Larangan Justifikasi Kebakaran California sebagai Azab
Senin, 20 Januari 2025 | 15:15 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Kebakaran yang melanda California tentu saja merupakan musibah yang menyisakan duka bagi warga di sana. Kerugian materi yang besar, kerusakan lingkungan yang signifikan, serta kehilangan jiwa yang tak tergantikan menjadikan bencana ini salah satu peristiwa yang memilukan.
Namun menariknya, respons masyarakat terhadap bencana ini sangat beragam. Salah satu sisi yang menonjol adalah krisis kemanusiaan dan empati yang muncul dalam bentuk sikap sebagian orang. Beberapa individu misalnya, menunjukkan rasa senang dengan menyebut kejadian ini sebagai azab bagi Amerika.
Anggapan ini muncul dari persepsi bahwa negara adidaya tersebut dianggap mendukung penjajahan atas Palestina. Dengan kezaliman yang terjadi di Palestina, sebagian orang mengaitkan musibah kebakaran ini sebagai bentuk 'pembalasan' dari Allah atas perbuatan mereka.
Padahal sebagai manusia, kita tidak dapat mengetahui secara pasti hakikat kehendak Allah. Bisa jadi, persepsi-persepsi yang kita simpulkan hanyalah hasil dari tafsiran pribadi terhadap teks-teks dalam Islam, baik Al-Qur'an maupun hadits, yang sering kali dipengaruhi oleh emosi.
Baca Juga
Doa-Doa agar Selamat dari Kebakaran
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendukung penjajahan atas Palestina. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk mengingatkan bahwa kita tidak memiliki hak untuk menentukan apakah suatu peristiwa merupakan azab dari Tuhan atau bukan. Penentuan itu sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah, berada dalam kuasa-Nya, dan hanya Dia yang mengetahuinya secara mutlak.
Memang, jika kita merujuk pada karya-karya ulama klasik mengenai tema “Apakah boleh merasa senang atas musibah yang menimpa musuh Islam?”, kita akan menemukan adanya pandangan yang membolehkan dalam konteks tertentu. Misalnya ayat Al-Ahzab ayat 9:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَاۤءَتْكُمْ جُنُوْدٌ فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا وَّجُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَاۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرًاۚ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara (malaikat) yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
At-Thabari menjelaskan ayat, “Nikmat yang Allah anugerahkan kepada kelompok kalian itu terjadi ketika kaum Muslimin bersama Rasulullah saw dikepung pada hari-hari perang Khandaq.
“Ketika datang kepada kalian bala tentara...”. Bala tentara itu adalah sekutu dari berbagai kelompok: Quraisy, Ghathafan, dan Yahudi Bani Nadhir.
“Lalu Kami mengirimkan kepada mereka angin...”, yakni angin yang disebutkan sebagai angin timur (shaba).” (Jami’ul Bayan, [Beirut, Muassasatur Risalah: 2000], jilid XX, halaman 214).
Berdasarkan ayat dan penjelasan At-Thabari, mengaitkan rasa gembira atas musibah yang menimpa suatu komunitas atau kelompok yang dianggap sebagai ‘musuh Islam’ di masa kini tidaklah tepat.
Ayat memiliki konteks khusus, yakni peristiwa Perang Khandaq yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw. Perang tersebut bukanlah perang biasa, melainkan dilakukan berdasarkan wahyu yang menjadi landasannya. Karena itu, kegembiraan atas kekalahan musuh di Perang Khandaq merupakan bentuk rasa syukur atas peristiwa yang telah ditetapkan oleh wahyu kepada Rasulullah.
Adapun situasi di masa kini jelas berbeda. Kita tidak memiliki dasar untuk menjustifikasi bahwa suatu negara atau komunitas adalah ‘musuh Islam’ sebagaimana yang terjadi di masa Nabi saw. Tidak ada penurunan wahyu yang dapat memastikan apakah suatu musibah adalah azab atau bukan, sebagaimana dahulu konfirmasi semacam itu dapat diketahui melalui dialog antara Allah dan Rasul-Nya.
Misal lainnya adalah, hadits yang diriwayatkan dan diceritakan langsung oleh sahabat Anas bin Malik ra, yaitu:
مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَجَبَتْ» ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: «وَجَبَتْ» فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: «هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ
Artinya: “Orang-orang lewat membawa satu jenazah, mereka memujinya dengan kebaikan. Maka Rasulullah bersabda, ‘Wajabat.’ Kemudian lewat lagi orang-orang membawa satu jenazah, mereka mencelanya dengan kejelekan. Maka Rasulullah bersabda, ‘Wajabat.’
Sahabat Umar bin Khathab berkata, ‘Apa yang wajib, wahai Rasul?’ Rasulullah bersabda, ‘Jenazah ini yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga. Sedangkan orang ini yang kalian cela dengan kejelekan wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi’.” (HR Al-Bukhari).
Pada hadits di atas, para sahabat memberi kesaksian pada para jenazah, dan Nabi saw pun mengonfirmasinya. Terdapat konfirmasi berlandaskan wahyu dalam penilaian para sahabat, yaitu sosok Nabi yang hadir di tengah-tengah mereka.
Berdasarkan hal tersebut Ad-Dihlawi menegaskan, meskipun umat Islam itu ‘saksi Allah’ di muka bumi, namun jangan sembarangan menjustifikasi. Ia mengungkapkan:
“Namun, perlu diingat bahwa sabda Nabi: “Kalian adalah saksi Allah” secara zahirnya menunjukkan bahwa jika kaum mukminin memberikan kesaksian kebaikan atau keburukan terhadap seseorang, maka hal itu secara pasti menetapkan apa yang mereka saksikan. Namun demikian, yang dimaksud di sini adalah kaum mukminin yang jujur dan bertakwa, tanpa adanya motif atau tujuan yang bersifat pribadi, khususnya jika mereka adalah orang-orang yang disepakati kebaikannya.” (Lam’atut Tanqih, [Damaskus, Darun Nawadir: 2014], jilid IV, halaman 140).
Kemudian, jika kita merujuk pada literatur klasik, rasa gembira atas kematian atau musibah yang dialami oleh lawan ideologi juga pernah terjadi. Namun, perlu ditekankan bahwa rasa gembira atas musibah yang menimpa lawan ideologi, apabila didasarkan semata-mata pada perbedaan ideologi, tentu saja tidak manusiawi dan tidak berempati.
Kecuali, jika tokoh tersebut dikenal sangat zalim dan mengekang masyarakat, maka wajar apabila rasa gembira muncul, karena hal itu dianggap sebagai pembebasan dari seorang pemimpin yang mengekang mereka.
Sebagai contoh, Al-Khatib Al-Baghdadi pernah menceritakan tentang Al-Hasan bin Bazdan At-Turki, salah satu pemimpin besar Baghdad yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Namun, ia dikenal sebagai seorang Rafidhi yang keji dan fanatik terhadap kelompok Rafidhah. Fanatismenya terhadap kelompok tersebut menjadi salah satu sebab permusuhannya dengan Ahlussunnah.
كان من أكابر أمراء بغداد المتحكمين في الدولة ولكنه كان رافضيا خبيثا متعصبا للروافض وكانوا في خفارته وجاهه حتى أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة منها ودفن بداره ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحا شديدا وأظهروا الشكر لله فلا تجد أحدا منهم إلا يحمد الله فغضب الشيعة من ذلك ونشأت بينهم فتنة بسبب ذلك
Artinya, “Ia adalah salah satu pemimpin besar Baghdad yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan. Namun, ia dikenal sebagai seorang Rafidhi yang keji dan fanatik terhadap kelompok Rafidhah. Kelompok tersebut berada dalam perlindungan dan kekuasaannya hingga Allah memberikan kelegaan kepada kaum Muslimin darinya pada tahun ini, di bulan Dzulhijjah. Ia dimakamkan di rumahnya, kemudian dipindahkan ke pemakaman Quraisy. Segala puji dan karunia hanya milik Allah.”
“Ketika ia meninggal, kaum Ahlus Sunnah merasa sangat gembira atas kematiannya dan secara terang-terangan menyampaikan rasa syukur kepada Allah. Tidak ada seorang pun dari mereka kecuali memuji Allah atas kejadian itu. Namun, hal tersebut membuat kaum Syiah marah, dan akhirnya menimbulkan fitnah di antara mereka akibat peristiwa tersebut.” (Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikhul Baghdad, [Beirut, Maktabah al-Ma’arif, t.t.], jilid XII, halaman 272).
