Refleksi Surah Al-Jumu’ah: Shalat Jumat dan Menjaga Porsi antara Urusan Dunia dan Akhirat
NU Online · Senin, 21 April 2025 | 19:00 WIB
Achmad Khoirudin
Kolomnis
Surat Al-Jumu’ah merupakan surat ke-62 dalam urutan mushaf Al-Qur’an dan terdiri dari 11 ayat. Menurut jumhur ulama, surat ini tergolong surat Makkiyah. Secara garis besar, Surat Al-Jumu’ah membahas keistimewaan Nabi Muhammad SAW, kondisi kaum Yahudi, perintah melaksanakan salat Jumat, serta anjuran untuk mendahulukan kehidupan akhirat sambil tetap mencari kebutuhan duniawi. Surat ini juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa Surat Al-Jumu’ah diturunkan pada tahun keenam Hijriyah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
أَنَّ هَذِهِ السُّورَةَ نَزَلَتْ بَعْدَ فَتْحِ خَيْبَرَ لِأَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَسْلَمَ يَوْمَ خَيْبَرَ
Artinya, “Sesungguhnya surat ini (Al-jumu’ah) diturunkan setelah penaklukan tanah Khaibar, karena abu bakar selamat dari Perang Khaibar.”
Menurut Ibnu ‘Asyur, Surat Al-Jumu’ah dianggap sebagai surat ke-106 dalam urutan penurunan berdasarkan pendapat Jabir bin Zaid. Surat ini diturunkan setelah Surat At-Tahrim dan sebelum Surat At-Taghabun. Selain itu, surat ini diturunkan sekaligus dalam satu waktu, bukan secara berangsur-angsur. (Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, [Tunisia: Dar Tunisia lin-Nasyr, 1984], Jilid XXVIII, hlm. 205)
Surat Al-Jumu’ah dan Artinya
يُسَبِّحُ لِلّهِ ما فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (١) هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٢) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٣) ذلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (٤) مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْراةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوها كَمَثَلِ الْحِمارِ يَحْمِلُ أَسْفارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآياتِ اللهِ وَاللهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظّالِمِينَ (٥) قُلْ يا أَيُّهَا الَّذِينَ هادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِياءُ لِلّهِ مِنْ دُونِ النّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ (٦) وَلا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِما قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِالظّالِمِينَ (٧) قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلى عالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٨) يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩) فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَاِبْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاُذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠) وَإِذا رَأَوْا تِجارَةً أَوْ لَهْوًا اِنْفَضُّوا إِلَيْها وَتَرَكُوكَ قائِمًا قُلْ ما عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجارَةِ وَاللهُ خَيْرُ الرّازِقِينَ (١١)
Artinya, “Segala yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Yang Maha Raja, Maha Suci, Maha Perkasa, dan Maha Bijaksana. Dialah yang mengutus seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad, kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan jiwa mereka, serta mengajarkan Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Allah juga mengutus Nabi Muhammad) kepada kaum lain yang belum menyusul mereka. Dialah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah memiliki karunia yang sangat besar. Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas mengamalkan Taurat, tetapi tidak mengamalkannya, adalah seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal tanpa memahami isinya. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, ‘Hai orang-orang Yahudi, jika kalian mengira bahwa hanya kalian yang menjadi kekasih Allah dan bukan orang lain, maka harapkanlah kematian jika kalian benar.’ Mereka tidak akan pernah mengharapkan kematian karena perbuatan buruk yang telah mereka lakukan dengan tangan mereka sendiri. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari pasti akan menjumpai kalian. Kemudian, kalian akan dikembalikan kepada Allah, Yang Maha Mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitahu kalian apa yang telah kalian lakukan.’ Wahai orang-orang yang beriman, apabila seruan untuk menunaikan salat Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Setelah salat Jumat selesai, bertebaranlah di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung. Ketika sebagian mereka melihat perdagangan atau hiburan, mereka segera berpencar menujunya dan meninggalkanmu, wahai Nabi Muhammad, yang sedang berdiri berkhotbah. Katakanlah, ‘Apa yang ada di sisi Allah jauh lebih baik daripada hiburan dan perdagangan. Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.’”
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa Surat Al-Jumu’ah dinamakan demikian karena surat ini memuat perintah untuk memenuhi panggilan salat Jumat, yang berbunyi:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa Surat Al-Jumu’ah dinamakan demikian karena memuat perintah untuk memenuhi panggilan salat Jumat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila seruan untuk menunaikan salat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah...” (QS. Al-Jumu’ah: 9). Pada masa sahabat, serta dalam berbagai kitab sunnah dan tafsir, surat ini hanya dikenal dengan nama Al-Jumu’ah tanpa nama lain yang diketahui. (Tafsirul Munir [Damaskus: Dar al-Fikr, 1411 H], Jilid XXVIII, hlm. 181).
