Ini Kewajiban yang Tak Bisa Diqadla
NU Online ยท Jumat, 13 April 2018 | 16:15 WIB
Syekh Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmah berikut ini membedakan dua jenis kewajiban dari Allah untuk manusia:
Artinya, โAda jenis tuntutan kewajiban pada waktu tertentu yang bisa diqadha. Tetapi ada jenis tuntutan kewajiban yang tak mungkin diqadha.โ
Syekh Syarqawi mengulas lebih jauh masalah ini. Menurutnya, tuntutan kewajiban yang bersifat ibadah batin menyesuaikan dengan kondisi riil masing-masing orang. Setiap kali mendapat nikmat, seseorang dituntut untuk bersyukur. Pada saat diuji dengan sebuah musibah, seseorang harus bersabar.
Ketika berhasil memenuhi panggilan Allah terkait sebuah ibadah, seseorang dilarang untuk menyombongkan diri dan merendahkan orang lain yang tidak beribadah. Mereka yang berkesempatan menunaikan ibadah tertentu dituntut untuk melihat karunia Allah berupa bimbingan-Nya untuk menunaikan ibadah tersebut.
Adapun mereka yang terlanjur terperosok di lubang maksiat dilarang untuk berputus asa. Mereka dituntut untuk meminta ampun dan bertobat kepada Allah sebagai keterangan berikut ini:
Artinya, โJenis tuntutan itu merupakan suasana yang hinggap di batin manusia dari Allah. Setiap momentum manusia adalah suasana yang menyelimuti batinnya. Momenum manusia hanya empat, tidak lebih. Nikmat, musibah, ketaatan, dan maksiat. Semua itu dinamai momentum karena semuanya hadir pada momentum tertentu untuk penamaan sesuatu melalui nama moementumnya. Tuntutan yang wajib kautunaikan adalah ibadah batin sesuai tuntutan momentumnya. Tuntutan Allah terhadapmu ketika menerima nikmat adalah pujian dan syukur; ketika mendapat musbiah adalah sabar dan ridha; ketika menyelesaikan ibadah adalah memandang karunia-Nya pada ibadah tersebut; dan ketika terjerumus dalam maksiat adalah meminta ampun dan tobat,โ (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Semarang, Toha Putra: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 37).
Hanya orang-orang saleh dan para sufi yang disiplin menjaga adab โwaktuโ. Mereka tepat waktu dalam bersyukur. Mereka mengerti momentum dalam bersabar. Mereka sadar diri ketika berkesempatan menjalani panggilan Allah. Mereka tahu benar kapan harus bertobat. Mereka ini yang layak disebut sebagai anak zamannya.
Artinya, โPara ulama mengatakan bahwa sufi adalah anak zamannya. Maksudnya, sufi itu menjalankan adab waktu dan menunaikan hak waktu tersebut sebagaimana anak berโ (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Semarang, Toha Putra: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 37).
Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang menunaikan perintah Allah tepat waktu. Semoga Allah memberikan bimbingan-Nya di setiap nafas kita. Wallahu aโlam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
6
Sunnah Puasa Ayyamul Bidh di Pertengahan Bulan Dzulhijjah 1446 H Hari Ini dan Esok
Terkini
Lihat Semua