Jika kita melihat fenomena di atas, permusuhan sektarian yang pernah terjadi di masa lalu sering kali dipicu oleh fanatisme berlebihan terhadap ideologi tertentu. Konflik ini tidak jarang memicu ancaman yang serius, bahkan peperangan, yang akhirnya merugikan seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Pada masa lalu, identitas sektarian sering dijadikan alasan untuk memicu ketegangan, yang kemudian diperkuat oleh perebutan kekuasaan dan pengaruh politik. Namun, di era sekarang ini, sikap seperti itu sudah tidak relevan lagi. Dunia telah berubah, dan tantangan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks, melampaui sekat-sekat ideologi atau keyakinan.
Saat ini, kita justru berada pada masa yang menuntut masing-masing kelompok untuk saling berdamai, menghormati perbedaan, dan bekerja sama demi kemajuan bersama. Konflik sektarian yang berbasis pada perbedaan ideologi hanya akan memperburuk kondisi dan menghambat upaya kolektif untuk memakmurkan bumi serta menjaga perdamaian dunia.
Sebaliknya, kolaborasi lintas ideologi yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan universal dapat menjadi pondasi kuat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Dengan menghentikan sikap saling mencela dan membenci, kita bisa mengarahkan energi bersama untuk menghadapi tantangan global seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan konflik bersenjata.
Selanjutnya, ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam memberikan pandangan moderat mengenai sikap manusia terhadap musibah yang menimpa musuh. Menurutnya, rasa gembira atas musibah yang dialami oleh musuh tidak mencerminkan akhlak yang mulia jika hanya didasarkan pada kebencian semata.
Namun, jika kegembiraan tersebut muncul karena merasa lega telah terbebas dari ancaman atau kezaliman yang selama ini dilakukan oleh musuh, maka hal itu adalah respons yang manusiawi dan dapat dimaklumi. Sikap seperti ini menekankan pentingnya membedakan antara kebencian pribadi yang tidak beralasan dengan kelegaan atas terciptanya keamanan dan keadilan. Beliau berkata:
قلت: إن فرح بكونه عصى الله فيه فبئس الفرح فرحه، وإن فرح بكونه خلص من شره، وخلص الناس من ظلمه وغشمه، ولم يفرح بمعصية الله بقتله، فلا بأس بذلك، لاختلاف سببي الفرح
Artinya, “Aku menjawab: Jika seseorang merasa senang karena tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap Allah, maka sungguh buruk kegembiraannya.
Namun, jika ia merasa senang karena telah terbebas dari kejahatan musuh tersebut, dan orang-orang juga terbebas dari kezaliman serta kekejamannya, tanpa merasa gembira atas dosa yang terjadi dalam pembunuhannya, maka tidak ada masalah dengan kegembiraan tersebut, karena alasan kegembiraannya berbeda.” (Bayan Ahwalin Nas yawmal Qiyamah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], halaman 28).
فإن قال: لا أدري بأي الأمرين كان فرحي؟ قلنا: لا إثم عليك، لأنَّ الظاهر من حال الإنسان أنه يفرح بمصاب عدوّه لأجل الاستراحة منه والشماتة به لأجل المعصية، ولذلك يتحقق فرحه وإن كانت المصيبة سماوية
Artinya, “Jika seseorang bertanya, ‘Saya tidak tahu alasan mana yang membuat saya merasa senang?’
Maka kami menjawab: ‘Tidak ada dosa bagimu, karena pada dasarnya manusia cenderung merasa senang ketika musuhnya tertimpa musibah, disebabkan oleh perasaan lega karena terbebas darinya atau kepuasan karena musuh tersebut mendapatkan balasan. Oleh karena itu, kegembiraan tersebut wajar terjadi, bahkan jika musibah tersebut datang sebagai ketentuan dari Allah’.” (Izzuddin, 28).
Berbicara tentang kebakaran di California, penting untuk tidak terburu-buru menghakimi bahwa peristiwa tersebut adalah azab dari Allah, terlebih jika justifikasi itu didasarkan pada perbedaan keyakinan atau agama.
Saat ini bukanlah waktu untuk berperang atau bermusuhan atas nama agama, melainkan untuk mempererat kemanusiaan dan saling tolong-menolong. Jangan biarkan ego beragama membuat kita merasa paling benar hingga menganggap orang yang berbeda pendapat layak diazab. Allah berfirman:
فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰىࣖ
Artinya, “Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32).
Menentukan apakah suatu musibah adalah azab atau tidak merupakan hak prerogatif Allah semata. Sebagai makhluk, kita tidak memiliki kapasitas maupun wewenang untuk memberikan penilaian seperti itu. Hal ini selaras dengan yang dijelaskan oleh Syekh Al-Baijuri, bahwa Allah memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa saja bagi hamba-Nya. Ia berkata:
تجوز الله تعالى عقلا إثابة العاصي وتعذيب المطيع. وبالجملة فهو سبحانه وتعالى لا تنفعه طاعة ولا تضره معصية، والكل بخلقه، فليست الطاعة مستلزمة للثواب وليست المعصية مستلزمة للعقاب، وإنما هما أمارتان تدلان على الثواب لمن أطاع، والعقاب لمن عصى، حتى لو عکس دلالتهما بأن قال: من أطاعني عذبته، ومن عصاني أثبته لكان ذلك منه حسنًا، فلا حرج عليه، لا يُسئل عما يفعل، وهذا كله بحسب العقل
Artinya, “Allah Ta’ala secara hukum ‘aqli memungkinkan untuk memberi pahala kepada orang yang bermaksiat dan menghukum orang yang taat. Singkatnya, Allah swt tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan dan tidak pula dirugikan oleh kemaksiatan. Semua itu adalah ciptaan-Nya.
Karena itu, ketaatan tidak secara otomatis menjamin pahala, dan kemaksiatan tidak secara otomatis mengharuskan siksa. Keduanya hanyalah tanda yang menunjukkan adanya pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang bermaksiat.
Bahkan, jika tanda tersebut dibalik, seperti dengan mengatakan, “Siapa pun yang taat kepada-Ku, Aku akan menghukumnya, dan siapa pun yang bermaksiat kepada-Ku, Aku akan memberinya pahala,” maka hal itu tetap sah jika dilakukan oleh-Nya, dan tidak ada keberatan atas-Nya. Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Semua ini didasarkan pada hukum ‘aqli.” (Tuhfatul Murid, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2004], halaman 121).
Selain itu, jika ada yang merasa gembira atau melontarkan cacian terhadap korban kebakaran di California dengan alasan bahwa pemerintah Amerika mendukung penjajahan atas Palestina, sikap seperti itu juga tidak tepat.
Kita tidak tahu apakah warga yang menjadi korban kebakaran tersebut—baik yang kehilangan rumah maupun nyawa—terlibat langsung dalam kebijakan atau tindakan penjajahan tersebut. Kebijakan pemerintah tidak selalu mencerminkan karakter atau kehendak rakyatnya.
Terlebih kita tahu bahwa Rasulullah saw pernah berpesan untuk tidak mencemooh seseorang yang sedang ditimpa musibah, karena khawatirannya musibah tersebut malah ditimpakan balik kepada orang yang mencemooh.
Terlebih lagi, kita mengetahui bahwa Rasulullah pernah berpesan agar tidak mencemooh seseorang yang sedang ditimpa musibah, karena dikhawatirkan musibah itu justru akan berbalik menimpa orang yang mencemooh.
لا تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لِأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ
Artinya, “Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas musibah yang menimpa saudaramu, karena Allah mungkin akan mengasihinya dan menimpakan ujian kepadamu.” (HR At-Tirmidzi)
Menjustifikasi penderitaan mereka atau mencemooh musibah yang menimpa hanyalah sikap yang mempertegas kedangkalan empati. Sebagai manusia yang diajarkan nilai-nilai kebaikan, alangkah bijaknya jika kita merespons musibah dengan doa dan simpati, bukan dengan prasangka atau kebencian. Wallahu a’lam.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua