Tasawuf/Akhlak

Dua Sebab Orang Melupakan Mati dan Cara Mengobatinya

Jum, 25 Juni 2021 | 16:00 WIB

Dua Sebab Orang Melupakan Mati dan Cara Mengobatinya

Penyebab panjangnya angan-angan dan lupa akan kematian adalah dua hal, yakni kebodohan dan cinta dunia. (Ilustrasi: NU Online)

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, tepatnya sebagai poin awal ketika membahas thulul amal (panjangnya angan-angan) menyampaikan hadits Rasulullah yang disampaikan kepada sahabat Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma tentang penyebab lupa akan kematian. Di mana di antara penyebabnya adalah panjangnya angan-angan seseorang sampai lupa bahwa di hadapannya ada kematian. Rasulullah ﷺ bersabda:

 

إذا أصبحت فلا تحدث نفسك بالمساء وإذا أمسيت فلا تحدث نفسك بالصباح وخذ من حياتك لموتك ومن صحتك لسقمك فإنك يا عبد الله لا تدري ما اسمك غدا

 

Artinya, “Jika engkau berada di pagi hari, maka jangan mengkhayal akan apa yang kamu dapatkan di sore hari. Jika kamu berada di sore hari, maka jangan mengkhayal akan apa yang akan kamu dapatkan di pagi hari. Ikatlah kehidupanmu dengan kematianmu. Ikatlah sehatmu dengan sakitmu. Karena sesungguhnya dirimu, wahai Abdullah! Tidak akan tahu seperti apa namamu esok” (HR Ibnu Hibban).

 

Hadits di atas memberikan sebuah pengertian bahwa seharusnya semua manusia tidak perlu berangan-angan terlalu panjang tentang masa depan setiap materi dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Seolah, Rasulullah ﷺ hendak memerintahkan umat Islam agar selalu menjaga kesehatannya dan menggunakannya untuk ibadah dan kebaikan, serta mengingat kematian yang sudah pasti datangnya. Kehidupan akan tidak mempunyai arti ketika jiwa sedang sakit. Pun dengan materi tidak ada gunanya ketika kematian telah datang menghampiri. Oleh sebabnya, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kehidupan diikat dengan kematian, dan kesehatan diikat dengan sakit.

 

Menurut Imam al-Ghazali, ada dua pokok penting yang bisa menjadi penyebab panjangnya angan-angan: (1) kebodohan dan (2) cinta dunia dan kesenangan-kesenangannya.

 

 

Dua sebab di atas merupakan penyebab munculnya angan-angan yang panjang dan lupa akan kematian. Dengan keduanya, ia lupa bahwa ada tempat yang lebih baik dari dunia, lupa dengan persiapan-persiapan dalam menunggu datangnya mati, dan persiapan untuk akhirat.

 

  1. Cinta Dunia

Menurut al-Ghazali, ketika seseorang sudah senang dengan dunia berikut kenyamanan di dalamnya, ia akan merasa berat untuk berpisah dengan dunia. Dengannya, seseorang akan tercegah dari berpikir tentang kematian, padahal sebenarnya kematian menjadi penyebab berpisah dengan dunia.

 

Tidak hanya itu, dengan cinta dunia, seseorang akan disibukkan dengan angan-angan yang tidak baik. Ia tidak akan berpikir kecuali angan yang sesuai dengan kehendaknya sendiri, berupa hidup panjang dan kenyamanan-kenyamanan dunia, mulai dari harta, keluarga, rumah, teman, kendaraan, dan sebab-sebab lainnya. Dalam keadaan seperti itu, al-Ghazali mengomentari:

 

فيصير قلبه عاكفا على هذا الفكر موقوفا عليه فيلهو عن ذكر الموت

 

Artinya, “Maka hatinya akan disibukkan dengan pikiran ini (dunia dan kesenangannya), terhenti dengannya, maka ia akan lupa dari mengingat mati” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Bairut: Darul Ma’rifah 2010], juz 4, h. 456).

 

Ketika hati dan pikirannya hanya berpikir tentang materi, disertai angan panjang yang selalu mengintai, seseorang cenderung lengah dari kematian dan segala persiapannya. Jikapun terbesit soal kematian dan keinginan mempersiapkan kedatangannya, justru akan selalu ada penunda yang bisa membuatnya lupa kembali. Imam al-Ghazali melanjutkan,

 

الأيام بين يديك إلى أن تكبر ثم تتوب وإذا كبر فيقول إلى أن تصير شيخا فإذا صار شيخا قال إلى أن تفرغ من بناء هذه الدار وعمارة هذه الضيعة أو ترجع من هذه السفرة أو تفرغ من تدبير هذا.

 

Artinya, “Hari-hari ada di depanmu sampai engkau tua, kemudian bertobat. Ketika tua telah datang, maka ia berkata, sampai sangat tua. Ketika ia sudah sangat tua, ia akan berkata, sampai selesainya bangunan rumah ini, pembangunan desa, atau setelah pulang dari bepergian, atau setelah selesainya semua urusan” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 456).

