Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 205: Allah Tidak Menyukai Perbuatan yang Merusak Bumi

Sen, 20 Mei 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 205: Allah Tidak Menyukai Perbuatan yang Merusak Bumi

Ilustrasi merusak bumi. (Foto: NU Online/Freepik)

Surat Al-Baqarah ayat 205 melukiskan gambaran yang mencekam tentang bahaya orang-orang perusak di muka bumi. Mereka bagaikan hama yang tak kenal ampun, merusak tanaman, membantai hewan ternak, dan menebar kekacauan di mana pun mereka berada. Perilaku destruktif ini bukan hanya merugikan sesama manusia, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Allah SWT.

 

Allah, Tuhan semesta alam, tidak menyukai kerusakan dan kekacauan. Allah menciptakan bumi dan seluruh isinya dengan penuh kasih sayang dan keindahan, dan menghendaki agar manusia menjaganya dengan penuh tanggung jawab. Perbuatan orang-orang perusak ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan Allah, dan kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah di hari kiamat.

 

Simak firman Allah SWT berikut: 

 

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ 

 

wa idzâ tawallâ sa‘â fil-ardli liyufsida fîhâ wa yuhlikal-ḫartsa wan-nasl, wallâhu lâ yuḫibbul-fasâd

 

Artinya: "Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan,".

 

Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi dalam kitab al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an menerangkan bahwa makna "وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا " sering dikaitkan dengan kisah Al-Akhnas, seorang yang membakar tanaman dan membunuh keledai, namun menurut kesepakatan ulama tafsir, pesan ayat ini bersifat universal. 

 

Maksudnya, siapapun yang melakukan kerusakan  di bumi [bukan saja membakar tanaman dan membunuh binatang seperti yang dilakukan Al-Akhnas], maka mereka pantas mendapatkan hukuman dan kutukan. Sebagian ulama bahkan menyebutkan bahwa tindakan seperti membunuh keledai atau membakar pohon kurma akan mendatangkan celaan dan aib di akhirat.

 

Lebih lanjut, Mujahid memberikan tafsir bahwa ayat ini memperingatkan orang-orang zalim yang membuat kerusakan di muka bumi. Allah SWT dapat menghentikan turunnya hujan sebagai balasan atas perbuatan mereka, sehingga tanaman dan hewan ternak binasa. Hal ini menjadi pesan moral bagi umat manusia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan alam, bukan merusaknya.

 

وَالْمَعْنِيُّ فِي الْآيَةِ الْأَخْنَسُ فِي إِحْرَاقِهِ الزَّرْعَ وَقَتْلِهِ الْحُمُرَ، قَالَهُ الطَّبَرِيُّ. قَالَ غَيْرُهُ: وَلَكِنَّهَا صَارَتْ عَامَّةً لِجَمِيعِ النَّاسِ، فَمَنْ عَمِلَ مِثْلَ عَمَلِهِ اسْتَوْجَبَ تِلْكَ اللَّعْنَةَ وَالْعُقُوبَةَ. قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ مَنْ يَقْتُلُ حِمَارًا أَوْ يُحْرِقُ كُدْسًا اسْتَوْجَبَ الْمَلَامَةَ، وَلَحِقَهُ الشَّيْنُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: الْمُرَادُ أَنَّ الظَّالِمَ يُفْسِدُ فِي الْأَرْضِ فَيُمْسِكُ اللَّهُ الْمَطَرَ 

 

Artinya: “Makna ayat ini adalah laknat bagi orang yang membakar tanaman dan membunuh keledai, demikian menurut ath-Thabari. Ulama lain mengatakan bahwa laknat ini berlaku umum bagi semua orang, sehingga siapapun yang melakukan perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan laknat dan hukuman tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang membunuh keledai atau membakar tumpukan gandum, dia berhak mendapatkan celaan dan kehinaan sampai hari kiamat. Mujahid mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang zalim berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga Allah SWT menahan hujan.” (Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah,1963] Jilid III, halaman 17).

 

Dengan demikian, ayat ini menegaskan ketidaksukaan Allah terhadap segala bentuk kerusakan di bumi.  Sebagai manusia yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi, kita harus menghindari perbuatan yang merugikan lingkungan dan sesama makhluk hidup.

 

Sebagai khalifah di bumi, manusia diamanahkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak. Kita harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem. Kerusakan alam seperti pencemaran lingkungan, penebangan liar, dan perburuan liar adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT.

 

Lebih jauh lagi, ayat ini juga menjadi teguran bagi mereka yang sengaja atau tidak sengaja merusak alam. Orang-orang munafik yang berpaling dari ajaran Allah SWT digambarkan sebagai individu yang membawa kerusakan di bumi. Mereka merusak tanaman, membunuh hewan ternak, dan menyebarkan kekacauan. Perilaku ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari.

 

Imam As-Sam'ani dalam kitab tafsirnya mengutip Ad-Dhahak, seorang tabi'in, yang mendefinisikan kerusakan di bumi sebagai tindakan yang mengganggu keseimbangan alam dan tatanan kehidupan. Lebih lanjut,  Ad-Dhahak, memberikan contoh terkait beberapa perbuatan yang dapat merusak bumi. Salah satunya adalah mengubah aliran air.

 

Mengubah aliran sungai atau danau secara tidak alami dapat membawa dampak serius bagi ekosistem. Hal ini dapat mengganggu kehidupan manusia yang bergantung pada sumber air tersebut, serta mengancam kelangsungan hidup flora dan fauna di sekitarnya.

 

Selain itu, menebang pohon yang sedang berbuah termasuk tindakan merusak. Penebangan pohon secara berlebihan, terutama pohon yang sedang berbuah, dapat mengakibatkan kerusakan hutan. Dampaknya, tanah longsor dan hilangnya sumber makanan bagi manusia dan hewan. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kesejahteraan manusia di sekitarnya.

 

Tindakan merusak lainnya adalah pemalsuan atau perusakan mata uang. Mengubah atau memalsukan koin emas dan perak dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Hal ini berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan dapat memicu kekacauan sosial. Stabilitas ekonomi yang terganggu juga berpotensi memperburuk kondisi sosial dan politik suatu wilayah.

 

Secara keseluruhan, perbuatan-perbuatan tersebut menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam dan integritas sistem sosial. Tindakan-tindakan yang merusak tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk menjaga bumi agar tetap lestari dan harmonis.

 

وَقَالَ الضَّحَّاك: من الْفساد فِي الأَرْض تغوير الْمِيَاه، وَقطع الْأَشْجَار المثمرة، وَكسر الدَّرَاهِم وَالدَّنَانِير    

 

Artinya: "Dan Ad-Dhahhak berkata: Dari kerusakan yang terjadi di bumi adalah mengubah arah aliran air, menebang pohon-pohon yang berbuah, dan merusak koin-koin emas dan perak." (Abul Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir As-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan: 1997],  jilid II, halaman 189).

 

Setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bumi. Melakukan tindakan merusak bumi merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Bumi merupakan milik bersama semua makhluk hidup, dan kelestariannya menjadi kunci bagi kelangsungan hidup makhluk semua.

 

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memiliki kesadaran dan komitmen dalam menjaga kelestarian bumi. Manusia  dapat melakukan berbagai tindakan sederhana untuk menjaga bumi, seperti tidak membuang sampah sembarangan, menghemat energi, dan menggunakan produk yang ramah lingkungan. Dengan upaya bersama, sejatinya dapat menciptakan bumi yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.

 

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu cara yang dianjurkan beliau adalah dengan menanam pohon. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau menjelaskan bahwa menanam pohon mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

 

Pohon yang ditanam akan memberikan manfaat bagi berbagai makhluk hidup, baik manusia, burung, maupun hewan lainnya. Setiap hasil panen dari pohon tersebut akan dihitung sebagai sedekah bagi penanamnya. Bahkan, hewan dan burung yang memakan hasil panen tersebut pun turut memberikan pahala bagi penanamnya. Lebih dari itu, pohon juga membantu menjaga kelestarian alam dan menangkal kerusakan lingkungan.

 

: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ   

 

Artinya: "Tak satupun seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi pahala sedekah baginya, dan yang dicuri orang lain akan bernilai sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang menguranginya, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim).

 

Makna Harts dan Nasl

Harts (الْحَرْثَ) dalam bahasa Arab berarti "membelah", dari sinilah berasal kata mihrats (alat untuk membajak tanah). Harts juga berarti "mencari dan mengumpulkan harta". Lebih lanjut, الْحَرْثَ juga bisa diartikan sebagai tanaman, sedangkan "وَالْحَرَّاثُ" maksudnya adalah petani.  Sebagaimana dalam hadits Nabi:

 

احْرُثْ لدنياك كأنك تَعِيشُ أَبَدً

 

Artinya: "Carilah duniamu seolah-oleh engkau akan hidup selamanya."

 

Kata وَالنَّسْلَ dalam bahasa Arab memiliki makna dasar "keluar dan gugur" atau "jatuh". Makna ini dapat dihubungkan dengan proses kelahiran anak, di mana seorang anak keluar dari rahim seorang perempuan. 

 

Contohnya dapat dilihat dalam Al-Qur'an Surat Yasin ayat 51 digambarkan bagaimana manusia bergerak cepat dari kuburnya menuju kepada Tuhannya setelah sangkakala ditiup. Hal ini melambangkan proses "keluar" dari alam dunia menuju alam akhirat.

 

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ

 

Artinya: “Sangkakala pun ditiup dan seketika itu mereka bergerak cepat dari kuburnya menuju kepada Tuhannya.” [QS Yasin [36] ayat 51].

 

Secara lebih luas, kata وَالنَّسْلَ  juga dapat diartikan sebagai keturunan atau generasi penerus. Dalam konteks ini, kata ini menekankan pada pentingnya menjaga kelestarian dan kebaikan keturunan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mewajibkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan baik agar menjadi generasi penerus yang sholih dan berakhlak mulia.

 

Lebih jauh, menurut Imam Qurthubi, Surat Al-Baqarah ayat 205 memberikan panduan penting bagi manusia dalam mengelola bumi. Kita diperintahkan untuk menanami dan merawatnya agar tumbuh pepohonan dan menjadi habitat bagi hewan-hewan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di bumi.

 

Ayat ini secara tegas menolak pemikiran yang meyakini bahwa segala sesuatu terjadi secara kebetulan tanpa sebab akibat. Justru, Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengusahakan dan mengelola bumi dengan penuh tanggung jawab, dan hasil dari usaha tersebutlah yang akan menentukan kelangsungan hidup manusia di masa depan.

 

Singkatnya, ayat ini menekankan pentingnya keseimbangan antara ikhtiar manusia dan kehendak Allah SWT dalam menjaga kelestarian bumi. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk merawat bumi dan memanfaatkannya dengan bijak, dan senantiasa berserah diri kepada Allah SWT atas segala hasil yang diperoleh. Imam Qurthubi mengatakan:

 

وَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى الْحَرْثِ وَزِرَاعَةِ الْأَرْضِ، وَغَرْسِهَا بِالْأَشْجَارِ حَمْلًا عَلَى الزَّرْعِ، وَطَلَبِ النَّسْلِ، وَهُوَ. نَمَاءُ الْحَيَوَانِ، وَبِذَلِكَ يَتِمُّ قِوَامُ الْإِنْسَانِ. وَهُوَ يَرُدُّ عَلَى مَنْ قَالَ بِتَرْكِ الْأَسْبَابِ، وَسَيَأْتِي بَيَانُهُ فِي هَذَا الْكِتَابِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

 

Artinya: “Ayat ini [al-Baqarah ayat 205] memberikan petunjuk agar manusia mengelola dan menanami bumi, serta menumbuhkannya dengan tanaman supaya ada pepohonan dan perkembangbiakan binatang. Dengan demikian, tercipta kelestarian kehidupan manusia. Ayat ini menolak pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa kausalitas itu tidak ada. (Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, , [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah,1963] Jilid III, halaman 18).

 

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah, Jilid I, halaman 445 menjelaskan bahwa ayat 205 Surat Al-Baqarah berbicara tentang konsekuensi fatal bagi mereka yang meninggalkan jalan kebenaran dan malah menyebarkan kerusakan di bumi. Digambarkan bahwa orang-orang ini akan "berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak."

 

Kerusakan yang dimaksud bukan hanya merujuk pada tindakan fisik terhadap alam, tetapi juga kerusakan moral dan sosial. Penyebaran kebohongan, fitnah, dan provokasi, serta tindakan yang menindas dan merugikan orang lain, termasuk pelecehan terhadap wanita dan anak-anak, dikategorikan sebagai bentuk kerusakan yang dibenci Allah.

 

Allah SWT tidak menyukai segala bentuk kerusakan dan kehancuran. Oleh karena itu, Dia akan memberikan azab yang setimpal kepada mereka yang dengan sengaja melakukan perbuatan tercela ini. Hukuman ini merupakan bentuk keadilan dan penegakan aturan ilahi, agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar.

 

Kalimat  "al-harts wa an-nasl" (tanaman dan binatang ternak) dalam ayat ini dapat diinterpretasikan secara lebih luas, tidak hanya merujuk pada alam fisik, tetapi juga pada generasi penerus. Artinya, merusak generasi muda melalui pendidikan yang salah, penanaman nilai-nilai yang tidak baik, dan tindakan yang menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan, termasuk dalam kategori kerusakan yang diharamkan.

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam lain, QS Al-Baqarah [2] ayat 223, di mana istri diibaratkan sebagai "ladang" bagi suami. Suami diharuskan untuk mengolah "ladang" tersebut dengan baik dan bertanggung jawab, dengan cara memberikan pendidikan yang benar, menanamkan nilai-nilai yang baik, dan melindungi mereka dari perbuatan tercela.

