Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Hak Ibu dalam Menyusui dan Nafkah Anak

Ahad, 24 November 2024 | 12:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Hak Ibu dalam Menyusui dan Nafkah Anak

Ilustrasi ibu dan anak. Sumber: Canva/NU Online

Setelah pada ayat-ayat sebelumnya membahas persoalan keluarga, pada ayat 233 ini Allah SWT membahas mengenai anak yang lahir dari hubungan suami istri. Selain itu, ayat ini juga mengangkat masalah wanita yang dicerai dalam keadaan sedang menyusui anaknya.


Ayat 233 dari Surah Al-Baqarah menegaskan bahwa seorang perempuan yang ditalak dan memiliki anak dari pernikahannya, lebih berhak menyusui anak tersebut dibandingkan wanita lain. Hal ini karena ibu kandung memiliki kasih sayang yang lebih mendalam kepada anaknya. 


Berikut ini disajikan teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan beberapa tafsir ulama mengenai Surah Al-Baqarah ayat 233:


۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ۝٢٣٣


wal-wâlidâtu yurdli‘na aulâdahunna ḫaulaini kâmilaini liman arâda ay yutimmar-radlâ‘ah, wa ‘alal-maulûdi lahû rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma‘rûf, lâ tukallafu nafsun illâ wus‘ahâ, lâ tudlârra wâlidatum biwaladihâ wa lâ maulûdul lahû biwaladihî wa ‘alal-wâritsi mitslu dzâlik, fa in arâdâ fishâlan ‘an tarâdlim min-humâ wa tasyâwurin fa lâ junâḫa ‘alaihimâ, wa in arattum an tastardli‘û aulâdakum fa lâ junâḫa ‘alaikum idzâ sallamtum mâ âtaitum bil-ma‘rûf, wattaqullâha wa‘lamû annallâha bimâ ta‘malûna bashîr


Artinya: “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)


Munasabah (Hubungan antar Ayat)

Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir Jilid II (Damaskus, Darul Fikr, 1991: 358–359), munasabah (korelasi) antara Surah Al-Baqarah ayat 233 dan ayat-ayat sebelumnya terletak pada urutan hukum yang dibahas.

 

Setelah menguraikan hukum-hukum pernikahan dan talak yang menyebabkan perpisahan antara suami dan istri, Allah SWT kemudian menjelaskan dalam ayat ini mengenai hasil dari pernikahan tersebut, yaitu anak.


Syekh Wahbah menjelaskan bahwa perempuan yang ditalak kadang memiliki anak yang masih bayi. Anak ini bisa saja menjadi terlantar akibat kebencian antara kedua orang tuanya, atau tindakan zalim dari salah satu pihak.

 

Misalnya, seorang ibu yang ditalak mungkin menolak menyusui bayinya sebagai bentuk balas dendam terhadap suaminya yang telah menalaknya. Oleh sebab itu, Allah SWT memberikan wasiat kepada para ibu mengenai tanggung jawab pemberian ASI.

 

Allah SWT menetapkan masa pemberian ASI selama dua tahun penuh jika kedua orang tua sepakat untuk menyempurnakan masa tersebut. Selain itu, Allah mewajibkan ayah memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu selama masa pemberian ASI, sesuai dengan kemampuannya.

 

Allah SWT melarang suami istri saling menyengsarakan karena anak. Contohnya, ibu menolak memberi ASI untuk menyusahkan ayah, atau ayah merebut anak dari ibu, memaksanya memberi ASI tanpa hak, atau tidak memenuhi kewajiban nafkah.

 

Selain itu, menurut Syekh Wahbah, Allah SWT melarang orang tua mengabaikan hak anak, karena Allah sangat peduli terhadap hak anak yang belum bisa melindungi diri dari kemudaratan.


