Tafsir

Tafsir QS Ali Imran 140: Pelajaran dari Kekalahan Umat Islam di Perang Uhud

Sel, 6 April 2021 | 14:15 WIB

Tafsir QS Ali Imran 140: Pelajaran dari Kekalahan Umat Islam di Perang Uhud

Kekalahan umat Islam dalam perang Uhud mengandung hikmah yang sangat besar. (Ilustrasi: via ok.ru)

Mengingat perang Uhud adalah mengingat kekalahan umat Islam melawan tentara kafir Quraisy. Pertempuran ini terjadi pada tanggal tujuh Syawal tahun ketiga Hijriah, kurang lebih setahun setelah pertempuran terbesar, yaitu perang Badar. Umat Islam waktu itu berjumlah 700 bala tentara, sedangkan musuhnya, kafir Quraisy berjumlah 3000 tentara.

 

Ada dua hal yang pasti terjadi dari sebuah peperangan, yaitu kemenangan dan kekalahan. Artinya, bila satu kubu berhasil meraih kemenangan, pasti yang lain terpuruk dalam kekalahan, dan begitu sebaliknya. Tidak mungkin keduanya sama-sama kalah atau sama-sama menang. Dan, kekalahan kaum Muslimin di perang Uhud adalah peristiwa yang memilukan, terutama bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain karena 70 sahabatnya yang gugur menjemput syahid, juga di antara mereka adalah pamannya sendiri, Sayidina Hamzah bin Abdul Mutthalib.

 

Dalam peperangan, kita mengenal konsep mudâwalah, atau yang akrab disebut ‘kalah-menang’. Secara etimologi, mudâwalah diambil dari kata dâwala-yudâwilu yang berarti menggilir, memutar atau memindah sesuatu. Imam al-Qaffâl mengatakan, al-Mudâwalatu naqlu asy-syai’ min wâhidin ila âkhara, ‘Mudâwalah adalah memindah sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain’.

 

Makna di atas, dalam Al-Qur’an—sependek penelusuran penulis—terdapat di dua tempat, yaitu pada surat al-Hasyr ayat tujuh, dan surat Ali Imran ayat 140. Namun, kali ini kita fokus pada kajian makna mudâwalah dalam surat Ali Imran ayat 140 tentang peperangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗ  وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗ  وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ

"Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan, Allah tidak menyukai orang-orang zalim."

  

Di antara beberapa riwayat yang menjelaskan latar belakang turunnya ayat di atas—seperti dari Imam Rasyid bin Sa’ad dalam Tafsir at-Tsa’labiy (juz 3, hal. 182) —yaitu berawal dari seorang perempuan yang dengan penuh sesal mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya membawa mayat suami dan putra kesayangannya yang gugur di medan perang. Sang baginda yang baru saja sampai, dengan hati pilu dan duka lara kekalahannya di perang Uhud, harus menerima pengaduan dan rasa tidak terima atas apa yang menimpa perempuan tersebut. Masalahnya, ia mengadu tidak hanya dengan tangis dan kata-kata, tetapi juga sambil memukul-mukul dadanya di hadapan Nabi sebagai wujud sesalnya yang mendalam.

 

Bagi Nabi, dengan konteks peperangan membela Islam, sikap itu sudah abnormal, termasuk ekspresi kesedihan di luar batas kewajaran. Sampai-sampai Nabi bersabda, Ahakadza yuf’alu bi rasuliki, ‘Apakah demikian cara yang benar memperlakukan rasulmu?’, ungkapnya menyesalkan pengaduan itu. Maka, turunlah surat Ali Imran ayat 140 di atas.

 

Dari asbab an-nuzul ini, selain untuk membuka peluang meraih kedudukan mulia sebagai syuhada dan mencari tahu siapa yang benar-benar beriman, Allah subhanahu wata’ala juga mengajarkan makna peperangan yang sesungguhnya kepada kita semua, bahwa peperangan membela agama tidak melulu tentang kemenangan. Bahkan, terkadang harus mendapatkan kekalahan. Inilah maksud dari konsep mudâwalah dalam peperangan. Sebagaimana yang dititahkan Allah pada penggalan ayat di atas, Wa tilka al-ayyâmu nudâwiluha baina-n-nâs, ‘Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)’.

 

Hal yang penting kita catat ihwal konsep mudâwalah di sini, bahwa kekalahan kaum Muslimin di pertempuran Uhud bukan karena Allah memberi pertolongan kepada kaum kafir, sebagaimana pertolongan-Nya kepada umat Islam di perang Badar. Mengingat, Allah tidak pernah dalam satu peperangan berpihak kepada umat Islam, dan dalam peperangan yang lain berpihak pada musuh Islam. Sekali pun tidak pernah. Melainkan, maknanya bahwa sesekali Allah menampakkan kemurkaan yang besar kepada orang kafir, dan kali yang lain memberi pelajaran terhadap umat Islam. Terbukti, kekalahan itu menyimpan hikmah yang sangat besar.

 

Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Razi (544-604 H) dalam karya monumentalnya, at-Tafsir al-Kabir atau Mafatihul Ghaib (juz 9, hal. 14) berhasil menyingkap tiga hikmah di balik kekalahan umat Islam di perang Uhud. Pertama, dalam rangka memberi peluang asumsi kebenaran ideologi orang kafir. Bila orang-orang kafir yang mendustakan ajaran Nabi waktu itu selalu kalah dalam setiap pertempuran, maka secara aksiomatis, baik yang Muslim maupun non-Muslim akan mengakui bahwa beriman kepada Allah dan rasul-Nya adalah sebuah kebenaran, dan beriman kepada selain-Nya adalah kebatilan. Dampaknya, keimanan tidak lagi menyimpan keistimewaan lebih dari yang lain.

 

Namun, kalau ada peluang kebenaran ideologi orang-orang kafir secara asumtif, maka keimanan menjadi sangat istimewa, dan bukan hal mudah untuk diperoleh. Logikanya, bagaimana mungkin agama yang benar di sisi Allah, serta telah dijamin mendapat pertolongan dan kejayaan, mampu dibantai secara tidak manusiawi? Dengan logika ini, tentu mereka berasumsi bahwa ideologi mereka-lah yang benar.

 

Kedua, guna memberi pelajaran kepada kaum mukminin (ta’diban lil mukminin). Mengingat, tak jarang orang-orang beriman saat itu yang masih berani mendurhakai Tuhannya. Walau mungkin tak banyak dan sering. Karena itu, Allah memberi mereka pelajaran melalui kekalahan dan perihnya luka tebasan orang-orang kafir, sehingga mudah menganalogikannya dengan pedihnya siksa akhirat yang tiada tara. Analogi dari logika formal semacam ini, dalam Ushul Fiqh kita mengenalnya dengan term qiyas aulawi.

 

Ketiga, menguak kesadaran akan remehnya kebahagiaan dan problem duniawi. Imam Fakruddin ar-Razi menyampaikan, bahwa bahagia dalam kemenangan dan rintihan rasa sakit karena kekalahan, hanyalah bunga kehidupan yang semu. Sebab, bahagia dan sakitnya tiada dapat dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Kalau memang kebahagiaan akhirat adalah prioritas kaum mukminin, maka apalah artinya pilu dan duka lara yang dirasakan di dunia. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Situbondo, pengampu pengajian kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Syekh Izzuddin bin Abdissalam