Tasawuf/Akhlak

Suara Kemanusiaan Rasulullah SAW dan Bukti Keimanan

NU Online  ·  Jumat, 23 November 2018 | 06:30 WIB

Syekh Zainuddin Al-Malibari menggubah syair perihal cabang-cabang keimanan yang karyanya kemudian dinamai Manzhumah Syu‘abil Iman. Ia menyebut salah satu cabang iman dalam Islam itu adalah semangat persaudaran atas dasar kemanusiaan tanpa memandang perbedaan latar belakangnya.

Ia menyebut siapa saja apa pun latar belakang agama, suku, warna kulit, dan golongannya bukan sebagai orang lain, tetapi sebagai bagian dari diri kita sendiri. Semangat persaudaraan atas dasar kemanusiaan ini dapat mengantarkan orang yang beriman ke dalam surga kelak di akhirat.

Syekh Zainuddin mengajak umat Islam untuk mencintai orang lain sebagai manusia sepenuh kita mencintai diri sendiri. Ia menyebut semangat persaudaraan kemanusiaan ini sebagai bukti keimanan seorang Muslim.

واحبب لناس ما تحب لنفسك # حتى تكون بجنة تتنعم

Artinya, “Cintailah manusia lain sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri/agar kau kelak mencecap kenikmatan surga,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Manzhumah Syu‘abil Iman pada Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 27).

Syekh M Nawawi Banten mengaitkan suara kemanusiaan yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dan hadits Rasulullah SAW riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Syekh Nawawi Banten dalam Qami‘ut Thughyan yang menjadi syarah Manzhumah Syu‘abil Iman mengutip hadits yang berisi semangat kemanusiaan sebagai bentuk kesempurnaan iman seorang Muslim.

أي الشعبة السابعة والسبعون أن تحب للناس ما تحب لنفسك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه رواه البخاري ومسلم

Artinya, “Cabang keimanan ke-77 adalah kecintaanmu terhadap orang lain sepenuh cintamu kepada dirimu sendiri. Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu sebelum kamu mencintai saudaranya seperti saudaranya sendiri,’ (HR Bukhari dan Muslim),” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 27).

Dari pemahamannya atas hadits Bukhari dan Muslim ini, Syekh M Nawawi Banten mengutip pandangan As-Suhaimi yang menggelorakan semangat persaudaraan di tengah umat Islam atas dasar kemanusiaan meski dengan pemeluk agama di luar Islam.

قال السحيمي في معنى هذا الحديث أي لا يكمل إيمان أحدكم حتى يحب لكل أخ ولو كافرا من غير أن يخص بمحبته أحدا دون آخر مثل ما يحب أن يحصل لنفسه من الطاعات والمباحات الدنيوية بأن تفعل معه ما تحب أن يفعله معك وتعامله بما تحب أن يعاملك به وتنصحه بما تنصح به نفسك وتحكم له بما تحب أن يحكم لك به وتحتمل أذاه وتكف عن عرضه وإذا رأيت له حسنة أظهرتها أو سيئة كتمتها انتهى

Artinya, “As-Suhaimi berkata perihal makna hadits tersebut, ‘Tidak sempurna keimanan salah seorang kamu sebelum ia mencintai saudaranya meski pun kafir tanpa membatasi kasih sayangnya untuk kelompok tertentu dan mengabaikan yang lain sebagaimana ketaatan dan banyak hal mubah duniawi lain yang dirinya terima, yaitu perlakuan baik, interaksi, nasihat, putusanmu terhadap mereka, tanggunganmu atas penderitaan mereka, dan penjagaan sikapmu atas kehormatan mereka sebagaimana kau senang kalau mereka memperlakukan, berinteraksi, memberi nasihat dan putusan terhadapmu dengan baik. Jika melihat kebaikannya, kau memperlihatkannya di muka umum. Tetapi jika melihat kekurangannya, kau menutupinya,’ selesai,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 27).

Semangat persaudaraan yang dibangun atas dasar kemanusiaan ini sejalan dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan keragaman agama, suku, ras, budaya, bahasa, golongan, dan aspirasi politik.

Semangat persaudaraan ini yang perlu dilestarikan oleh umat Islam di Indonesia dalam keseharian sebagai upaya penyempurnaan iman kepada Allah SWT. Semangat ini juga yang dapat menjaga keutuhan Indonesia dan kerekatan sosial sesama anak bangsa.

Oleh NU, semangat ini kemudian juga dikenal dengan tiga semangat persaudaraan, yaitu ukhuwwah Islamiyyah (saudara seiman), ukhuwwah wathaniyyah (saudara setanah air), dan ukhuwwah basyariyyah/insaniyyah (saudara sesama anak manusia). Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)