Tafsir Al-Qurthubi

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Jilid III (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964: 160), menjelaskan bahwa ayat 233 Surah Al-Baqarah berbicara tentang para perempuan yang telah diceraikan dan memiliki anak dari suami mereka. Pendapat ini juga didukung oleh ulama seperti As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan lainnya.


Lebih lanjut, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa meskipun seorang anak telah disapih, ibu tetap lebih berhak mengasuhnya karena kasih sayang yang secara alami dimiliki seorang ibu. Namun, hak asuh ini berlaku selama ibu tidak menikah lagi dengan pria lain.


Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup istri-istri yang tidak diceraikan maupun yang telah diceraikan, selama mereka memiliki anak. Namun, secara spesifik ayat ini lebih menekankan pada istri-istri yang masih dalam ikatan pernikahan, karena mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dari suami.


Imam Al-Qurthubi juga memperdalam pembahasannya, menjelaskan bahwa seorang istri berhak mendapatkan nafkah dan pakaian, baik dia sedang menyusui maupun tidak. Nafkah dan pakaian diberikan sebagai imbalan atas hak tamkin (kemampuan suami untuk menggauli istri).

 

Apabila istri sibuk dengan kegiatan menyusui, maka aktivitas tamkin ini mungkin terganggu. Bisa muncul anggapan bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah menjadi gugur. Namun, dengan ayat ini, anggapan tersebut dibantah, sebagaimana dinyatakan dalam frasa:


وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Artinya, "Dan kewajiban ayah, yakni suami, memberi makan dan pakaian kepada ibu, yakni pada masa menyusui, dengan cara yang ma'ruf."

 

Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan menyusui adalah bentuk kesibukan istri yang dilakukan untuk kebaikan suami dan keluarganya. Situasi ini serupa dengan kasus di mana seorang istri melakukan perjalanan untuk keperluan suami atas izinnya. Dalam kondisi seperti itu, kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak gugur.


Batasan Menyusui yang Menjadikan Mahram

Menurut penjelasan Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (Jilid III, hlm. 162-163), Imam Malik dan banyak ulama berpendapat bahwa menyusui yang menjadikan seseorang mahram (haram dinikahi) hanya berlaku jika terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan bayi.


Alasan utamanya adalah masa dua tahun dianggap sebagai waktu penyusuan yang sempurna. Setelah dua tahun, menyusui tidak lagi berpengaruh dalam menetapkan hubungan mahram.


Pendapat ini juga disampaikan oleh Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, serta ulama seperti Az-Zuhri, Qatadah, Asy-Sya’bi, Sufyan Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i, dan lainnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:


لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ


Artinya: “Tidak ada pemberian ASI (yang menjadikan mahram) kecuali yang dilakukan dalam dua tahun pertama.” (HR. Daruquthni)

 

Menurut Imam Qurthubi, riwayat dan ayat di atas menegaskan bahwa pemberian ASI kepada orang dewasa tidak membuat hubungan mahram. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah RA dan didukung oleh Imam Laits bin Sa'ad serta ulama lainnya.


Tafsirul Munir

Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya (Jilid II, hlm. 359) menyatakan bahwa ibu, baik yang ditalak maupun tidak, dianjurkan menyusui anaknya selama dua tahun penuh jika ingin menyempurnakan masa pemberian ASI. Namun, jika ada maslahat, tidak masalah menyusui kurang dari dua tahun, sesuai ijtihad dan pertimbangan orang tua.

 

Ibu dianjurkan menyusui karena para ahli sepakat bahwa ASI adalah yang terbaik untuk bayi. Menyusui bahkan bisa menjadi wajib jika bayi tidak mau menyusu pada orang lain atau ayah tidak mampu membayar ibu susuan karena kondisi ekonomi.

 

Keengganan ibu untuk menyusui demi menjaga derajat, kecantikan, atau kesehatan bertentangan dengan fitrah dan dapat berdampak buruk pada anak.

 

Menyusui itu Hak atau Kewajiban Ibu?

Menurut Syekh Wahbah dalam Tafsirul Munir Jilid II (Damaskus, Darul Fikr, 1991: 359-360), ulama berbeda pendapat apakah menyusui anak adalah hak atau kewajiban ibu. Imam Malik berpendapat bahwa menyusui wajib bagi ibu yang bersuami, atau jika anaknya tidak mau menyusu pada wanita lain. Namun, wanita bangsawan dikecualikan karena tradisi bangsa Arab saat itu, di mana mereka biasa mengupah ibu susuan.

 

Menurut jumhur ulama, menyusui hukumnya dianjurkan (mandub), kecuali dalam kondisi darurat, seperti bayi tidak mau menyusu pada orang lain. Hal ini sesuai firman Allah dalam QS. At-Thalaq ayat 6:

 

وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ ۝٦

 

wa in ta‘âsartum fa saturdli‘u lahû ukhrâ

 

Artinya: “…dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)

 

Masa Penyusuan Bayi

Menurut Syekh Wahbah, masa pemberian ASI yang ideal adalah dua tahun, karena pada masa ini bayi masih sangat membutuhkan ASI. Namun, jika ada maslahat tertentu, bayi boleh disapih sebelum dua tahun dengan kesepakatan kedua orang tua.

 

Pada akhir tahun pertama, anak biasanya mulai dikenalkan makanan selain ASI. Ketika anak sudah bisa makan makanan biasa dan tidak membutuhkan ASI, ia dapat disapih.

 

Allah menyebutkan frasa dua tahun penuh untuk menghindari anggapan bahwa masa tersebut hanya satu tahun lebih sedikit. Meski demikian, masa dua tahun ini tidak wajib, karena firman Allah, "bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan", menunjukkan bahwa masa dua tahun adalah pilihan untuk menyempurnakan pemberian ASI.

 

Jika orang tua memutuskan untuk menyapih anak sebelum dua tahun, hal itu diperbolehkan selama tidak membahayakan anak, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 233:

 

فَإِنْ أَرادا فِصالًا عَنْ تَراضٍ مِنْهُما وَتَشاوُرٍ، فَلا جُناحَ عَلَيْهِما

 

Artinya: “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya.” 


Jadi, lanjut Syekh Wahbah, penentuan dua tahun masa penyusuan ditujukan untuk menjelaskan tempo yang menjadi acuan ketika terjadi perselisihan (antara suami dan istri), atau ini merupakan penjelasan batas waktu maksimal dalam kaca mata pengadilan (hal. 360).


Ketentuan Hukum Mengupah Orang yang Menyusui Anak

Menurut Syekh Wahbah, ayah wajib mencukupi kebutuhan sandang dan pangan ibu yang menyusui anaknya agar ia bisa menunaikan hak anak, termasuk memberi upah atas penyusuan tersebut.

 

Namun, ibu tidak boleh menerima upah untuk menyusui anaknya selama masih dalam ikatan pernikahan atau masa iddah, kecuali menurut Imam Syafi’i yang memperbolehkannya. Besarnya upah disesuaikan dengan kondisi ekonomi ayah, baik ia kaya maupun miskin, sebagaimana firman Allah SWT:

 

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ ۝٧

 

liyunfiq dzû sa‘atim min sa‘atih, wa mang qudira ‘alaihi rizquhû falyunfiq mimmâ âtâhullâh, lâ yukallifullâhu nafsan illâ mâ âtâhâ, 

 

Artinya: “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Thalaq: 7).

 

Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286) dan “Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 233).

 

Syekh Wahbah menjelaskan lebih lanjut bahwa mengupah ibu susuan diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, karena hal tersebut sesuai dengan prinsip keadilan dan kemampuan masing-masing pihak.  Beliau berpendapat:

 

إذا أردتم أن تسترضعوا المراضع أولادكم أو لأولادكم بسبب حمل أو مرض أو عدم اتفاق، فلا حرج فيه، بشرط إعطاء المرضعة أجرها بالمعروف أي بحسب أجرة أمثالهن في كل عصر ومكان، لما في الأجر من تحقيق مصلحة الولد والوالدين أيضا

 

Artinya, “Kalau kamu ingin anakmu disusukan orang lain karena ibunya hamil, sakit, atau karena tidak ada kesepakatan dengan suami, tidak ada dosa dalam hal ini, asalkan ibu susuan itu diberi upah dengan makruf (yakni sesuai upah rata-rata yang berlaku di tiap zaman dan daerah), karena pemberian upah ini akan memberi maslahat kepada si anak dan kedua orang tuanya pula.”

 

Ayat ini ditujukan kepada ayah dan ibu, menunjukkan pentingnya musyawarah sebelum menyusukan anak kepada orang lain, karena anak adalah tanggung jawab bersama.

 

Menurut mazhab Abu Hanifah, menyusukan anak kepada ibu susuan yang bukan kerabat diperbolehkan. Firman Allah, “Jika kamu memberikan upah dengan baik,” bukanlah syarat wajib, melainkan anjuran untuk berlaku baik kepada ibu susuan.

 

Kewajiban Menafkahi Anak

Menurut Syekh Wahbah, ayat ini menunjukkan bahwa ayah wajib menafkahi anaknya, karena Allah juga mewajibkan ayah menafkahi ibu yang ditalaknya selama masa pemberian ASI demi kebaikan anak. Hal ini karena anak masih lemah dan butuh bantuan, sementara ayah adalah orang terdekat baginya.

 

Frasa وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ menegaskan kewajiban ayah untuk memberikan nafkah berupa sandang dan pangan secara layak (makruf), sesuai syariat, tanpa berlebihan atau kekurangan.

 

Menurut mazhab Maliki, pemberian nafkah ini disesuaikan dengan kemampuan ayah dan kondisi ibu. Keterangan ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirul Munir Jilid II (hlm. 364)

 

Hak Pengasuhan Anak Menurut Para Ulama

Menurut penjelasan Syekh Wahbah dalam Tafsirul Munir (Jilid II, hlm. 365), hak pengasuhan anak diberikan kepada ibu. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Malik dan Abu Hanifah.

 

Imam Malik berpendapat bahwa anak laki-laki diasuh oleh ibu hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Namun, menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, jika anak sudah berumur sekitar delapan tahun (mumayyiz), ia boleh memilih ingin diasuh oleh ayah atau ibunya.

 

Hal ini berlaku untuk anak laki-laki maupun perempuan, berdasarkan sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Nasa'i, di mana seorang anak diberi pilihan dan ia memilih ibunya.


Hak asuh ini tetap menjadi milik ibu selama ia tidak menikah lagi. Semua ulama sepakat bahwa jika ibu menikah dengan orang lain, maka hak asuhnya gugur. Menurut Imam Syafi’i, hak asuh ibu berakhir saat akad nikah berlangsung, sedangkan menurut Imam Malik, hak asuhnya baru gugur setelah ibu digauli oleh suami barunya.


Dalam mazhab Hanafi, tidak ada perbedaan hak asuh antara wanita Muslimah dan non-Muslim (dzimmi) saat perceraian. Namun, menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, anak akan mengikuti orang tua yang beragama Islam.


Jika seorang ibu pernah menolak untuk mengasuh anaknya, lalu ingin mengambil kembali hak asuhnya, maka statusnya bergantung pada alasan penolakannya. Jika ia meninggalkan anaknya karena alasan yang dapat diterima (udzur), maka ia boleh mengambilnya kembali. Namun, jika penolakannya karena kebencian terhadap anak, maka ia tidak berhak mengasuhnya lagi.


Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 233 membahas tentang aturan menyusui, pemberian nafkah, dan hak pengasuhan anak setelah perceraian. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.