Tasawuf/Akhlak

Tiga Jenis Kesombongan yang Terpuji

Sabtu, 6 November 2021 | 23:00 WIB

Tiga Jenis Kesombongan yang Terpuji

Kesombongan yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah sikap sombong seorang muslim di tengah medan perang dan ekspresi besar hatinya saat memberi sedekah

Definisi Sombong

Sombong atau pongah, dalam bahasa agama dikenal dengan al-kibr(u), al-istikbar(u), dan at-takabbur(u). Selain itu, agama juga mengenal tiga term antonim dari tiga di atas, yaitu at-tadzallul, at-tamalluq, dan at-tawadhu’ yang muara maknanya adalah tentang kerendahan walaupun tidak digunakan dalam konteks yang sama.


Seperti kata tamalluq, yang digunakan ketika sedang mengambil perhatian ataupun simpati orang. Entah untuk hal positif atau negatif yang lumrah kita terjemah dengan “menjilat”.


Terkait makna terminologinya, Abu Sa’id Al-Khadimi dalam Bariqah Mahmudiyyah fi Syarhi Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyah (juz II, halaman 185) menyampaikan:


الْكِبْرُ هُوَ الِاسْتِرْوَاحُ) طَلَبُ الرَّاحَةِ (وَالرُّكُونُ) الْمَيْلُ (إلَى رُؤْيَةِ النَّفْسِ فَوْقَ الْمُتَكَبَّرِ عَلَيْهِ) فِي صِفَاتِهَا الْكَمَالِيَّةِ فَيَحْصُلُ مِنْ رُؤْيَتِهَا فَوْقَهُ فِي قَلْبِهِ اعْتِدَادٌ وَفَرَحٌ وَهُوَ الْكِبْرُ


Artinya, “Sombong adalah satu kondisi saat kita merasa senang dan nyaman melihat diri kita di atas orang lain (mutakabbar ‘alaih) dalan kaitannya dengan kelebihan yang diberi Tuhan sehingga dengan mengetahui orang lain di bawah kita, hati ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan serasa sedang melayang, terbang karena bahagia.”


Sifat ini sungguh sangat tercela. Mengingat, dengan kepongahan hati, seorang hamba yang hina dina sejatinya sedang memosisikan dirinya setara Tuhan sang maha mulia dan tiada cela. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا * كُلُّ ذٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهٗ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوْهًا


Artinya, “Janganlah kau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sungguh kau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung. Semua itu kejahatannya sangat dibenci di sisi Tuhanmu.” (Surat Al-Isra’ ayat 37-38).


Keangkuhan yang Tetap Terpuji

Secara umum, sifat angkuh itu memang tidak baik, bahkan amat tercela. Namun terkadang, dalam beberapa kondisi ia bisa terpuji. Keangkuhan bisa totalitas berubah menjadi amal baik laiknya sifat rendah hati. Di mana, kerendahan hati ini diposisikan sebagai barometer tingginya pemahaman seseorang mengenai kehidupan, keragaman, agama dan seterusnya. 


Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menyanjung sifat mulia ini. Ia bersabda:


إذَا تَوَاضَعَ الْعَبْدُ رَفَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى إلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ


Artinya, “Bila seorang merendah hati, Allah pasti akan mengangkat derajatnya sampai langit ketujuh.” (Bariqah Mahmudiyyah, [juz II, halaman 185]).


Berikut imam Abu Sa’id Al-Khadimi menjelaskan tiga contoh kesombongan yang dipuji agama:


Pertama, sombong kepada orang yang sombong. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa bersikap angkuh kepada mereka yang angkuh adalah bagian dari sedekah.


Alasannya, kalau saja terus merendah di hadapan orang-orang congkak, maka mereka akan semakin berlarut-larut dalam gelap kecongkaannya. Namun, bila dibenturkan dengan kecongkaan yang lebih besar, mereka akan sadar bahwa dirinya tak sesempurna yang dipikirkan. Lagi pula, membiarkan mereka larut lebih jauh dalam kecongkaan, adalah satu kezaliman besar.


Imam Abu Hanifah berpandangan:


أَظْلَمُ الظَّالِمِينَ مَنْ تَوَاضَعَ لِمَنْ لَا يَلْتَفِتُ إلَيْهِ وَقِيلَ قَدْ يَكُونُ التَّكَبُّرُ لِتَنْبِيهِ الْمُتَكَبِّرِ لَا لِرِفْعَةِ النَّفْسِ فَيَكُونُ مَحْمُودًا كَالتَّكَبُّرِ عَلَى الْجُهَلَاءِ وَالْأَغْنِيَاءِ


Artinya, “Orang yang paling zalim adalah mereka yang tetap merendah bahkan kepada orang yang berpaling congkak darinya. Mengingat, seperti yang pernah dikatakan bahwa sikap sombong itu tak mesti karena tinggi hati, tapi kadang dalam maksud untuk mengingatkan yang lain. Kalau demikian, sombong kepada orang yang congkak jelas terpuji. Seperti bersikap sombong di hadapan orang-orang bodoh yang keras kepala dan para hartawan kaya raya yang membusung dada.” (Bariqah Mahmudiyyah [juz II, hal. 186])


Kedua, sombong di tengah kecamuk perang. Tujuannya, yaitu menggentarkan hati dan memporak-porandakan kekuatan pasukan lawan.


Ketiga, bersikap tinggi hati saat bersedekah. Maksud tinggi hati di sini adalah Mengungkapkan bahwa dirinya tidak membutuhkan materi yang akan disedekahkan, dan sang penerima lah yang paling membutuhkan hal itu.


Ini bertujuan agar si penerima tanpa berat hati mengambil materi yang diberikan kepadanya. Dengan begitu, si penerima tentu sangat bahagia luar biasa, kebutuhannya terpenuhi tanpa goresan rasa ketidaknyamanan di hatinya. 


Beda lagi ceritanya, bila bersedekah dengan penuh ketawadukan. Misalnya mengatakan, ‘Saya termasuk orang yang tak terlalu kaya, punya banyak kebutuhan juga seperti jenengan, tapi tidak masalah, saya akan sedekahkan ini ke jenengan, mohon diterima’. Tawaduk dalam hal ini tidak dibenarkan. Karena berpotensi besar akan menyinggung perasaan si penerima dan tentu akan berat menerima pemberian tersebut.


Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu pernah meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:


فَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ تَعَالَى فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ نَفْسَهُ عِنْدَ الْقِتَالِ وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَ الصَّدَقَة


Artinya, “Kesombongan yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah sikap sombong seorang muslim di tengah medan perang dan ekspresi besar hatinya saat memberi sedekah.”


Semoga tulisan ini berkah dan manfaat. Waallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.