Sunnatullah
Kontributor
Hiruk-pikuk dunia kerja sering kali menuntut kerja sama dan kolaborasi yang solid antar-pegawai untuk mencapai target dan memenuhi tenggat waktu. Namun, di balik dinamika ini, muncul masalah yang sering kali dianggap remeh namun memiliki dampak besar, yaitu ghibah.
Seperti parasit yang tak terlihat, ghibah menyusup ke dalam lingkungan kerja, meracuni suasana yang kondusif, dan perlahan-lahan mengikis semangat dan produktivitas.
Ghibah secara sederhana adalah menyebutkan atau membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh orang lain tentang dirinya di saat dia tidak hadir, baik itu mengenai fisik, perilaku, ucapan, atau hal lain yang dianggap sebagai aib atau kekurangan dengan tujuan untuk merendahkan atau menjelekkan.
Awalnya, ghibah di lingkungan kerja mungkin tampak tidak berbahaya—sekadar obrolan ringan yang dianggap tak berdampak, bahkan terasa menghibur saat membicarakan seseorang yang tidak hadir.
Aktivitas ini sering kali dianggap sebagai pelepas stres di tengah tekanan pekerjaan. Namun, lambat laun, ghibah dapat memicu ketegangan serta rasa curiga di antara rekan kerja.
Akibatnya, lingkungan kerja yang seharusnya dipenuhi kolaborasi dan dukungan antar pegawai, berubah menjadi arena persaingan tidak sehat dan penuh kecurigaan. Rekan kerja yang semula saling mendukung dan bekerja sama perlahan menjauh, takut menjadi sasaran ghibah berikutnya.
Lebih dari itu, ketika rasa saling curiga sudah mengakar di lingkungan kerja, kepercayaan pun mulai memudar, dan kolaborasi yang efektif menjadi sulit terwujud. Produktivitas menurun, sementara suasana kerja menjadi tidak nyaman dan jauh dari kata damai. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum ghibah di lingkungan kerja menurut Islam?
Sejak awal, Islam sangat tegas mengenai hukum ghibah, yakni haram dan termasuk dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap muslim, di mana pun dan kapan pun, termasuk di lingkungan kerja. Larangan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, di mana Allah SWT berfirman:
وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Baca Juga
Dialog Nabi Isa dan Iblis perihal Ghibah
Artinya, “Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjung sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Da bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat, [49]: 12).
Merujuk penjelasan Syekh Nawawi Banten dalam kitab tafsirnya, ayat di atas menjelaskan tentang larangan membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain saat orang tersebut tidak ada.
Orang yang melakukan perbuatan tersebut, sama saja seperti memakan daging manusia yang sudah mati. Perumpamaan ini adalah gambaran untuk menjelaskan bahwa keduanya sama-sama tidak halal dan haram dilakukan. Beliau berkata:
لَا يَذْكُرْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا بِالسُّوْءِ فِي غَيْبَتِهِ، فَالْاِغْتِيَابُ كَأَكْلِ لَحْمِ الْآدَمِيِّ مَيْتًا، وَلاَ يَحِلُّ أَكْلُهُ إِلَّا لِلْمُضْطَرِّ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، فَالْمُغْتَابُ إِنْ وُجِدَ لِحَاجَتِهِ مَدْفَعًا غَيْرَ الْغِيْبَةِ فَلاَ يُبَاحُ لَهُ الْاِغْتِيَابُ
Artinya, “Janganlah sebagian dari kalian menyebut keburukan orang lain saat ia tidak hadir, karena ghibah itu seperti memakan daging manusia yang sudah mati, dan tidak halal memakannya kecuali dalam kondisi darurat sesuai kebutuhan. Jika seseorang yang melakukan ghibah dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus berghibah, maka ghibah tidak diperbolehkan baginya.” (Marah Labid li Kasyfi Ma’nal Qur’anil Majid, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah: cetakan pertama, 1417], jilid II, halaman 439).
Syekh Nawawi Banten dalam penjelasannya di atas menyamakan hukum ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah mati, yakni keduanya sama-sama haram.
Pengecualian hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, seperti jika seseorang tidak memakan bangkai maka ia akan mati, sedangkan ia tidak memiliki makanan lain. Dalam situasi seperti itu, diperbolehkan memakan bangkai sebatas untuk mempertahankan nyawa.
Begitu pula dengan ghibah, hukumnya tetap haram kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang menjadikannya satu-satunya cara untuk mencapai kemaslahatan tertentu. Namun, perlu dicatat bahwa ghibah yang diperbolehkan hanya sebatas keperluan untuk mencapai kemaslahatan saja, selebihnya tetap tidak diperbolehkan.
Sementara itu, menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, ayat di atas merupakan peringatan tegas dari Allah yang harus dihindari ketika berkumpul bersama dengan muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, saling menghina, merendahkan orang lain, dan ghibah, atau mengadu domba merupakan tindakan yang dilarang. Beliau berkata:
بَيَّنَ مَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ عَلَيْهِ الْمُؤْمِنُ مَعَ الْمُؤْمِنِ وَمَعَ النَّاسِ كَافَّةً مِنَ الْاِمْتِنَاعِ عَنِ السُّخْرِيَةِ وَالْهَمْزِ وَاللَّمْزِ وَالتَّنَابُزِ بْالْأَلْقَابِ وَإِسَاءَةِ الظَّنِّ وَتَتَبُّعِ عَوْرَاتِ النَّاسِ وَمَعَايِبِهِمْ وَالْغِيْبَةِ وَالنَّمِيْمَةِ وَوُجُوْبِ الْمُسَاوَاةِ بَيْنَ النَّاسِ
Artinya, “(Dari ayat tersebut, Allah swt) menjelaskan bagaimana seharusnya sikap seorang mukmin terhadap mukmin lainnya, dan terhadap semua orang, yaitu menghindari sikap mengejek, mencela, merendahkan, memanggil dengan gelar yang buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, serta menjauhi ghibah dan adu domba, serta kewajiban untuk bersikap adil di antara manusia.” (Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir, cetakan kedua: 1418], jilid XXVI, halaman 250).
Menurut penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili di atas, menghindari ghibah terhadap rekan kerja adalah salah satu etika atau adab dalam berinteraksi dengan orang lain. Di dalam lingkungan kerja, misalnya, adab yang harus diterapkan antar-rekan kerja mencakup menjaga perasaan satu sama lain. Hal ini dilakukan dengan cara tidak saling mengejek, tidak berghibah, tidak mencela, dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk lainnya.
Kapan ghibah diperbolehkan?
Sebagaimana dijelaskan di atas, Syekh Nawawi Banten menyamakan hukum ghibah dengan memakan daging manusia yang sudah mati dalam hal keharamannya, kecuali dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu, ghibah dalam situasi-situasi tertentu juga diperbolehkan, jika tujuannya untuk mencapai kemaslahatan yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain selain ghibah. Beliau mengatakan:
إِعْلَمْ أَنَّ الْغِيْبَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً فَإِنَّهَا تُبَاحُ فِي أَحْوَالٍ لِلْمَصْلَحَةِ، وَالْمُجَوِّزُ لَهَا غَرَضٌ صَحِيْحٌ شَرْعِيٌّ لاَ يُمْكِنُ الْوُصُوْلُ إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا
Artinya, “Ketahuilah bahwa meskipun ghibah itu haram, ada keadaan-keadaan tertentu di mana ghibah diperbolehkan demi kemaslahatan. Hal ini diperbolehkan jika ada tujuan yang benar dan sah secara syar'i yang tidak dapat dicapai kecuali dengan melakukan ghibah.”
Adapun enam kondisi yang dimaksud oleh Syekh Nawawi adalah:
Pertama, mengadukan kezaliman. Orang yang terzalimi boleh mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada penguasa, hakim, atau pihak lain yang memiliki wewenang atau kemampuan untuk menegakkan keadilan terhadap pihak yang menzaliminya. Ia dapat menyebutkan bahwa si fulan telah menzaliminya, melakukan ini dan itu, mengambil haknya, dan sebagainya.
Kedua, meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat ke jalan yang benar. Seseorang boleh berkata kepada orang yang dianggap mampu menghilangkan kemungkaran, ‘Si fulan telah melakukan ini dan itu, maka cegahlah dia dari perbuatan tersebut,’ atau hal-hal lain yang serupa.
Ketiga, meminta fatwa. Seseorang bisa berkata kepada orang yang dimintai fatwa, ‘Si fulan telah menzalimi saya dengan melakukan ini dan itu; apakah dia berhak melakukannya atau tidak? Lantas bagaimana cara agar saya terhindar darinya?’ dan lain-lain.
Keempat, memberikan peringatan kepada orang lain mengenai bahaya atau kejahatan tertentu serta memberikan nasihat. Hal ini boleh dilakukan dalam beberapa keadaan, seperti mencela perawi hadits atau saksi yang cacat.
Kelima, ketika ada seseorang yang secara terang-terangan menunjukkan kefasikan dan bid’ahnya, seperti minum khamar di tempat umum, merampas hak orang lain, atau memungut pajak secara zalim, maka boleh menyebutnya berdasarkan perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan. Namun, tetap haram menyebut aib-aib lainnya, kecuali ada alasan lain yang membenarkannya.
Keenam, memperkenalkan seseorang. Jika seseorang dikenal dengan julukan seperti ‘si rabun, si pincang, si buta, si tuli, si pesek,’ dan sebagainya, maka boleh menyebutnya dengan julukan tersebut dengan tujuan memperkenalkan, bukan untuk merendahkan. Namun, jika ada cara lain untuk memperkenalkan dengan lebih baik, maka itu lebih diutamakan.
فَهَذِهِ سِتَّةُ أَسْبَابٍ ذَكَرَهَا الْعُلَمَاءُ مِمَّا تُبَاحُ بِهَا الْغِيْبَةُ عَلىَ مَا ذَكَرْنَاهُ
Artinya, “Inilah enam alasan yang disebutkan oleh para ulama terkait kondisi yang membolehkan ghibah sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (al-Adzkar lin Nawawi, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t.], halaman 340-342).
Ghibah di lingkungan kerja, boleh atau tidak?
Dari penjelasan yang telah disampaikan, hukum ghibah di lingkungan kerja sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi. Pada dasarnya, ghibah adalah haram di mana pun dan kapan pun.
Namun, dalam keadaan tertentu, ghibah bisa menjadi diperbolehkan jika untuk mencapai kemaslahatan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi, apabila ada salah satu dari enam alasan yang membenarkan ghibah, maka praktiknya di lingkungan kerja bisa menjadi diperbolehkan. Sebaliknya, jika tidak ada alasan yang mendasari, maka hukum asalnya tetap haram.
Demikianlah tulisan mengenai hukum ghibah di lingkungan kerja ini. Semoga tulisan ini dapat meningkatkan kesadaran bahwa ghibah dapat merusak keharmonisan antar-rekan kerja jika tidak didasari oleh kemaslahatan.
Oleh karena itu, hendaknya kebiasaan ghibah di lingkungan kerja dihindari, kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak di mana ghibah menjadi solusi terakhir. Wallahu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Pengurus JATMAN 2025-2030 Terima SK Kepengurusan dari PBNU
2
Hukum dan Tata Cara Shalat Sunnah pada Malam Nisfu Syaban
3
Arifatul Choiri Fauzi Pimpin PP Muslimat NU Periode 2025-2030
4
Profil Arifatul Choiri Fauzi, Nakhoda Baru PP Muslimat NU 2025-2030
5
4 Ragam Membaca Yasin pada Malam Nisfu Sya'ban
6
Khutbah Jumat: Beramallah, Rezeki Kita akan Berkah dan Bertambah
Terkini
Lihat Semua