Menerapkan Tabayyun dan Nalar Kritis untuk Lawan Hoaks Pilkada
Selasa, 10 September 2024 | 09:30 WIB
Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Menerapkan tabayyun dan nalar kritis adalah kunci utama dalam menangkal hoaks yang sering kali mengiringi momentum Pilkada. Di tahun-tahun politik, arus informasi cenderung deras dan penuh dengan bias, membuat kita rentan terjebak dalam jebakan framing, fitnah, hingga berita palsu yang menyamar sebagai kebenaran.
Penyebaran hoaks tentu tidak terjadi tanpa tujuan. Dalam demokrasi, kekuatan politik didasarkan pada suara rakyat. Agar seorang kandidat memenangkan dukungan, masyarakat perlu diberi informasi yang relevan dan akurat untuk membuat keputusan yang tepat.
Namun, dalam ketatnya persaingan politik, tidak sedikit oknum yang memilih jalan pintas dengan menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan lawan. Strategi ini bertujuan menurunkan elektabilitas pesaing, sambil mendorong popularitas diri mereka sendiri.
Penggunaan hoaks untuk meraih keuntungan bukan hanya terjadi di politik. Dalam dunia bisnis, hubungan pertemanan, bahkan dalam keluarga, hoaks sering digunakan sebagai alat licik untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan. Tindakan ini jelas dilarang oleh hukum, seperti tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE, yang mengatur tentang larangan penyebaran informasi palsu yang memicu kerusuhan.
Oleh karena itu, menghadapi hoaks, terutama menjelang Pilkada, diperlukan nalar yang kritis. Dalam perspektif Islam, mereka yang mampu berpikir jernih dan tajam disebut sebagai Ulul Albab, yang senantiasa mencari kebenaran dan bertindak bijaksana berdasarkan pemahaman yang mendalam.
Gelar Ulul Albab tidak diberikan kepada seseorang hanya karena ia berakal, melainkan kepada mereka yang secara maksimal menggunakan akalnya untuk memahami, menganalisis, dan mendefinisikan segala sesuatu dengan bijak. Ulama terkemuka asal Suriah, Syekh Wahbah Zuhaili (w. 2015 M), dalam kitab tafsirnya menjelaskan:
إنما يفهم ويعقل ويتدبر المعاني على وجهها الصحيح أولو العقول السليمة، والفهوم المستقيمة
Artinya, “Hanyalah orang-orang yang memiliki akal yang sehat dan pemahaman yang lurus yang dapat memahami, merenungkan, dan memikirkan makna-makna dengan cara yang benar..” (Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikri, 1991], jilid III, halaman 154).
Akal yang dianugerahkan kepada manusia adalah alat yang luar biasa untuk berpikir dan memahami dunia. Namun, agar berfungsi secara optimal, akal harus digunakan secara maksimal. Jika akal hanya digunakan untuk berpikir tanpa kedalaman atau dasar yang kuat, maka fungsinya tidak jauh berbeda dari naluri hewani yang hanya merespons stimulus tanpa analisis.
Mendayagunakan nalar secara mendalam berarti tidak berhenti pada permukaan informasi. Ketika dihadapkan dengan informasi mentah—seperti yang tersebar di media sosial—seseorang dengan daya pikir kritis tidak akan langsung mempercayainya. Sebaliknya, mereka akan menelaah, menganalisis, dan mengkaji kebenaran informasi tersebut dengan teliti, sehingga tidak terjebak pada kesalahpahaman.
Memiliki daya kritis dan mendalam inilah yang termasuk dalam golongan Ulul Albab, orang-orang yang berakal seperti yang disebutkan dalam Al-Quran. Syekh Mutawalli As-Sya'rawi (w. 1998 M) menegaskan bahwa akal manusia diciptakan untuk menelusuri setiap persoalan secara mendalam, tidak hanya pada permukaannya.
