Etika dan Batasan Ketaatan di Tempat Kerja Perspektif Islam
Kamis, 29 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Bushiri
Kolomnis
Dalam dunia kerja, hubungan antara atasan dan bawahan menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang produktif dan harmonis. Namun, tidak jarang muncul pertanyaan tentang sejauh mana seorang bawahan harus mematuhi perintah atasannya. Apakah ketaatan harus mutlak, atau ada batasan-batasan tertentu yang perlu diperhatikan?
Dalam perspektif yang lebih luas, memahami ketentuan dan prinsip-prinsip etis dalam menerima perintah bukan hanya tentang menjalankan tugas semata, tetapi juga tentang menjaga integritas dan moralitas. Hal ini menjadi lebih relevan di era modern, di mana para profesional dituntut untuk memiliki keseimbangan antara ketaatan dan sikap kritis.
Dalam dunia kerja, atasan memiliki otoritas untuk memberikan perintah kepada bawahan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang melekat pada posisinya. Di sisi lain, bawahan memiliki kewajiban untuk melaksanakan instruksi dan kebijakan yang ditetapkan oleh atasannya. Hubungan ini menciptakan dinamika yang memerlukan keseimbangan antara otoritas dan kepatuhan.
Mematuhi peraturan dan kebijakan perusahaan bukan hanya sekadar kewajiban formal, tetapi juga merupakan cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada atasan dan otoritas perusahaan.
Kepatuhan ini mencerminkan dedikasi dan sikap profesional seorang karyawan, yang pada gilirannya membantu membangun lingkungan kerja yang kondusif dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan perusahaan.
Namun, penting untuk diingat bahwa ketaatan kepada atasan tidak bersifat mutlak. Ada batas-batas yang harus dihormati, terutama ketika perintah yang diberikan bertentangan dengan prinsip etika dan moral, seperti yang melibatkan diskriminasi, pelecehan, atau pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, setiap karyawan harus memiliki keberanian untuk menolak perintah yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan hukum.
Sejauh mana ketaatan terhadap atasan dalam pandangan Islam?
Dalam perspektif Islam, batasan dalam menjalankan perintah atasan ditentukan oleh kesesuaian dengan syariat. Ketaatan kepada atasan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran agama.
Prinsip ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yang menekankan bahwa ketaatan hanya berlaku dalam hal-hal yang sesuai dengan perintah Allah dan tidak melanggar ketentuan syariat. Beliau bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Artinya, “Kewajiban umat Islam adalah mengikuti kesepakatan yang telah ditetapkan” (HR. Abu Dawud)
Al-Munawi dalam Faydhul Qadir menjelaskan, maksud kesepakatan dalam hadits tersebut adalah kesepakatan yang dilegalkan secara syariat, maka kesepakatan itu mengikat dan wajib diikuti. Beliau memaparkan:
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ، الجَائِزَةِ شَرْعًا أَيْ ثَابِتُوْنَ عَلَيْهَا
Artinya, “Kewajiban umat Islam adalah mengikuti kesepakatan yang telah ditetapkan, yaitu berupa kesepakatan yang legal menurut syariat, maka (kesepakatan) itu menjadi wajib untuk diikuti.” (Al-Munawi, Faydhul Qadhir, [Riyadh: Maktabah asy-Syafi’i, 1988], jilid II, halaman 884).
Beda halnya bila kebijakan atau perintah atasan bertentangan dengan syariat Islam, seperti perintah menggunakan pakaian terbuka, tidak menutupi aurat, berbohong, memanipulasi data dan aturan lainnya yang bertentang dengan syariat, maka dalam hal ini pegawai atau bawahan tidak semestinya mengikuti kebijakan atasan yang salah.
Berkaitan dengan hal ini, dalam sebuah hadits Rasulullah saw secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban taat pada makhluk jika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah. Rasulullah saw bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Artinya, “Tidak ada ketaatan pada manusia dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Oleh karena itu, karyawan perlu bijak dalam menerima perintah atau kebijakan dari atasan. Penting untuk memilah antara kebijakan dan perintah yang sesuai dan yang bertentangan dengan syariat.
Perintah yang sesuai dengan syariat harus dipatuhi dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab, sementara perintah yang melanggar syariat dan norma agama semestinya ditolak dengan cara yang baik.
Tanggung jawab sebagai atasan
Sebagai pemimpin, atasan memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang adil dan aman. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perintah yang diberikan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil, etis, dan tidak merugikan bawahan.
Selain itu, atasan harus menghargai hak-hak pekerja, termasuk hak untuk bekerja dalam lingkungan yang bebas dari diskriminasi, pelecehan, dan ancaman. Hal ini termasuk memberikan instruksi yang jelas, relevan, dan memadai, serta mendukung karyawan dalam melaksanakan tugas mereka dengan menyediakan sumber daya dan pelatihan yang diperlukan.
Dalam menjalankan tugasnya, atasan juga diharapkan memiliki sikap kepemimpinan yang baik, seperti menghargai masukan dari bawahan, membuka ruang untuk komunikasi dua arah, dan memotivasi tim dengan memberikan penghargaan atas kinerja yang baik.
Mereka harus mampu menjadi panutan dalam berperilaku profesional dan mematuhi standar etika tinggi. Dengan menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai ini, atasan tidak hanya mempengaruhi produktivitas dan kepuasan karyawan tetapi juga memperkuat reputasi tempat kerja secara keseluruhan.
Selain itu, atasan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suasana kerja yang mendukung kesejahteraan mental dan fisik para karyawan. Hal ini mencakup memastikan bahwa beban kerja yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas karyawan serta menyediakan dukungan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi.
Kebijakan yang tidak adil atau berlebihan, termasuk perintah yang tidak realistis atau tekanan kerja yang tidak sehat, harus dihindari untuk mencegah timbulnya ketidakpuasan dan penurunan semangat kerja.
Tanggung jawab sebagai atasan bukan hanya tentang memberikan perintah dan memastikan tugas selesai, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan suportif. Wallahu a'lam
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan
Terpopuler
1
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
2
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
3
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
4
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
5
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua