Tasawuf/Akhlak

Fenomena Performative Male di Media Sosial: Kebaikan atau Pencitraan?

NU Online  ยท  Ahad, 10 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Fenomena Performative Male di Media Sosial: Kebaikan atau Pencitraan?

Ilustrasi update story di media sosial. Sumber: Canva/NU Online.

Media sosialย sering kali menjadi panggung bagi tren dan istilah baru yang menyebar dengan cepat. Salah satu istilah yang belakangan ini ramai diperbincangkan adalah "performative male". Istilah ini merujuk pada fenomena di mana seorang pria menampilkan perilaku atau sikap tertentu, yang dianggap "benar" atau "baik," di ruang publik, namun motivasi di baliknya dipertanyakan.


Sebagai contoh, seorang pria mengunggah video sedang membantu pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci piring atau mengasuh anak, dengan narasi yang seolah-olah hal tersebut adalah suatu pencapaian luar biasa. Di satu sisi, tindakan ini terlihat positif dan mendorong kesetaraan gender.

 

Hanya saja, di sisi lain, banyak warganet beranggapan bahwa tindakan ini hanyalah sebuah "pertunjukan" untuk mendapatkan validasi, pujian, atau citra positif di media sosial, bukan karena kesadaran tulus akan tanggung jawab bersama.


Fenomena ini menjadi perdebatan menarik. Apakah tindakan baik yang dilakukan hanya untuk konten masih bisa disebut baik? Di sinilah pentingnya memahami lebih dalam, baik dari sudut pandang sosial maupun syariat Islam.


Pengertian dan Contoh "Performative Male"

Menurut Urban Dictionary dalam unggahan tanggal 14 Juli 2025, โ€œperformative maleโ€ adalah istilah untuk menyebut โ€œlelaki baikโ€ yang berusaha keras menampilkan sisi femininnya, misalnya dengan berpura-pura menyukai musik K-Pop, memakai tote bag/goodie bag, gemar membaca, minum matcha, dan melakukan hal-hal serupa, guna meningkatkan popularitas di hadapan para perempuan.


Ditinjau secara harfiah, "performative" berarti 'bersifat pertunjukan' atau 'untuk tampil'. Jadi, "performative male" dapat diartikan sebagai seorang pria yang menampilkan tindakan-tindakan tertentu sebagai sebuah pertunjukan. Aksi ini sering kali tidak tulus, melainkan bertujuan untuk mendapatkan apresiasi publik. Contoh yang sering diunggah di media sosial ialah seperti membagikan konten sedang membantu pekerjaan rumah tangga seperti video memasak, mencuci, atau membersihkan rumah sambil memberikan narasi bahwa "tidak ada salahnya pria melakukan ini."


Selain itu, mereka juga akan cenderung menampilkan sikap feminin di depan umum: secara vokal mendukung kesetaraan gender atau hak-hak perempuan, namun perilakunya di balik layar tidak sejalan. Beberapa pelaku juga membuat video romantis yang berlebihan untuk pasangan, yang terkesan lebih ditujukan untuk konsumsi publik daripada kebahagiaan pasangan itu sendiri.


Inti dari kritik terhadap "performative male" adalah pada niat di balik tindakan tersebut. Jika niatnya adalah untuk mendapatkan pujian, bukan untuk kebaikan itu sendiri, maka tindakan itu kehilangan bobot moralnya.


Pandangan Syariat Islam

Dalam kajian gender, fenomena ini bisa dipahami lewat konsep doing gender yang digagas Candace West & Don Zimmerman (1987) serta Judith Butler yang menekankan bahwa gender adalah performatif sosial, bukan bawaan lahir. Untuk bisa memahami hal ini, bisa kita baca pada penelitian sepadan namun pada topik sedikit berbeda yakni โ€œPerformative Masculinityโ€ yang dilakukan oleh Hsing-Yuan Liu (International Journal of Environmental Research and Public Health, 2022).


Hasil penelitian menjelaskan bahwa pada prinsipnya, performative masculinity adalah kepura-puraan bersikap jagoan supaya terlihat maskulin di tempat umum. Sama halnya dengan tren performative male yang menampilkan citra โ€œpenuh kesadaran sosialโ€ yang kemudian dianggap menarik oleh perempuan. Hal ini tidak lebih dari strategi pencitraan (branding) yang mengaburkan keaslian perilaku seseorang.


Pada akhirnya, fenomena ini kehilangan tujuan utamanya yakni menciptakan ruang sosial yang penuh kesetaraan gender, namun malah dijadikan modus bagi para lelaki dalam mengambil perhatian lawan jenis.


Mengacu pada pertimbangan ini, syariat Islam menekankan pentingnya niat dan keikhlasan dalam melakukan segala sesuatu. Artinya, melakukan suatu perbuatan semata-mata hanya karena Allah SWT dan tanpa mengharapkan pujian atau imbalan dari manusia. Ketika seseorang beramal dengan niat untuk mendapatkan popularitas, pujian, atau pengakuan dari orang lain, perbuatan tersebut dapat jatuh ke dalam kategori riya'.


Imam Nawawi menjelaskan pengertian ikhlas sebagai berikut:


ูุฃุนู„ู‰ ู…ุฑุงุชุจ ุงู„ุงุฎู„ุงุต ุชุตููŠุฉ ุงู„ุนู…ู„ ุนู† ู…ู„ุงุญุธุฉ ุงู„ุฎู„ู‚ ุจุฃู† ู„ุง ูŠุฑูŠุฏ ุจุนุจุงุฏุชู‡ ุงู„ุง ุงู…ุชุซุงู„ ุฃู…ุฑ ุงู„ู„ู‡ ูˆุงู„ู‚ูŠุงู… ุจุญู‚ ุงู„ุนุจูˆุฏูŠุฉ ุฏูˆู† ุงู‚ุจุงู„ ุงู„ู†ุงุณ ุนู„ูŠู‡ ุจุงู„ู…ุญุจุฉ ูˆุงู„ุซู†ุงุก ูˆุงู„ู…ุงู„ ูˆู†ุญูˆ ุฐู„ูƒ


Artinya, "Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya," (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nashaihul โ€˜Ibad, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2010], hal. 58)


Sementara kebalikannya, yakni riya' adalah memperlihatkan amal ibadah kepada orang lain dengan tujuan agar dipuji. Meskipun perbuatan yang dilakukan adalah kebaikan (seperti membantu istri, berbagi rezeki, atau beribadah), jika niatnya riya', maka pahalanya bisa gugur atau berkurang.


Kebaikan yang Hakiki vs. Kebaikan untuk Pertunjukan

Syariat memandang bahwa tindakan baik seperti membantu pasangan, mengasuh anak, atau berbuat kebaikan kepada sesama adalah hal yang sangat dianjurkan. Bahkan, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering membantu pekerjaan rumah tangganya sendiri.


Namun, yang menjadi masalah dalam fenomena "performative male" adalah pergeseran fokus dari kebaikan itu sendiri menjadi pencitraan. Islam mendorong umatnya untuk menjadi pribadi yang baik secara menyeluruh, baik di hadapan publik maupun saat sendirian.


Di sisi lain, apabila diniatkan untuk kebaikan seperti meningkatkan kepekaan sosial dalam diri kita, maka sebenarnya menunjukkan performa yang baik di hadapan publik bukanlah sebuah aib, bahkan justru dianjurkan oleh syariat. Syekh Al-Bajuri dalam sebuah tulisannya menjelaskan bahwa hal tersebut bukan bagian dari kesombongan:


ูุงู„ุชุฌู…ู„ ุจุงู„ู…ู„ุงุจุณ ูˆู†ุญูˆู‡ุง ู„ูŠุณ ูƒุจุฑุง ููŠ ุงู„ุตู„ูˆุงุช ูˆุงู„ุฌู…ุงุนุงุช ูˆููŠ ุญู‚ ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ู„ุฒูˆุฌู‡ุง ูˆููŠ ุญู‚ ุงู„ุนู„ู…ุงุก ู„ุชุนุธูŠู… ุงู„ุนู„ู… ููŠ ู†ููˆุณ ุงู„ู†ุงุณ ูˆูŠูƒูˆู† ูˆุงุฌุจุง ููŠ ูˆู„ุงุฉ ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ูˆุบูŠุฑู‡ู… ุฅุฐุง ุชูˆู‚ู ุนู„ูŠู‡ ุชู†ููŠุฐ ุงู„ูˆุงุฌุจ


Artinya, "Tampil bagus dengan pakaian dan semacamnya bukanlah kesombongan, dalam shalat, dalam berjamaah, (berpenampilan menarik) bagi perempuan terhadap suaminya, ulama terhadap umatnya demi menjaga wibawa ilmu di hati umat, dan menjadi wajib bagi penguasa dan yang lainnya bila eksekusi yang wajib itu bergantung pada dirinya," (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Jakarta: Darul Ihyail Kutubil Arabiyyah: tt], h. 123).

 

Dari kacamata syariat, fenomena "performative male" di media sosial menunjukkan bahwa tindakan baik saja tidak cukup, niat di baliknya jauh lebih penting. Islam mendorong umatnya untuk berbuat kebaikan secara tulus dan ikhlas, tanpa mengharapkan pujian atau popularitas.


Melakukan pekerjaan rumah tangga, membantu pasangan, dan berbuat baik kepada sesama adalah perbuatan mulia yang seharusnya menjadi kebiasaan, bukan sebuah pertunjukan yang dibuat-buat. Wallahu a'lam.


Muhammad Ibnu Sahroji,ย atau Ustadz Ges