 

Dalam keadaan seperti itu, menurut al-Ghazali sudah tidak ada ruang sama sekali untuk berpikir tentang kematian dan semua persiapannya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya memiliki dunia dengan segala kesempurnaan yang disenanginya. Hari-hari ia lewati hanya dengan pikiran urusan dunia, ia tidak lagi mempedulikan akhirat dengan segala nikmat dan siksanya. Kebutaan akan dunia telah membuatnya terhipnotis bahwa tidak ada yang lebih sempurna selainnya. Ia tidak sadar diri bahwa semakin ia berpikir akan dunia, akan semakin kuat pula rasa cintanya.

 

Semua pokok yang terlintas dalam benaknya disebabkan besarnya kecintaan pada dunia. Ia bersenang-senang dengan kenikmatannya yang tidak abadi itu, bahkan ia lupa akan sabda Rasulullah ﷺ beberapa abad yang lalu, yaitu:

 

أحبب من أحببت فإنك مفارقه

 

Artinya, “Cintailah apa pun yang engkau suka karena sungguh kalian pasti berpisah dengannya.”

 

Pada hakikatnya, Rasulullah tidak melarang akan rasa cinta dan senang pada dunia. Hanya saja, seharusnya rasa cinta itu harus disertai dengan persiapan-persiapan kematian yang akan ia hadapi selanjutnya. Seharusnya, kesenangannya tidak lantas menjadikan ia lupa bahwa apa pun yang ada di dunia akan berpisah disebabkan kematian.

 

  1. Kebodohan

Kebodohan di sini bisa diartikan dengan dua pengertian. Pertama, tidak tahu bahwa akhirat jauh lebih sempurna dan nikmat dari kesenangan dunia. Kedua, tidak tahu bahwa dunia sama sekali tidak ada artinya di sisi Allah .

 

Dengan kebodohannya itu, seolah ia akan selalu hidup di dunia sesuai dengan keinginannya. Ia tidak sadar bahwa kematian bisa datang sesuai dengan catatan takdir yang telah Allah ﷻ tentukan. Sama sekali kematian tidak memandang sehat, sakit, kaya, miskin, siang, malam, musim hujan, dan musim kemarau.

 

Semua kelalaian, dan lupa akan kematian itu menurut al-Ghazali disebabkan tidak pernah berpikir akan datangnya kematian. Dalam kitabnya mengatakan:

 

 

 

Artinya, “Jika seandainya orang-orang yang lupa (kematian) berpikir dan tahu bahwa mati tidak mempunyai waktu secara khusus, maka sudah tentu akan menyadari, dan sibuk dengan mempersiapkan (kedatangan)nya.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 457).

 

Menurut al-Ghazali, berpikir tentang datangnya kematian yang tanpa kompromi merupakan jalan terbaik untuk bisa terlepas dari belenggu dunia dan kenikmatannya. Hanya saja, kebodohan dengan semua itu, disertai dengan besarnya rasa cinta pada dunia telah membuatnya buta dengan segalanya, yang terlintas dalam benaknya hanyalah angan-angan panjang tentang dunia dan segala kenyamanannya.

 

Cara Mengobatinya

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab panjangnya angan-angan dan lupa akan kematian adalah dua hal. Bagaimana cara mengobatinya? Resep dari Imam al-Ghazali adalah dengan cara menjernihkan pikiran dari lubuk hati paling dalam, disertai dengan seringnya mendengarkan kalam-kalam hikmah dari para ulama yang hatinya suci dari kecintaan pada dunia.

 

Menurut al-Ghazali, yang paling sulit adalah mengobati sifat cintanya pada dunia. Kecintaan itu bagaikan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, kecuali dengan keimanan yang mantap akan hari akhir (kiamat), dengan cara mengimani pada dahsyatnya siksa Allah ﷻ saat itu, dan agungnya pahala yang Allah berikan pada orang-orang yang hatinya sudah tidak mempedulikan dunia dan segala kenikmatannya.

 

Jika obat ini sudah tertanam dalam jiwanya, sedikit demi sedikit akan terkikis kecintaannya pada dunia. Ia mulai menganggap bahwa rasa cinta pada sesuatu yang hina merupakan kehinaan. Ketika ia sudah melihat kehinaan dunia dan keindahan akhirat, ia akan enggan menoleh pada dunia secara keseluruhan, bahkan meski seandainya semua jagat raya diberikan kepadanya.

 

وكيف وليس عنده من الدنيا إلا قدر يسير مكدر منغص فكيف يفرح بها

 

Artinya, “Bagaimana mungkin bisa bahagia dengannya (dunia), sedangkan baginya nilai dunia itu remeh, penuh kesukaran, dan kesusahan?” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 457).

 

Merupakan hal yang aneh, jika seseorang meninggalkan indahnya intan permata demi satu batu kerikil. Begitu pun dengan dunia dan akhirat. Sangat tidak masuk akal ketika seseorang berjuang mati-matian demi dunia dan isinya yang nilainya tidak lebih dari batu kerikil tanpa kemuliaan dan keindahan, lantas meninggalkan akhirat yang nilainya melebihi intan permata dengan segala keindahan dan kemuliaannya.

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.