Takbir dalam Surat Al-Baqarah Ayat 185: Ragam Makna dan Tafsirnya
NU Online · Sabtu, 29 Maret 2025 | 19:00 WIB
Alwi Jamalulel Ubab
Kolomnis
Mengumandangkan takbir pada malam hari raya Idul Fitri sangat dianjurkan dalam Islam. Selain sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan, membaca takbir juga merupakan wujud syukur bagi umat Islam atas anugerah yang telah Allah berikan dengan diberikan hidayah untuk dapat mengisi bulan Ramadhan melalui amal shalih dan menyempurnakan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Dalam ketentuannya, kesunahan membaca takbir pada malam hari raya Idul Fitri tertuang Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 185. Allah swt berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur”. (Qs. Al-Baqarah: 185)
Surat Al-Baqarah ayat 185 sendiri, secara garis besar terdiri dari 5 inti pembahasan yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Pembahasan tersebut meliputi pembahasan bulan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an, kewajiban puasa bagi yang menjumpainya, rukhsah tidak berpuasa bagi orang sakit dan dalam perjalanan untuk diganti di lain waktu, dan perintah mencukupkan bilangan berpuasa serta bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mencukupkan bilangan dalam berpuasa dengan mengqadha puasa sesuai jumlah hari yang terlewat pada bulan Ramadhan dan kesunahan mengumandangkan takbir pada hari raya, mengagungkan Allah atas hidayah yang telah dianugerahkan oleh-Nya (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H), juz I, hal 61).
Pada ayat ini Allah menggunakan lafadz “walitukmilul ‘iddata” yang memiliki makna “mencukupkan bilangan” dengan maksud mencukupkan bilangan jumlah puasa sesuai dengan jumlah bilangan hari dalam bulan Ramadhan yang terlewat. Hal itu didasarkan karena jumlah hari dalam satu bulan hijiriah bisa berjumlah 29 atau 30 hari.
Sementara itu, Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya memiliki dua pandangan terkait makna takbir pada ayat ini. Ar-Razi menjelaskan bahwa maksud dari takbir pada ayat ini ialah mengumandangkan takbir pada malam hari raya Idul Fitri sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Adapun Imam Syafii berpandangan bahwa kesunahan membaca takbir ada pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ إِذَا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَنْ يُكَبِّرُوا، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأُحِبُّ إِظْهَارَ التَّكْبِيرِ فِي الْعِيدَيْنِ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُكْرَهُ ذَلِكَ غَدَاةَ الْفِطْرِ، وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى مَا هَداكُمْ وَقَالَ: مَعْنَاهُ وَلِتُكْمِلُوا عِدَّةَ شَهْرِ رَمَضَانَ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عِنْدَ انْقِضَائِهِ عَلَى مَا هَدَاكُمْ إِلَى هَذِهِ الطَّاعَةِ
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: wajib bagi umat Islam untuk membaca takbir ketika mereka melihat hilal Syawal. Imam Syafii berkata: aku menyukai membaca takbir pada dua hari raya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Ahmad, Ishak, Abu Yusuf dan Muhammad. Abu Hanifah berkata: dimakruhkan membaca takbir pada pagi hari raya Idul Fitri. Imam Syafii berargumentasi dengan firman Allah ta’ala: “walitukmilul ‘iddata walitukabbirullaha ‘ala ma hadaakum”, Imam Syafii berkata maknanya ialah “hendaklah kamu menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan agar kemudian kamu mengagungkan Allah (membaca takbir) ketika selesai sesuai dengan petunjuk-Nya pada ketaatan ini”. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1420 H], juz V, hal 259).
Lebih lanjut dalam pandangan kedua Ar-Razi terkait makna bertakbir pada ayat ini, ia menjelaskan maksudnya ialah mengagungkan Allah atas pertolongan-Nya sehingga dapat melaksanakan ketaatan. Kesempurnaan takbir (pengagungan) yang dimaksud hanya dapat diraih dengan ucapan, keyakinan dan perbuatan. Ucapan yang dimaksud di sini dengan menyebutkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang mulia lagi baik dan membersihkannya dari hal-hal yang tidak layak. Meyakini dalam hati serta mengaplikasikannya dalam perbuatan sehari-hari dengan beribadah kepada Allah.
Dari kedua pandangan makna bertakbir pada ayat yang dipaparkan olehnya, Ar-Razi condong pada pandangan yang pertama yang menyebutkan ayat ini merupakan ayat yang memiliki kekhususan bertakbir pada hari raya Idul Fitri. Ia berpendapat bahwa penyebutan secara khusus takbir pada ayat ini memiliki kekhususan yang lebih dibandingkan takbir yang wajib dikumandangkan setiap waktu. (Ar-Razi, hal 259).
Adapun Ibnu Katsir dalam tafsirnya terkait ayat ini berkata: “Firman Allah walitukabbirullaha ‘ala ma hadaakum maknanya ialah hendaklah kalian menyebut nama-Nya ketika kalian selesai beribadah”. Ibnu Katsir berpendapat bahwa kesunahan membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat fardhu salah satunya diperoleh dari ayat ini. Hal tersebut didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah selalu membaca takbir setelah shalat.
Lebih lanjut, Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa mayoritas ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar kesunahan mengumandangkan takbir pada hari raya Idul Fitri. Bahkan Daud bin Ali Al-Asbahani Adz-Dzahiri berpendapat bahwa mengumandangkan takbir pada hari raya Idul Fitri dihukumi wajib melihat dari dzahir perintah. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1419 H], juz I, hal 371).
Kesimpulannya, ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 185 merupakan perintah untuk menyempurnakan bilangan puasa yang terlewat bagi orang-orang yang diberi rukhsah untuk tidak berpuasa. Juga anjuran untuk mengumandangkan takbir pada malam hari raya Idul Fitri dari mulai terbenamnya matahari hingga masuknya imam untuk melaksanakan shalat Idul Fitri pada pagi harinya. Wallahu a’lam.
Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Saiidussiddiqiyah
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua