Film Qodrat: Antara Dosa dan Harapan Akan Ampunan Allah
NU Online · Senin, 21 April 2025 | 14:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
"Tiap hari saya berharap, Allah mengampuni dosa dan kesalahan yang saya buat. Dosaku terlalu besar, aku enggak mungkin diampuni," Azizah, dalam film Qodrat.
Dialog ini diungkapkan Azizah (Acha Septriasa), dalam film Qodrat. Kalimat sederhana itu bukan hanya ungkapan kesedihan semata, tapi juga cermin dari banyak jiwa yang terbelenggu rasa bersalah dan keputusasaan. Seakan-akan, pintu ampunan telah tertutup, dan harapan untuk kembali kepada jalan Allah menjadi mustahil.
Namun, di tengah gelapnya rasa bersalah, hingga terkesan putus asa yang menggerogoti hati Azizah, muncullah pelita dari sosok Ustadz Qodrat, diperankan oleh Vino G. Bastian, yang dengan tenang menjawab: "Sesungguhnya kasih sayang Allah dan rahmat Allah jauh lebih luas." Kalimat ini bukan hanya penghiburan, tetapi juga tamparan lembut bagi siapa saja yang mengira bahwa dosa mereka lebih besar dari kasih sayang Tuhan.
Film Qodrat membawa kita pada salah satu realitas psikologis dan spiritual yang paling sering dialami manusia, yaitu perasaan tidak layak diampuni akibat dosa. Banyak orang merasa terlalu kotor untuk kembali kepada Allah. Mereka mengira bahwa keburukan masa lalu telah menghapus peluang untuk bertobat.
Dalam dunia nyata, banyak "Azizah" lain di luar sana, jiwa-jiwa yang merasa terlalu hancur untuk berharap. Pasalnya, kita seringkali mengukur kasih sayang Allah dengan standar manusia. Kita pikir, jika kita mengkhianati seseorang, maka kita akan dibenci selamanya. Tapi Allah bukan manusia. Kasih sayang-Nya tak terbatas.
Begitu juga, agama Islam datang dengan kabar gembira: bahwa rahmat Allah wasi‘at kulla syay’, meliputi segala sesuatu. Tidak ada dosa yang terlalu besar, selama seseorang masih memiliki tekad untuk kembali dan memperbaiki diri. Dalam Al-Qur'an surat Az-Zumar ayat 53, bahwa Islam mengajarkan bahwa selama napas masih berhembus, pintu taubat masih terbuka. Allah berfirman:
۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ ٥٣
qul yâ ‘ibâdiyalladzîna asrafû ‘alâ anfusihim lâ taqnathû mir raḫmatillâh, innallâha yaghfirudz-dzunûba jamî‘â, innahû huwal-ghafûrur-raḫîm
Artinya, "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini seolah menjadi jawaban langsung untuk Azizah dan semua orang yang merasa dosanya terlalu besar. Allah tidak hanya membuka pintu tobat, tapi Ia mengundang kita masuk, bahkan ketika kita merasa tak layak. Ia tak meminta kita suci untuk datang, tapi justru menunggu kita datang untuk disucikan.
Dalam kitab Tafsir Lathaiful Isyarat, Abdul Karim Qusyairi menjelaskan makna yang indah dari ayat QS Az-Zumar ayat 53. Ketika Allah menyapa dengan kalimat, “Wahai hamba-hamba-Ku,” itu adalah bentuk pujian yang penuh kasih sayang. Pun mendapat respons beragam; dari orang beriman dan orang pendosa.
Saat sapaan itu terdengar, kata Syekh Abdul Karim Qusyairi, orang-orang yang taat merasa bahwa mereka adalah yang dimaksud, sehingga mereka merasa bangga dan mengangkat kepala dengan harapan. Sementara itu, para pendosa, merasa malu dan menundukkan kepala mereka karena merasa tak pantas mendapatkan panggilan istimewa dari Allah. Mereka bertanya-tanya dalam hati, “Siapakah kami ini hingga Allah menyapa kami dengan begitu lembut?”
Namun ketika firman Allah dilanjutkan dengan kalimat “yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri”, suasana hati pun berubah. Para pendosa yang semula malu, kini merasa tersentuh dan terangkat semangatnya, merasa bahwa mereka masih memiliki harapan dan tempat di sisi Allah. Sebaliknya, orang-orang beriman, yang tadinya merasa bangga menjadi lebih rendah hati, menyadari bahwa sapaan itu juga mencakup peringatan.
Lebih lanjut, Allah kemudian menenangkan hati para pendosa dengan menegaskan bahwa pelanggaran yang mereka lakukan hanyalah terhadap diri mereka sendiri. Lalu Allah menutup dengan kalimat penghibur: “Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” Ini adalah undangan penuh kasih, agar siapa pun yang mengetuk pintu-Nya jangan berpaling. Allah menegaskan bahwa Dia mengampuni seluruh dosa, tanpa terkecuali. Kata “seluruhnya” memperkuat bahwa ampunan-Nya tak terbatas, seolah-olah Allah berkata, “Aku ampuni semuanya, tak ada satu pun yang tertinggal.”