Keutamaan Surat Al-Jumu’ah
Ibnu Katsir memaparkan keutamaan Surat Al-Jumu’ah berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, yaitu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَالْمُنَافِقِينَ (رواه مسلم)
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW, ketika melaksanakan salat Jumat, membaca Surat Al-Jumu’ah dan Surat Al-Munafiqun.” (HR. Muslim). (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H], Jilid VIII, hlm. 141).
Sababun Nuzul Surat Al-Jumu’ah
Syekh Ali ash-Shabuni menyebutkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah mengenai sebab turunnya Surat Al-Jumu’ah, yaitu:
بينما النبي ﷺ يخطب يوم الجمعة قائمًا، إذْ قدمت عيرٌ من المدينة، فابتدرها أصحابُ رسول الله ﷺ َ حتى لم يبق منهم إلا اثنا عشر رجلًا أنا فيهم وأبو بكر وعمر، فأنزل الله تعالى: ﴿وَإِذَا رَأَوْاْ تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفضوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا﴾ الآية
Artinya, “Ketika Nabi SAW sedang berdiri menyampaikan khutbah Jumat, tiba-tiba datang kafilah dagang dari Madinah. Para sahabat Rasulullah SAW segera bergegas menuju kafilah tersebut hingga hanya tersisa dua belas orang, termasuk aku, Abu Bakar, dan Umar. Maka, Allah SWT menurunkan ayat: Wa idza ra’au tijaaratan aw lahwan… (QS. Al-Jumu’ah: 11).” (Muhammad Ali ash-Shabuni, Safwatut Tafasir [Mesir: Dar ash-Shabuni, 1417 H], Jilid III, hlm. 356).
Korelasi Surat Al-Jumu’ah dengan Surat Sebelumnya
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa korelasi (munasabah) antara Surat Al-Jumu’ah dan surat sebelumnya, yaitu Surat Ash-Shaff, dapat dilihat dari empat aspek berikut:
- Surat Ash-Shaff menyebutkan kondisi Nabi Musa AS bersama kaumnya dan bagaimana mereka menyakitinya, lalu mencela mereka. Sebaliknya, Surat Al-Jumu’ah memaparkan keadaan Nabi Muhammad SAW dan keutamaan umatnya untuk memuliakan mereka, sehingga terlihat perbedaan antara kedua umat dan keutamaan umat Islam.
- Dalam Surat Ash-Shaff, Nabi Isa AS diberi kabar gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW (disebut sebagai Ahmad). Surat Al-Jumu’ah kemudian menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang dimaksud dalam surat sebelumnya.
- Surat Ash-Shaff diakhiri dengan perintah berjihad dan menyebutnya sebagai “perdagangan” (yang mendatangkan keuntungan akhirat). Sementara itu, Surat Al-Jumu’ah diakhiri dengan perintah menunaikan shalat Jumat dan menegaskan bahwa salat Jumat lebih utama daripada perdagangan duniawi.
- Dalam Surat Ash-Shaff, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersatu dalam barisan saat berperang. Maka, setelah surat tentang peperangan, wajar jika disusul dengan Surat Al-Jumu’ah yang memerintahkan salat Jumat secara berjamaah dalam satu barisan, karena kebersamaan dalam jamaah merupakan syarat utama salat Jumat, berbeda dengan salat lainnya. (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir).
Kandungan Surat Al-Jumu’ah
1. Keistimewaan Nabi Muhammad SAW
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa Surat Al-Jumu’ah ayat 1–4 memaparkan keistimewaan Nabi Muhammad SAW, baik bagi bangsa Arab maupun seluruh umat manusia. Ayat pertama menyebutkan bahwa segala makhluk di langit dan bumi, baik yang dapat berbicara maupun tidak, senantiasa bertasbih kepada Allah SWT sebagai pengakuan atas keberadaan, keesaan, dan kekuasaan-Nya.
Setelah Allah mensucikan diri-Nya, disebutkan pula keistimewaan Rasulullah SAW. Di antaranya, Allah mengutus seorang rasul dari kalangan bangsa Arab yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis), yaitu Nabi Muhammad SAW, yang juga bersifat ummi. Namun, melalui wahyu Al-Qur’an, Nabi mampu membacakan ayat-ayat suci yang menjadi petunjuk kehidupan di dunia dan akhirat, sekaligus mensucikan umatnya dari kekufuran, dosa, dan akhlak jahiliyah.
Selain itu, Nabi SAW diutus untuk umat mukmin dari berbagai generasi setelahnya, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab seperti Persia dan Romawi. Meskipun generasi setelah masa sahabat tidak dapat bertemu langsung dengan Nabi SAW, mereka tetap dapat merasakan mukjizatnya melalui Al-Qur’an al-Karim. (Tafsirul Munir, Jilid XXVIII, hlm. 185–186).
2. Kondisi Kaum Yahudi terhadap Taurat
Syekh Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwa perumpamaan kaum Yahudi yang diberi Kitab Taurat dan diperintahkan untuk mengamalkannya, tetapi tidak melaksanakannya, diibaratkan seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal tanpa memahami isinya. Mereka tidak memperoleh manfaat apa pun kecuali kelelahan dan beban.
