja) pada hari Kiamat.’” Demikianlah Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu kepada kaum yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf [07]: 32)
Islam merupakan agama komprehensif yang bukan hanya mengurusi masalah akhirat, kemaslahatan dunia juga menjadi salah satu prioritasnya. Karenanya, mencari hal-hal yang sifatnya duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak dilarang sebab hanya dengan syahwat materialistik seperti itulah kehidupan di dunia ini bisa terus berjalan. Kecintaan terhadap dunia yang dilarang agama adalah ketika cinta tersebut berlebih-lebihan sehingga dapat melalaikannya dari urusan akhirat.
Dalam kitab al-Tafsirul Wasith, Syaikh Wahbab al-Zuhaili berkata,
ليس ممنوعا على المسلم حب الدنيا ومظاهرها، ولكن الممنوع المبالغة والإسراف فيها، والاقتصار عليها، حتى تطغى على الناحية الدينية، وتهمل أمور الآخرة
Artinya: “Seorang muslim tidak dilarang untuk mencintai dunia dan kenikmatan yang ada di dalamnya. Akan tetapi, yang dilarang adalah terlalu berlebihan dan melampaui batas dalam kecintaan terhadap dunia sehingga ia berani melanggar batasan agama dan mengabaikan perkara-perkara ukhrawi.” (Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsirul Wasith, [Damaskus, Darul Fikr, 1418 H.], juz 1, hlm. 178)
Al-Qur’an jelas melarang orang-orang bersikap hedonis yang orientasi hidupnya hanya mencari kesenangan dunia. Seluruh waktu dan tenaganya dihabiskan untuk mengumpulkan harta yang mereka meyakini bahwa harta dan kesenangan dunia akan mereka nikmati selamanya. Allah Swt. berfirman:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)
Artinya: “Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu [1]. sampai kamu masuk ke dalam kubur [2]. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) [3]. Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya) [4]. Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, (niscaya kamu tidak akan melakukannya) [5]. Pasti kamu benar-benar akan melihat (neraka) Jahim [6]. Kemudian, kamu pasti benar-benar akan melihatnya dengan ainulyakin [7]. Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu) [8].” (QS. Al-Takatsur [102]: 1-8)
Ayat di di atas menjelaskan bahwa berlomba-lomba mencari harta kekayaan dan materi dunia acap kali membuat manusia lalai terhadap urusan akhirat. Menurut al-Syaukani, ayat di atas menjadi dalil bahwa terlalu menyibukkan diri dengan urusan dunia adalah prilaku tercela dalam pandangan syariat. Mereka berlomba-lomba mencari kesenangan dunia kemudian berbangga-bangga atas hasil yang diperoleh, dan itu akan terus terjadi sampai maut menjemput mereka. (As-Syaukani, Fathul Qadir, [Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1414 H.], juz 5, hal. 597)
Dari sini dapat dipahami bahwa hedonisme merupakan suatu pandangan dan sikap yang tercela dalam Islam. Akan tetapi, hal ini bukan berarti manusia dilarang untuk mencari kesenangan dunia. Hal yang dilarang adalah ketika manusia sibuk mencari dunia sehingga lupa terhadap akhirat. Wallahu a‘lam.
Terpopuler
1
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
2
Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
5
LD PBNU Ungkap Fungsi Masjid dalam Membina Umat yang Ramah Lingkungan
6
Orang-Orang yang Terhormat, Novel Sastrawan NU yang Dianggap Berbahaya Rezim Soeharto
Terkini
Lihat Semua