التسمية ب «يا عِبادِيَ» مدح، والوصف بأنهم «أَسْرَفُوا» ذم. فلمّا قال: «يا عِبادِيَ» طمع المطيعون في أن يكونوا هم المقصودين بالآية، فرفعوا رءوسهم، ونكّس العصاة رءوسهم وقالوا: من نحن.. حتى يقول لنا هذا؟! فقال تعالى: «الَّذِينَ أَسْرَفُوا» فانقلب الحال فهؤلاء الذين نكّسوا رءوسهم انتعشوا وزالت ذلّتهم، والذين رفعوا رءوسهم أطرقوا وزالت صولتهم. ثم أزال الأعجوبة عن القسمة بما قوّى رجاءهم بقوله: «عَلى أَنْفُسِهِمْ» يعنى إن أسرفت فعلى نفسك أسرفت. «لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ» : بعد ما قطعت اختلافك إلى بابنا فلا ترفع قلبك عنّا. «إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً» الألف واللام فى «الذُّنُوبَ» للاستغراق والعموم، والذنوب جمع ذنب، وجاءت «جَمِيعاً» للتأكيد فكأنه قال: أغفر ولا أترك، وأعفو ولا أبقى
Artinya, “Sapaan dengan ‘wahai hamba-hamba-Ku’ adalah bentuk pujian, sedangkan penyifatan mereka dengan ‘yang telah melampaui batas’ adalah bentuk celaan. Ketika Allah berfirman, ‘wahai hamba-hamba-Ku’, orang-orang yang taat berharap bahwa merekalah yang dimaksud dalam ayat ini, lalu mereka menengadahkan kepala mereka. Sementara itu, para pendosa menundukkan kepala mereka dan berkata, ‘Siapa kami ini… hingga Allah menyapa kami dengan panggilan seperti ini?!’”
Namun, ketika Allah melanjutkan dengan firman-Nya, “‘yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri’”, keadaan pun berubah. Mereka yang sebelumnya menundukkan kepala menjadi terangkat semangatnya dan hilang kehinaannya, sedangkan mereka yang semula mengadahkan kepala menjadi tertunduk dan lenyap kebanggaannya.
Kemudian Allah menghapus keheranan terhadap pembagian ini dengan menguatkan harapan mereka lewat firman-Nya: “‘terhadap diri mereka sendiri’”, maksudnya: Jika engkau melampaui batas, maka sesungguhnya itu terhadap dirimu sendiri. “‘Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah’”: Setelah engkau mengetuk pintu Kami, maka janganlah engkau palingkan hatimu dari Kami.
“‘Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa’”: Alif-lam pada kata “adz-dzunūb” (dosa-dosa) menunjukkan cakupan umum dan menyeluruh. Kata “adz-dzunūb” adalah bentuk jamak dari dzanb (dosa). Dan kata “‘seluruhnya’” (jamīʿan) datang untuk mempertegas, seakan-akan Allah berkata: “Aku mengampuni semuanya tanpa tersisa, Aku memaafkan semuanya tanpa menyisakan sedikit pun,” (Abdul Karim Qusyairi, Lathaiful Isyarat, [Mesir: Haiah al-Mishriyah al-Ammah lil Kitab, t.t.] jilid III, halaman 287).
Lebih jauh, Syekh Jamaluddin Al-Qasimi, dalam kitab Mahasinut Ta'wil, mengatakan ayat 53 surat Az-Zumar merupakan seruan penuh kasih dari Allah kepada hamba-hamba yang telah melampaui batas dengan melakukan maksiat dan kekufuran. Allah memanggil mereka dengan panggilan lembut, "Wahai hamba-hamba-Ku," sebagai bentuk kasih sayang dan penerimaan, meskipun mereka telah menzalimi diri sendiri dengan berbuat dosa.
Lewat ayat ini, kata Jamaluddin Al-Qasimi, Allah menegaskan agar mereka tidak perlu berputus asa dari rahmat-Nya, karena tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama seorang hamba mau kembali dan bertobat. Allah mengampuni semua dosa, baik kecil maupun besar, selama hamba datang dengan taubat yang sungguh-sungguh dan iman yang tulus.
Bahkan, orang yang sebelumnya hidup dalam kekufuran pun akan diampuni jika memeluk Islam dan beriman. Ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya rahmat Allah, yang tidak hanya mencakup mereka yang taat, tetapi juga mereka yang pernah tersesat. Sebab, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, yang selalu membuka pintu taubat bagi siapa pun yang ingin kembali.
قُلْ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أي جنوا عليها بالإسراف في المعاصي والكفر لا تَقْنَطُوا قرئ بفتح النون وكسرها مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ أي لا تيأسوا من مغفرته بفعل سبب يمحو أثر الإسراف إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً أي لمن تاب وآمن. فإن الإسلام يجبّ ما قبله إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya, “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri’”—yakni mereka yang telah berbuat zalim terhadap diri mereka dengan berlebihan dalam maksiat dan kekufuran—“janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” Ada dua qira’ah: dibaca la taqnathu (dengan fathah) dan la taqnitu (dengan kasrah), maksudnya: janganlah kalian berputus asa dari ampunan-Nya karena Dia bisa menghapuskan dosa akibat perbuatan yang melampaui batas. “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya,” yakni bagi siapa yang bertobat dan beriman. Sebab, Islam menghapus semua dosa sebelumnya. “Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1418 H], Jilid VIII, halaman 8).
Kisah Di Balik Turun Az Zumar ayat 53
Imam Baghawi dalam kitab Tafsir Ma'alimut Tanzil fi Tafsir Al-Qur'an, menjelaskan Sababun Nuzul surat Az-Zumar ayat 53. Diriwayatkan, bahwa sekelompok orang musyrik pernah datang kepada Nabi Muhammad. Mereka adalah orang-orang yang pernah melakukan dosa besar seperti membunuh dan berzina dalam jumlah banyak.
Mereka berkata kepada Nabi, “Ajaran yang engkau bawa itu sangat baik. Tapi, apakah mungkin dosa-dosa besar kami masih bisa diampuni?” Lalu Allah menurunkan ayat Al-Qur’an sebagai jawaban atas pertanyaan mereka, bahwa pintu ampunan selalu terbuka bagi orang-orang yang benar-benar ingin bertobat.
Sementara dalam kisah lain, Ibnu Abbas menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk mengajak Wahsyi, pembunuh Sayyidina Hamzah, masuk Islam. Namun Wahsyi merasa ragu dan menjawab, “Bagaimana aku bisa masuk Islam, sedangkan aku telah melakukan dosa besar seperti membunuh, berzina, dan menyekutukan Allah? Bukankah orang seperti itu akan mendapat azab yang sangat berat?” Maka Allah menurunkan ayat dalam QS. Maryam ayat 60, yang menjelaskan bahwa siapa saja yang bertobat, beriman, dan beramal saleh akan diampuni dosanya.
Namun Wahsyi masih belum tenang. Ia berkata bahwa syarat-syarat itu terasa berat dan dia khawatir tidak sanggup memenuhinya. Lalu Allah menurunkan ayat lain dalam QS. An-Nisa ayat 48 dan 116, yang menyatakan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik jika tidak dimintakan ampunan, tetapi semua dosa lain dapat Dia ampuni bagi siapa yang Dia kehendaki. Meski begitu, Wahsyi masih ragu karena ia belum tahu apakah dirinya termasuk orang yang dikehendaki untuk diampuni atau tidak.
Akhirnya, Allah menurunkan ayat yang sangat menghibur dalam QS. Az-Zumar ayat 53: “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.’” Mendengar ayat ini, Wahsyi merasa lega dan berkata, “Inilah yang aku cari.” Ia pun datang kepada Nabi dan masuk Islam. Para sahabat lalu bertanya, apakah ayat ini hanya berlaku untuk Wahsyi saja. Nabi SAW menjawab bahwa ayat ini berlaku untuk semua umat Islam yang ingin bertobat. (Imam Baghawi, Tafsir Ma’alimut Tanzil dalam Tafsir Al-Qur’an, [Saudi Arabia: Dar Thaybah lin Nasyar wa Tawzi’, 1997], Jilid 7, halaman 125).
Akhir film ini tidak menawarkan kemenangan mutlak, tetapi lebih kepada ketenangan: bahwa orang yang berdamai dengan masa lalunya dan berani kembali kepada Allah, sejatinya telah menang atas dirinya sendiri. Qodrat bukan hanya nama tokoh, tetapi juga menjadi representasi dari kekuatan fitrah manusia yang ingin kembali suci, kembali fitrah, kembali kepada Rabb-nya.
Inilah yang membuat Qodrat begitu membekas: film ini tidak hanya berbicara tentang eksorsisme dalam bentuk ruqyah, tetapi juga tentang eksorsisme jiwa, membersihkan hati dari belenggu penyesalan, membuka kembali ruang harapan, dan percaya bahwa dalam rahmat Allah selalu ada cahaya bagi yang ingin kembali. Maka, dalam film ini, kita melihat bahwa antara dosa dan harapan akan ampunan Allah terbentang jalan pulang yang bernama tobat.
Ustaz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, Tinggal di Parung
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
3
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua