Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Menang Kalah dalam Kehidupan
Rabu, 6 November 2024 | 15:30 WIB
Muhammad Izharuddin
Kolomnis
Memaknai arti hidup dan mendefinisikannya sebagai ajang kompetisi adalah hal yang harus diafirmasi. Mau atau tidak, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai goals yang telah direncanakan. Ketika berhasil akan disebut menang, dan jika gagal akan dinilai kalah.
Kalah dan menang memang sejatinya menjadi dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam ritme kehidupan. Ketika ada pihak yang menang maka di situ juga akan akan barisan yang tereliminasi menjadi orang yang kalah. Kondisi seperti ini sebenarnya sebuah hal yang lumrah. Namun, sayangnya beberapa orang kerap kali salah kaprah dalam memahaminya.
Pihak yang menang biasanya akan larut dalam euforia kebahagiaan yang berlebihan. Menganggapnya sebagai proses yang patut didramatisasi melebihi dosis. Sehingga, tak heran jika yang timbul adalah rasa jumawa dan bangga diri atau sombong.
Sebaliknya, tidak sedikit dijumpai mereka yang gagal dalam meraih tujuannya akan larut dalam kesedihan. Tak jarang, mereka kemudian akan tenggelam dalam lautan kemurungan. Alih-alih memilih bangkit, mereka malah terus terpuruk. Lambat laun, orang yang terpapar ini mengalami depresi dan menderita stres yang begitu mendalam.
Islam Menyikapi Menang dan Kalah
Islam melalui ajarannya, sudah jauh-jauh hari mengenalkan konsep sunnatullah dalam kehidupan. Semua aktivitas yang berlangsung di muka bumi sejak awal diciptakan sampai akhir masanya sudah ditentukan oleh Allah dalam Lauh Mahfuz.
Melalui surat Al-Hadid ayat 22-23, Allah menjelaskan seluruh kejadian yang terjadi di bumi dan menimpa manusia telah tertulis sejak zaman azali.
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
Mâ ashâba mim mushîbatin fil-ardli wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâbim ming qabli an nabra'ahâ, inna dzâlika ‘alallâhi yasîr. likai lâ ta'sau ‘alâ mâ fâtakum wa lâ tafraḫû bimâ âtâkum, wallâhu lâ yuḫibbu kulla mukhtâlin fakhûr.
Artinya, “Tidak ada bencana (apapun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.
(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Tafsir Al-Qurthubi
Frasa “bencana yang menimpa di bumi“ ditafsirkan oleh Al-Qurthubi berupa musim paceklik, kekurangan pangan, bala' terhadap sawah dan ladang. Sedangkan “bencana menimpa manusia” dimaknai dengan penyakit, kehidupan yang sulit, kelaparan dan lain sebagainya. Semuanya sudah dituliskan dalam Lauh Mahfuzh, jauh sebelum bumi dan manusia itu diciptakan.
Tatkala sudah mengetahui hal itu, manusia harusnya sadar bahwa dirinya sendiri tidak bisa menolaknya. Tugasnya menerima dan terus tetap bekerja. Seahrusnya sebagai Muslim yang baik meyakini semua itu dari Allah sembari tetap berikhtiar.
فَالْكُلُّ مَكْتُوبٌ مُقَدَّرٌ لَا مَدْفَعَ لَهُ، وَإِنَّمَا عَلَى الْمَرْءِ امْتِثَالُ الْأَمْرِ
Artinya, "Segalanya sudah tertulis ditentukan, maka tidak ada yang bisa mencegahnya. Bagi manusia hanya diharuskan untuk menjalankan perintah.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1963], juz VIII, halaman 258).
Dalam ayat 23, Allah menyebutkan hikmah di balik penetapan takdir. Yakni, agar manusia tidak bersedih atas hal duniawi yang luput dari mereka, karena memang tidak ditakdirkan untuknya. Sekiranya sudah ditakdirkan, jelas mereka akan memperolehnya. Begitupun, ketika mendapatkan kenikmatan, tidak serta merta membuat mereka bahagia secara berlebihan.
Yang digarisbawahi oleh Imam Al-Qurthubi, senang ataupun sedih adalah kewajaran. Yang terlarang ialah berlebihan melampaui batas hingga pada taraf yang tidak diperbolehkan. Sifat orang mukmin seharusnya menjadikan musibah sebagai tempat melatih kesabaran dan kenikmatan sebagai bentuk syukur.
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan, melalui ayat 22 Allah mengabarkan, seluruh kejadian ataupun musibah yang terjadi di langit dan bumi sudah termaktub di Lauh Mahfuz. Jauh sebelum keduanya diciptakan.
Dalam sebuah hadits yang dikutipnya, terdapat jarak 50 ribu tahun dengan waktu bumi dan langit diciptakan. Fungsinya agar tiap manusia sadar bahwa apapun yang menimpanya tidak akan keliru.
Dengan kata lain, apa yang tidak digariskan untuknya tidak akan mengenainya. Sehingga, mereka tidak akan bersedih atas apa yang bukan menjadi bagian miliknya. Karena kalau hal itu sudah ditakdirkan untuknya, maka pasti akan terjadi.
Pun demikian halnya, pada apa yang ia dapatkan. Tidak menjadikannya lantas berbangga diri di hadapan manusia karena semua itu bukanlah murni dari hasil usaha jerih payah mereka. Melainkan berkat ketentuan dan rezeki dari Allah. (Tafsirul Qur’anil Azhim, [Dar As-Salamah: 1999], juz VIII, halaman 27).
Tafsir Ar-Razi
Sebagai mufasir yang kental dengan corak teologis bermazhab Asy’ari, ayat 22 surah Al-Hadid ini dijadikan landasan oleh Ar-Razi sebagai bukti ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu. Segala sesuatu yang telah ditetapkan terjadi pasti wajib terjadi. Sedangkan, yang tidak terjadi wajib tidak akan terjadi.
فَالْآيَةُ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ جَمِيعَ أَعْمَالِهِمْ بِتَفَاصِيلِهَا مَكْتُوبَةٌ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ، وَمُثْبَتَةٌ فِي عِلْمِ اللَّه تَعَالَى، فَكَانَ الِامْتِنَاعُ مِنْ تِلْكَ الْأَعْمَالِ مُحَالًا، لِأَنَّ عِلْمَ اللَّه بِوُجُودِهَا مُنَافٍ لِعَدَمِهَا، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمُتَنَافِيَيْنِ مُحَالٌ
Artinya, “Ayat tersebut menunjukkan bahwa segala amalan manusia beserta perinciannya telah termaktub di Lauh Mahfuz, dan telah ditetapkan dalam ilmu Allah. Karenanya mencegah amal-amal manusia yang telah ditetapkan itu mustahil. Karena pengetahuan Allah bahwa amal tersebut akan terjadi itu menafikan tidak terjadinya amal tersebut. Karena dua hal yang saling bertentangan mustahil saling berkumpul.” (Mafatihul Ghaib, [Beirut :1420 H], juz XXIV, halaman 467).
Deretan pengetahuan Allah terhadap seluruh kejadian di bumi dan beragam aktivitas manusia yang tertulis di Lauh Mahfuz merupakan hal yang sangat mudah sekali Allah lakukan. Karena jelas, Khaliq (Pencipta) tidak akan pernah disamakan dengan makhluknya yang serba lemah dan terbatas.
Ayat 23 diawali huruf lam ta’lil yang berfaedah menjadikan awal kalimat sebagai sebab bagi kalimat sesudahnya. Semisal, saya melakukan A agar terjadi B (saya berdiri agar bisa memukulmu). Di sini kata berdiri menjadi sebab untuk memukul, jika tidak berdiri maka tidak akan terjadi memukul.
Isi dari frasa ayat “agar manusia tidak bersedih dan seterusnya” sebagai kelanjutan ayat sebelumnya menjadi alasan Allah sudah sejak zaman azali menetapkan segala dinamika kehidupan manusia dan yang terjadi bumi. Allah Yang Maha Baik menginginkan agar manusia tidak lantas jumawa dengan kesenangan yang didapatkannya, dan tidak depresi dengan yang keburukan yang menimpanya.
لا تَحْزَنُوا حُزْنًا يُخْرِجُكم إلى أنْ تُهْلِكُوا أنْفُسَكم ولا تَعْتَدُّوا بِثَوابٍ عَلى فَواتِ ما سُلِبَ مِنكم، ولا تَفْرَحُوا فَرَحًا شَدِيدًا يُطْغِيكم حَتّى تَأْشَرُوا فِيهِ وتَبْطُرُوا
Artinya, “Jangan terlampau sedih hingga membuat kalian binasakan diri sendiri dan berlebihan atas hilangnya sesuatu dari kalian. Jangan pula terlalu bergembira hingga membuat kalian menjadi angkuh dan sombong.” (Ar-Razi, XXIV/468).
Dalam Frasa akhir ayat Allah mencela perilaku orang yang sombong secara berlebihan dengan menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai sikap tersebut.
Refleksi Ayat
Kedua ayat di atas menyampaikan pesan kepada kita agar tidak bersedih hati terhadap kesulitan, keruwetan hidup, dan kekalahan yang diterima, problem kehidupan yang dianggap tidak berpihak pada kita. Kalaupun harus bersedih cukup sekadarnya saja.
Sebaliknya, pada kebaikan, kenikmatan, dan kemenangan yang dianggap berpihak pada kita, juga harus disikapi normal dan sewajarnya saja. Jangan sampai terlampau jauh sampai timbul rasa sombong dan jumawa.
Kalah-menang dan suka-duka bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan berlebihan ataupun ditangisi keterlaluan. Karena apapun yang terjadi semuanya tak lepas dari ketentuan dan ketetapan atas takdir Allah. Sikap orang beriman adalah bersyukur ketika diberi nikmat dan bersabar terhadap musibah.
Imam As-Syafi’i dalam Diwan yang ditulisnya mengatakan:
دَعِ الأَيّامَ تَفعَلُ مَا تَشاء … وَطِبْ نَفْساً إِذا حَكَمَ الْقَضاءُ
وَلَا تَجْزَع لِحادِثَةِ اللَّيَالِي … فَمَا لِحَوادِثِ الدُّنْيَا بَقاءُ
Artinya, “Biarkanlah hari melakukan apa saja yang ia mau, obatilah jiwa ketika takdir telah ditetapkan. Jangan gelisah dengan beragam peristiwa, karena segala kejadian di dunia tidak ada yang kekal.” (Diwanus Syafi’i, [Kairo: 1985], halaman 46).
Manusia harus terbiasa mengendalikan hati terhadap apapun yang terjadi. Jangan sampai gelisah, gundah, depresi karena kehidupan akan terus berputar, seiring waktu mengajarkan kepada kita menang dan kalah, berhasil dan gagal, suka maupun duka.
Sebagai hamba yang beriman, orang harus meyakini bahwa hal-ihwal yang terjadi sudah dalam pengetahuan Allah. Dengan begitu, hati kita senantiasa lapang, mudah menerima atas apa yang terjadi, bersyukur bukan malah kufur.
Menang dan kalah dianggap sewajarnya saja dengan terus dapat berlaku bijak atas apa yang terjadi. Menang tak jumawa dan kalah tak depresi dan merana. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
6
Larangan Justifikasi Kebakaran California sebagai Azab
Terkini
Lihat Semua