Tasawuf/Akhlak

Empat Catatan Bijak pada Tongkat Nabi Musa

Rab, 28 November 2018 | 13:45 WIB

Empat Catatan Bijak pada Tongkat Nabi Musa

Tongkat Nabi Musa semula hanya berfungsi sebagai tongkat penggembala biasa. Namun, atas izin Allah ia menjadi luar biasa.

Syekh M Nawawi Banten menceritakan bahwa panjang tongkat Nabi Musa AS mencapai sepuluh hasta. Tongkat ini bercabang dua. Tongkat ini merupakan salah satu bentuk mukjizat yang dianugerahkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS.
 
Tongkat Nabi Musa AS ini tersebut di dalam Al-Qur’an. Awalnya tongkat hanya berfungsi sebagai tongkat penggembala biasa, yaitu menggiring kambing. Tetapi berkat kuasa Allah, tongkat ini memiliki banyak fungsi yang membantu Nabi Musa AS dalam menghadapi kedurhakaan umatnya.
 
Konon tongkat Nabi Musa AS ini dapat menyala di kegelapan. Tentu saja hal ini sangat membantu Nabi Musa AS dalam menempuh perjalanan di malam hari.
 
Adapun catatan bijak tersebut terukir pada tongkat Nabi Musa AS. Catatan ini mengajarkan sikap wajar bagi penguasa, kaum ulama dan cendekia, orang kaya, dan orang miskin. Catatan itu secara lengkap dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah Barzanji berikut ini:
 
كل سلطان لا يعدل في سلطانه هو وفرعون سواء وكل عالم لا يعمل بعلمه هو وإبليس سواء وكل غني لا ينتفع بماله هو وقارون سواء وكل فقير لا يصبر على فقره هو والكلب سواء
 
Artinya, “Setiap penguasa yang tidak adil dalam kekuasaannya tiada bedanya dengan Firaun. Setiap ulama dan ilmuan yang tidak mengamalkan ilmunya tiada bedanya dengan Iblis. Setiap orang kaya yang tidak bermanfaat hartanya (bagi orang lain dan dirinya) tiada bedanya dengan Qarun. Setiap orang miskin yang tidak sabar atas kemiskinannya tiada bedanya dengan anjing,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Madarijus Shu’ud ila Iktisa'il Burud, [Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh: tanpa catatan tahun], halaman 33).
 
Semua catatan ini mendorong penguasa untuk bersikap adil, kaum terpelajar untuk tidak mengkhianati pengetahuannya, orang kaya untuk bersikap dermawan, dan orang miskin untuk bersikap sabar. Semua sikap proporsional itu diperlukan untuk menjaga kehidupan sosial dan politik yang sehat.
 
Sikap sabar di sini tentu saja bukan dalam pengertian pasif. Anjuran sabar itu bukan berarti menuntut orang miskin berdiam diri. Mereka yang miskin harus bergerak aktif untuk memperbaiki nasibnya di tengah kesabaran.
 
Yang jelas, sikap sabar di sini bermakna pengendalian diri agar tidak kalap di tengah kemiskinan. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)