Tasawuf/Akhlak

Pesan Imam Syafi‘i soal Jaga Ujaran

NU Online  ·  Jumat, 30 November 2018 | 10:30 WIB

Zaman sekarang ini ujaran kerap menjadi masalah antarindividu, sosial, politik tentu saja, pendidikan, dunia kesehatan, dan lain-lain. Pemerintah demi menjaga ketertiban umum membuat undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang juga berkaitan dengan ujaran.

Soal ujaran ini menarik perhatian Imam Syafi‘i. Syekh M Nawawi Banten mengutip perkataan ulama besar di bidang hukum ini yang mengajak masyarakat untuk tidak ceroboh dalam berujar. Menurut Imam Syafi‘i, seseorang harus menimbang gagasan sebelum diucapkannya.

إذا أراد أحدكم الكلام فعليه أن يفكر في كلامه فإن ظهرت المصلحة تكلم وإن شك لم يتكلم حتى تظهر

Artinya, “Jika kau ingin berbicara, maka kau harus menimbang ucapanmu. Jika itu mengandung maslahat, maka bicaralah. Tetapi jika kau ragu, maka tahan ucapanmu hingga kau benar-benar yakin itu akan mengandung maslahat,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah Qamiut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 11).

Pesan Imam Syafi‘i terkait menahan ujaran yang tidak layak secara etika ini dimasukkan oleh Syekh M Nawawi Banten ke dalam cabang-cabang keimanan dalam Islam. Ujaran dan keimanan memiliki hubungan yang sangat rapat sebagaimana sabda Rasulullah SAW riwayat Imam Bukhari berikut ini:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

Artinya, “ Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang beriman kepada Allah da hari akhir, maka jangan ia menyakiti tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah da hari akhir, maka muliakan tamunya. Siapa saja yang beriman kepada Allah da hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam,’” (HR Bukhari).

Al-Qur’an juga memberikan perhatian terhadap ujaran. Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa setiap ujaran yang keluar dari seseorang akan dicatat oleh malaikat khusus dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak.

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Artinya, “Tiada yang terucap pada perkataan selain padanya terdapat malaikat Raqib dan Atid,” (Surat Qaf ayat 18).

Walhasil, pertimbangan atas ujaran ini sangat diperhatikan dalam Islam. Pertimbangan ini menjadi sebuah keharusan karena ujaran tanpa pertimbangan berdaya rusak luar biasa atas hubungan antardividu, kelompok, dan lain sebagainya.

Tidak heran kalau Syekh M Nawawi Banten mengutip hadits Rasulullah SAW yang menyebut diam sebagai puncak kebijaksanaan. Sabda Rasulullah SAW bukan menganjurkan orang untuk selalu diam, tetapi mendorong ujaran yang sejalan dengan kemaslahatan.

أفضل أخلاق الإسلام الصمت حتى يسلم الناس

Artinya, “Akhlak yang paling utama dalam Islam adalah diam hingga orang lain selamat (dari ujarannya yang menyakitkan),” (Lihat Syekh M Nawawi Banten dalam Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 11). Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)