Syariah

Mandi Junub Sambil Niat Cari Kesegaran Badan, Memang dapat Pahala?

Kam, 29 September 2022 | 16:00 WIB

Mandi Junub Sambil Niat Cari Kesegaran Badan, Memang dapat Pahala?

Mandi wajib atau mandi junub untuk menghilangkan hadats besar, sekalian berniat agar badan segar.

Seringkali di musim kemarau kita beribadah dengan prinsip menyelam sambil minum air. Tentu yang dimaksud di sini bukan menyelam dalam arti sebenarnya. Kita mandi wajib atau mandi junub untuk menghilangkan hadats besar sekalian berniat agar badan segar; atau wudhu sekalian niat cuci muka. Kita berpuasa Ramadhan sekaligus niat diet dan mengurangi berat badan. Bahkan kadang shalat diniati sekalian mendapat manfaat kesehatan seperti beberapa hasil penelitian.
 

Menurut para ulama hal demikian masuk dalam kategori tasyrik, yang dalam hal ini berarti menyertakan ibadah dengan motivasi dunia yang mubah (bukan sesuatu yang diharamkan). Hukum ibadah yang dilakukan tetap sah meski ada tujuan duniawi, karena apa yang menjadi tujuan tersebut tetap terjadi baik diniati atau tidak.
 

Semisal dalam contoh di atas kesegaran badan ketika mandi wajib. Hal itu tetap terjadi meski tidak diniati, yang penting dia mandi. Karena itu, tujuan mencari kesegaran badan tak mempengaruhi keabsahan mandi wajib.
 

Namun terkait apakah mendapat pahala dari ibadah mandi tersebut, ada tiga pendapat sebagaimana dalam kitab Fathul 'Allam karya Sayyid Muhammad Abdullah Al Jurdani: 


1. Menurut Imam Izzuddin bin Abdissalam, ulama fiqih mazhab Syafi'i yang bergelar Sulthanul Ulama atau raja para ulama, tidak mendapat pahala sama sekali. Hal ini sebagaimana keterangan hadits yang terkenal:


وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ 

 

Artinya, "Barangsiapa yang berhijrah demi dunia yang ingin diperolehnya; atau perempuan yang hendak dinikahi, maka hijrahnya terarah untuk apa yang ditujunya." (Mulla Ali Qari, Mirqatul Mafatih, [Darul Fikr], juz I, halaman 47).


2. Menurut Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Ramli, melihat motivasi apa yang dominan. Bila motivasi dunia yang dominan, maka tak dapat pahala. Bila niat ibadah yang lebih dominan maka mendapat pahala sesuai kadar niatnya. Bila imbang, tak dapat pahala.
 

3. Menurut Imam Ibnu Hajar, selama ada niat ibadah maka ia mendapat pahala sesuai kadar niatnya, baik niat ibadah tersebut lebih dominan maupun motivasi dunia yang lebih dominan.Hal ini sesuai dengan lahiriah ayat:
 

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
 

Artinya, "Barangsiapa melakukan sebesar dzarrah satu kebaikan maka ia akan melihat (balasan)nya." (QS az-Zalzalah: 7). (Qari, Mirqatul Mafatih, juz I, halaman 47). 
 

Perbedaan pendapat di atas berlaku bila motivasi dunia selain riya, ujub, dan sejenisnya. Sedangkan bila hal-hal ini yang tersebersit, maka tak dapat pahala sama sekali walau pun unsur ibadah lebih dominan. Hal ini selaras dengan hadits qudsi:


أنا أغْنَى الشُّركاءِ عنِ الشِّركِ فَمَنْ عمِلَ عملًا أشركَ فيه غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ
 

ِِArtinya, "Aku tak butuh disekutukan. Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang di dalamnya ia menyekutukanku dengan yang lain, maka aku berlepas darinya. Amal itu untuk yang ia menjadikannya sekutu." Wallahu a'lam. (Muhammad Abdullah Al Jurdani, Fathul Allam bi Syarhi Mursyidil Anam, [Dar Ibnu Hazm], juz I, halaman 199-200).