Tasawuf/Akhlak

Akhlak Bertabayun di Era Digital

Jum, 19 November 2021 | 09:45 WIB

Akhlak Bertabayun di Era Digital

Akhlak dan budi pekerti yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat, terutama di era digital.

Akhlak yang baik atau akhlakul karimah menjadi pondasi penting orang-orang beragama. Akhlak ini berbasis nilai. Nilai merupakan sesuatu yang bersifat universal. Sehingga pada dasarnya, akhlak yang baik ada pada diri setiap orang beragama, setiap manusia. Apalagi ajaran Rasulullah penuh dengan teladan-teladan akhlak yang baik di tengah masyarakat.


Membahas persoalan akhlak, globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial yang begitu cepat salah satunya berdampak pada pergeseran nilai sekaligus mendegradasi akhlak manusia. Akhlak dan budi pekerti yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat, terutama di era digital.


Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap kebahagiaannya. Demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati bersama, maka semakin bahagia masyarakat tersebut.


Muhammad Quraish Shihab dalam Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2017) menjelaskan Akhlak secara filosofis. Ia mengemukakan sejumlah konsep etika dan nilai dari para filsuf Yunani dan filsuf Barat. Tentu saja penguatan ilmu akhlak banyak ia kutip dari Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab klasik para ulama.


Secara historis, para filsuf Yunani kuno sangat menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Langkah-langkah kaki mereka tidak pernah berhenti mencari ruang-ruang kehidupan manusia, dimana akhlak, etika, dan kemanusiaan dihidupkan.


Nurani sangat terkait dengan perkembangan akhlak luhur pada diri manusia. Layaknya pelita yang selalu menerangi, nurani merupakan pencerah hati dan perasaan manusia sehingga memungkinkan dirinya terhindar dari hal-hal negatif.


Namun demikian, hati nurani bukan hasil dari pemikiran teoritis akliah. Tetapi ia lahir dari kerja perasaan yang bisa jadi tidak mudah untuk didefinisikan substansinya. Namun, setiap orang dapat merasakan hati nurani dan tidak mudah untuk mengabaikannya. 


Akhlak juga berkaitan dengan kebaikan dan keburukan/kejahatan. Keburukan atau kejahatan adalah lawan dari kebaikan. Ia mencakup dua hal pokok, pertama, sakit/perih, baik jasmani maupun rohani, seperti musibah kebakaran atau tenggelam.


Kedua, adalah yang mengantar pada sakit atau perih seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak lain dan bisa juga akibat ulah yang mengalaminya sendiri.


Quraish Shihab (2017: 57) mengungkapkan salah satu doa yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah ketika akan keluar rumah, ialah: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu sehingga kami tidak sesat, tidak juga disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak menganiaya tidak juga dianiaya, serta tidak berbuat jahil (picik), tidak juga kami diperlakukan dengan picik.” 


Doa tersebut mengisyaratkan potensi terjadinya keburukan dan kejahatan akibat ulah pihak lain maupun ulah kita sendiri. Dalam konteks keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi, ditekankan akhlak bertabayun atau melakukan kroscek kebenaran terhadap informasi dan berita yang beredar, baik itu melalui media cetak, website, maupun media sosial.


Dalam hal ini, Allah SWT dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memerintahkan manusia untuk senantiasa melakukan tabayyun atau check dan richeck.


“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Hujurat: 6)


Tanpa upaya bertabayun terlebih dahulu, tidak terhitung orang-orang yang aktif di media sosial termakan oleh berita-berita palsu dan bohong. Agaknya pasar netizen yang mudah dibohongi makin marak, dampaknya seolah kebohongan dalam bentuk informasi menjadi sebuah industri. 


Lagi-lagi, di sinilah akhlak luhur harus dikedepankan. Jika sebelum era digital langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, saat ini akhlak juga harus dijunjung tinggi ketika berinteraksi di media sosial.


Quraish Shihab mengisahkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada sekelompok orang yang menyebarkan rumor tentang istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah ra yang cukup meresahkan Nabi dan sahabat-sahabat karib beliau.


Setelah sebulan rumor itu berkembang, baru Allah SWT ayat-ayat yang membantah rumor tersebut sambil memberi pengajaran kepada umat bagaimana langkah yang harus ditempuh jika tabayyun tidak menghasilkan apa yang diharapkan atau bila rumor itu menyangkut orang yang selama ini dikenal baik.


Allah berpesan dalam QS An-Nur [24]: 12 yang maksudnya antara lain menyatakan bahwa mestinya sewaktu seseorang mendengar rumor, selaku orang-orang mukmin dan mukminah harus bersangka baik terhadap yang dicemarkan namanya itu. Karena yang dicemarkan namanya tersebut adalah sesama orang beriman.


Pada ayat 24 dalam surat di atas, Allah dengan jelas memperingatkan bahwa orang-orang yang senang tersebarnya berita-berita yang mencemarkan dalam masyarakat Islam, mereka itu akan ditimpa siksa yang pedih.


Krisis akhlak yang semakin akut terutama di kalangan generasi muda. Bangsa Indonesia, terutama umat Islam perlu memperhatikan tradisi keilmuan dan pendidikan di pesantren yang integratif antara akhlak, ilmu, dan amal.


Bahkan, pengembangan adab dan budi pekerti luhur sangat ditekankan di pesantren sehingga lembaga pendidikan khas di Indonesia itu mampu menjadi benteng moral bagi generasi bangsa sejak berabad-abad lalu hingga saat ini. (Fathoni)