 

Merawat generasi muda dengan benar merupakan tanggung jawab bersama, baik orang tua, pendidik, maupun masyarakat secara keseluruhan. Kita harus bekerja sama untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, menanamkan nilai-nilai moral yang kuat, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk berkembang menjadi individu yang beriman dan berakhlak mulia.

 

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

 

Artinya: “Istrimu adalah ladang bagimu, Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.”

 

Ayat ini menjadi pengingat bagi setiap individu untuk selalu menjaga diri dari perbuatan tercela dan tidak terpengaruh oleh orang-orang yang ingin membawa kerusakan di bumi. Kita harus senantiasa menyebarkan kebaikan, melindungi generasi muda, dan menegakkan nilai-nilai moral yang luhur demi mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera.

 

Imam Syaukani dalam kitab Tafsir Fathul Qadir menjelaskan, Allah tidak menyukai perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi. Hal ini tergambar dalam kalimat  sa‘â fil-arḍi liyufsida fīhâ [ سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا ]. Kalimat dalam ayat ini mencakup dua pengertian.  

 

Pertama, larangan melakukan perjalanan fisik dengan berjalan kaki (menggunakan kedua kaki) menuju tindakan yang menyebabkan kerusakan di bumi. Contoh tindakan ini termasuk perampokan di jalan, perang melawan kaum Muslim, dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan secara fisik.

 

Kedua, pekerjaan atau tindakan yang merusak.  Interpretasi kedua mendefinisikan "sâʿy" sebagai segala bentuk pekerjaan atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kerusakan, meskipun tidak melibatkan perjalanan fisik. 

 

Contohnya seperti merencanakan sesuatu yang merugikan kaum Muslim, menggunakan tipu muslihat dan berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang menggunakan anggota tubuh atau indranya. Tindakan-tindakan ini, meskipun tidak melibatkan pergerakan fisik (berjalan), tetap disebut sebagai "sâʿy".

 

 وَالسَّعْيُ الْمَذْكُورُ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ: السَّعْيَ بِالْقَدَمَيْنِ إِلَى مَا هُوَ فَسَادٌ فِي الْأَرْضِ، كَقَطْعِ الطَّرِيقِ، وَحَرْبِ الْمُسْلِمِينَ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ: الْعَمَلَ فِي الْفَسَادِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ سَعْيٌ بِالْقَدَمَيْنِ، كَالتَّدْبِيرِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ بِمَا يَضُرُّهُمْ، وَإِعْمَالِ الْحِيَلِ عَلَيْهِمْ، وَكُلُّ عَمَلٍ يَعْمَلُهُ الْإِنْسَانُ بِجَوَارِحِهِ أَوْ حَوَاسِّهِ يُقَالُ لَهُ: سَعْيٌ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ

 

Artinya: "Sa‘a [سَعٰى  / berusaha] yang disebutkan alam ayat ini adalah berjalan dengan kedua kaki menuju perbuatan yang merupakan kerusakan di bumi, seperti perampokan di jalan, dan memerangi terhadap kaum Muslimin. Atau bisa jadi yang dimaksud dengannya: Perbuatan atau pekerjaan yang menimbulkan kerusakan, meskipun tidak ada berjalan dengan kedua kaki di dalamnya, seperti merencanakan hal yang merugikan kaum Muslimin, dan menggunakan tipu muslihat terhadap mereka, dan setiap pekerjaan yang dilakukan manusia dengan anggota tubuhnya atau inderanya disebut sebagai 'usaha', dan inilah yang tampak dari ayat ini." (Imam Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, [Beirut: darul Kalam at-Thaib, 1414 H] Jilid I, halaman 239)

 

Secara keseluruhan ayat ini membahas dua makna "sâʿy" dalam konteks menyebabkan kerusakan di bumi. Pertama, "sâʿy" dapat diartikan sebagai perjalanan fisik menuju tindakan merusak. Contohnya, seseorang yang bepergian untuk menebang hutan secara ilegal atau mencemari lingkungan.

 

Kedua, "sâʿy" dapat diartikan sebagai pekerjaan atau rencana yang berbahaya tanpa harus bergerak secara fisik. Contohnya, merencanakan perusakan lingkungan, menyebarkan informasi yang salah, atau menciptakan produk yang berbahaya bagi kesehatan.

 

Dengan demikian, Surat Al-Baqarah ayat 205 menegaskan bahwa Islam melarang keras segala tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi. Hal ini dikarenakan kerusakan bumi akan membawa dampak buruk bagi seluruh makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.

 

Oleh karena itu, umat Islam diwajibkan untuk menjaga kelestarian bumi dan menghindari perbuatan yang dapat merusaknya. Menjaga kelestarian bumi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh umat manusia. Dengan menjaga bumi, kita turut menjaga kelangsungan hidup dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.