Akal yang benar-benar berfungsi adalah akal yang mampu menggali esensi dan makna di balik segala sesuatu, bukan sekadar menilai apa yang tampak di permukaan. Beliau berkata:
يخبرنا الله أن العقل يحكم لب الأشياء لا ظواهر الأشياء وعوارضها، فهناك أحكام تأتي للأمر الظاهر، وأحكام للب
Artinya, “Allah memberi tahu kita bahwa akal seharusnya menilai inti dari segala sesuatu, bukan hanya permukaan atau hal-hal luarnya. Ada hukum-hukum yang diterapkan pada aspek yang tampak, dan ada juga hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan inti atau esensinya.” (Tafsir Asy-Sya’rawi, [Mesir: Akhbarul Yaum: 1991], jilid II, halaman 1284).
Penyebaran berita palsu juga pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Suatu hari, seorang sahabat bernama Harits bin Dhirar datang kepada Nabi dengan maksud mengajak kaumnya untuk memeluk Islam serta mengumpulkan zakat. Setelah kembali ke kaumnya, Harits pun mulai mengumpulkan zakat.
Namun, pada waktu yang sama, Nabi tidak segera mengirim utusan untuk mengambil zakat tersebut. Hal ini membuat Harits menyangka bahwa Nabi marah padanya, sehingga ia meyakinkan kaumnya bahwa Nabi, yang selalu benar, kali ini tidak mengirim utusan.
Di sisi lain, Nabi Muhammad sebenarnya telah mengutus Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat dari Harits. Namun, di tengah jalan, Walid kembali dan melaporkan kepada Nabi bahwa Harits menolak memberikan zakat dan bahkan ingin membunuhnya. Mendengar laporan ini, Nabi segera mengutus beberapa orang untuk mengonfirmasi kebenaran pernyataan Walid.
Setelah utusan Nabi bertemu dengan Harits, mereka menanyakan perihal tuduhan Walid. Harits dengan tegas bersumpah bahwa ia tidak pernah melakukan intimidasi terhadap Walid seperti yang dituduhkan.
Tidak lama kemudian, Harits menghadap Nabi langsung dan sekali lagi bersumpah atas nama Allah dan Rasul-Nya, menegaskan bahwa tuduhan yang beredar tidaklah benar. (Ahmad Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, [Dammam: Darul Ashlah: 1992], halaman 392).
Fenomena di atas menjadi sebab turunnya QS. Al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat:6)
Informasi palsu yang disampaikan oleh Walid dapat dikategorikan sebagai hoaks. Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, Nabi Muhammad segera melakukan tabayyun dengan Harits guna memverifikasi dan mencari kebenaran yang sesungguhnya. Menurut As-Syaukani, tabayyun artinya mengidentifikasi dan menyelidiki. (Asy-Syaukani, Fathul Qadir, [Beirut: Darul Kalam Thoyib, 1998], jilid V, halaman 71).
Relevansi dalam menangkal hoaks, terutama menjelang masa-masa politik, adalah masyarakat harus bersikap kritis dan melakukan tabayyun (verifikasi). Artinya, setiap berita yang diterima jangan langsung dinilai benar atau salah. Sebaliknya, informasi tersebut harus dikritisi dan diidentifikasi terlebih dahulu untuk memastikan validitasnya.
Melalui teladan Nabi Muhammad SAW dalam menangani informasi palsu, baik pihak otoritas maupun masyarakat dapat mengambil pelajaran dalam merespons hoaks. Nabi Muhammad sebagai pemegang otoritas melakukan penelusuran dengan memanggil Harits untuk mengonfirmasi informasi yang beredar.
Langkah di atas dapat dicontoh oleh pemerintah, yaitu dengan menyelidiki berita-berita yang beredar sebelum mengambil tindakan. Demikian pula dalam menghadapi hoaks, masyarakat harus bersikap kritis dengan melakukan riset, menyelidiki, dan memverifikasi berita yang ada agar tidak terjebak dalam disinformasi.
Kesimpulannya, sikap Islam dalam menangkal gelombang hoaks yang beredar dimulai dengan menggunakan nalar kritis ketika menemukan informasi, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur'an. Langkah berikutnya adalah melakukan tabayyun atau memverifikasi informasi untuk menemukan kebenaran. Wallahu a'lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah Izul, Alumni Az-Zahirul Falah Ploso dan Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin UNISMA
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua