Tasawuf/Akhlak

Islam Melarang Umatnya Mencaci Maki dan Memfitnah di Media Sosial

Kam, 10 Juni 2021 | 00:45 WIB

Islam Melarang Umatnya Mencaci Maki dan Memfitnah di Media Sosial

Ilustrasi media sosial. (Foto: NU Online)

Perkembangan teknologi informasi membawa kita pada peradaban media sosial yang kini begitu digandrungi masyarakat Indonesia, khususnya pelajar. Para pelajar dan pemuda merupakan elemen masyarakat yang paling banyak menggunakan media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Konten-konten atau isi yang beredar di media sosial baik berupa berita, foto, dan status tidak ada yang mampu menyaring selain diri kita sendiri. 


Penyaringan ini dilakukan karena isi unggahan di media sosial tidak semuanya positif, bahkan mempunyai kecenderungan negatif dengan melimpahnya berita dan foto-foto palsu atau hoaks. Bahkan, caci maki dan fitnah dari satu orang ke orang lain merupakan pemandangan sehari-hari yang kita temui di media sosial. Padahal, secara tegas Islam sendiri melarang kepada umatnya untuk melakukan caci maki dan fitnah.


Sikap santun dalam berdialog, lemah lembut dalam berbicara, halus dalam penyampaian pesan, merupakan jalan tengah yang membuat orang lain simpati apalagi kita sebagai seorang pelajar yang tentu memiliki predikat sebagai orang terpelajar. Karena hati yang bercerai berai dan pendapat yang berbeda dapat terangkul dengan harmonis walaupun beda keyakinan, dan lain-lain.


Allah –Subhanahu wa Ta’ala– berpesan kepada Nabi Musa dan Harun –’alaihimassalam:


فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى [ طه/ 44]


“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia menjadi sadar atau takut.” (QS. Thaha: 44)

 


Ibnu Katsir rahimahullah ketika mengomentari ayat ini berkata, ada pelajaran sangat berharga yang dapat dipetik dari ayat di atas, yaitu bahwa Fir’aun yang terkenal keangkuhan dan arogansinya, sementara Musa alaihissalam sebaik-baik manusia pilihan Allah saat itu, namun demikian Allah memerintahkannya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan perkataan yang santun dan lemah lembut.


Kata-kata cacian hanya mengundang malapetaka, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Cacian tidak akan menghadirkan kembali orang yang kabur dan tidak akan membuat simpati orang yang berkepala batu, justru hanya menanamkan rasa dendam di hati dan membuat orang yang berseberangan semakin nekat dan keras kepala. Bahkan, sudah banyak orang yang berurusan dengan polisi akibat memfitnah dan mencaci maki orang lain di media sosial.


Bila menghujani orang yang tidak sependapat dengan makian, kecaman dan kutukan, maka hal itu akan semakin memperkeruh persoalan dan memperparah penyakit. Oleh karena itu, bila menyampaikan nasihat, hendaknya dengan cara yang tidak membuat orang lain kabur, dan bila berdebat, berdebat dengan cara yang santun tanpa merendahkan lawan bicara.


Orang yang rendah moralnya, kotor tutur katanya, suka merendahkan martabat sesama, pengumpat orang lain, pelontar tuduhan terhadap orang tak berdosa, suka menyerang orang-orang yang baik, pengecam dan pengutuk, semua ucapannya hanya umpatan dan cacian, sungguh ia tidak pantas disebut sebagai Muslim yang bijak karena Rasulullah SAW sendiri selalu memberikan teladan terbaik bagi umatnya. 


Begitu terjadi peristiwa di tengah masyarakat, langsung mereka tangkap intensitas beritanya -entah tempat kejadian peristiwa itu dekat atau jauh-, mereka segera meluncur ke jaringan internet untuk menjadikan peristiwa itu sebagai alasan pelampiasan cacian dan umpatan.

 


Mereka bergegas mencari situs-situs media sosial; maka dari kalangan mereka muncul-lah penuduh, pengecam, pencaci, pengutuk dan pengumpat kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah, namun sayangnya amat sedikit golongan ini.


لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ


“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang kotor omongannya”.


Manusia yang suka mencela, mengutuk, mengejek dan berkata keji, bukanlah tipe manusia beriman. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah pencela, pengecam dan pengutuk. Sabda beliau:


إنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً


“Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, tetapi aku diutus hanyalah sebagai rahmat.”


Beliau pun bersabda:


سِبَابُ المسْلِمِ فُسُوْقٌ


“Mencaci maki seorang Muslim adalah suatu kefasikan”.

 

 


Dalam riwayat lain disebutkan:


اَلْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ


“Dua orang yang saling memaki adalah seperti dua setan yang saling menjatuhkan dan mendustakan lawannya”.


قَالَ جَابرٌ بن سليْم رَضيَ اللهُ عَنْه : قُلْتُ: اعْهَدْ إِلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: «لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا» قَالَ: فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ

حُرًّا، وَلَا عَبْدًا، وَلَا بَعِيرًا، وَلَا شَاةً، رواه أبو داود


Jabir Bin Salim –radhiyallahu ‘anhu– bercerita, “Aku berkata, “Buatlah ikatan perjanjian denganku Ya Rasulallah!” beliau lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau memaki orang lain”. Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang pun, baik ia berstatus orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan kambing”. (HR Abu Dawud). (Fathoni Ahmad)