Imam Baidhawi menambahkan bahwa Allah mencela kaum Yahudi karena mereka menghafal Taurat, memahami isinya, dan mengetahui tanda-tanda kenabian Muhammad SAW serta kewajiban untuk beriman kepadanya, namun mereka tidak mengambil manfaat dari pengetahuan tersebut. Perumpamaan ini merupakan celaan yang sangat buruk bagi mereka.
Kaum Yahudi juga mengaku sebagai kekasih Allah SWT, tetapi Allah mendustakan klaim mereka melalui firman-Nya: Qul ya ayyuha alladzina hadu in za‘amtum annakum awliya’u lillahi min dunin nasi fatamannawul mawta in kuntum shadiqin (QS. Al-Jumu’ah: 6). Artinya: “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, ‘Hai orang-orang Yahudi, jika kalian mengira bahwa hanya kalian yang menjadi kekasih Allah dan bukan orang lain, maka harapkanlah kematian jika kalian benar.’”
Ayat ini memerintahkan Nabi SAW untuk menantang kaum Yahudi yang mengaku sebagai kekasih Allah agar mengharapkan kematian, sehingga mereka dapat segera menuju kemuliaan yang disediakan bagi kekasih-Nya, jika klaim mereka benar.
Namun, mereka tidak berani mengharapkan kematian karena kekufuran, kemaksiatan, dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad SAW. Setiap orang yang lari dari kematian pasti akan menemuinya, dan akhirnya mereka akan kembali kepada Allah, Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, untuk menerima balasan sesuai amal perbuatan mereka. (Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, Jilid III, hlm. 357–358).
3. Kewajiban Salat Jumat dan Kebolehan Bekerja Setelahnya
Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ketika adzan kedua salat Jumat telah dikumandangkan setelah khatib naik ke mimbar, kaum mukmin diperintahkan untuk segera mengingat Allah dengan mendengarkan khutbah dan melaksanakan salat Jumat secara berjamaah di masjid. Persiapan seperti mandi, berwudhu, memakai parfum, dan lainnya juga dianjurkan sebelumnya.
Selain itu, mereka diperintahkan untuk meninggalkan segala bentuk muamalah, seperti jual beli, sewa-menyewa, bagi hasil, atau sejenisnya. Salat Jumat disebutkan secara khusus sebagai ibadah fardu yang disyariatkan bagi umat Islam sebagai pengganti hari Sabtu bagi kaum Yahudi.
Frasa as-sa‘yu dalam ayat ini tidak berarti berjalan cepat, melainkan menunjukkan perhatian dan kesungguhan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Namun, berjalan cepat menuju salat dilarang berdasarkan beberapa hadits, di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ، وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ، وَلَا تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا رواه البخاري ومسلم
Artinya: "Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Apabila kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju salat dengan tenang dan penuh wibawa, jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati dari salat berjamaah, laksanakanlah, dan apa yang tertinggal, sempurnakanlah.' (HR. al-Bukhari dan Muslim)." (Tafsirul Munir, Jilid XXVIII, hlm. 187–188).
Setelah selesai menunaikan salat Jumat, umat Islam diperbolehkan bertebaran di muka bumi untuk berdagang dan mengurus kebutuhan hidup. Ini menunjukkan bahwa kehidupan duniawi tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Sebaliknya, setiap orang dianjurkan untuk mencari kehidupan yang layak, bahagia, dan berkecukupan.
Selanjutnya, ayat 11 Surat Al-Jumu’ah menggambarkan sebagian orang yang meninggalkan Nabi SAW yang sedang menyampaikan khutbah untuk mengejar perdagangan atau hiburan di luar masjid. Peristiwa ini menegaskan bahwa mendahulukan ibadah lebih utama daripada urusan duniawi. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW untuk menegur mereka dan mengingatkan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.
Oleh karena itu, mencari rezeki dengan cara yang halal dan sesuai waktu sangat dianjurkan dalam Islam. Melaksanakan salat atau mendengarkan khutbah tidak akan mengurangi rezeki seseorang. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah adalah jalan utama untuk meraih keberkahan hidup dan keluasan rezeki. (Tafsirul Munir, Jilid XXVIII, hlm. 197–199).
Kesimpulannya, Surat Al-Jumu’ah menyampaikan beberapa poin penting, yaitu penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul yang diutus setelah Nabi Isa AS, kondisi kaum Yahudi terhadap Kitab Taurat, pensyariatan salat Jumat, serta pentingnya mendahulukan ibadah daripada urusan duniawi. Namun, kehidupan duniawi tetap harus dijalani dengan kerja keras dan kesungguhan untuk menciptakan keharmonisan antara kehidupan dunia dan akhirat. Wallahu a‘lam bisshawab.
Ustadz Achmad Khoirudin, Mahasantri Ma'had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo.
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
3
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua