Tasawuf/Akhlak

Teladan Ibrahim bin Adham saat Kenaikan Harga Daging

Sen, 26 Februari 2024 | 19:00 WIB

Teladan Ibrahim bin Adham saat Kenaikan Harga Daging

Ilustrasi kenaikan harga daging sapi (freepik).

Kenaikan harga bahan pokok saat ini telah menjadi perhatian utama dan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat secara signifikan. Kenaikan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan penting tentang aksesibilitas terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

 

Kenaikan harga, sebagai tantangan ekonomi telah menjadi fenomena yang melekat dalam peradaban manusia sepanjang sejarah, termasuk dalam konteks peradaban Islam. Sebagai catatan penting bahwa setiap tokoh dari berbagai sudut pandang keilmuan dan keahlian memandang kenaikan harga dengan beragam sikap.


 

Misalnya saja, dalam tulisan ini kita melihat bagaimana Ibrahim bin Adham memandang kenaikan harga daging di masanya. 


 

Ibrahim bin Adham sendiri merupakan seorang tokoh sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Ia hidup pada abad ke-8 dan merupakan penguasa di Balkh, yang kemudian meninggalkan tahta kerajaannya untuk hidup sebagai seorang sufi. 


 

Ibrahim bin Adham dikenal karena tingkat kesederhanaan, kezuhudan, dan dedikasinya dalam mencari kebenaran spiritual. Kisah hidupnya sering diabadikan dalam literatur sufi sebagai teladan tentang meninggalkan dunia duniawi untuk mencari Allah dan mendalami makna kehidupan sejati.


 

Meskipun ia berasal dari keluarga kerajaan, Ibrahim bin Adham memilih jalur kehidupan yang bertujuan untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan meninggalkan semua kemewahan dunia.


 

Selain terkenal karena kezuhudannya, Ibrahim bin Adham terkenal sebagai orang yang wara’ atau berhati-hati dalam mencari sumber penghidupan. Ia mendapatkan makanan dari hasil bekerja sendiri dan sekuat mungkin menjauhi yang haram atau bahkan syubhat. 


 

Suatu hari Khalaf bin Tamim bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Sejak kapan kamu tinggal di wilayah Syam?”


 

“Sejak umur 24 tahun, dan aku tidak memilih Syam sebagai tempat tinggalku melainkan hanya untuk mencari sepotong roti yang halal”, jawab Ibrahim bin Adham. (Shaleh Ahmad As-Syami, Mawa’izh Ibrahim bin Adham, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1998], halaman 7).


 

Ibrahim bin Adham sebagai seorang sufi yang zuhud dan diteladani oleh masyarakat sering ditanya mengenai suatu fenomena dan peristiwa yang sedang terjadi, bahkan soal kenaikan harga daging. Al-Qusyairi pernah menulis dalam Ar-Risalah:
 

 

وقيل: لإبراهيم بْن أدهم: إِن اللحم قَدْ غلا , فَقَالَ: أرخصوه أي لا تشتروه، وأنشد فِي ذَلِكَ
وإذا غلا شَيْء عَلَي تركته ... فيكون أرخص مَا يَكُون إذ غلا

 

Artinya, “Dikatakan kepada Ibrahim bin Adham: “Harga daging telah melonjak."
“Ya sudah, jangan dibeli, biarkan saja.” Respons Ibrahim bin Adham, sembari melanjutkan perkataannya dengan sebuah syair:


 

“Andai suatu barang melonjak harganya, maka tidak perlu dibeli, # sehingga barang tersebut menjadi ‘yang paling murah’ daripada barang lainnya.” (‘Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darul Ma’arif], jilid I, halaman 36).


 

 

Sikap Ibrahim bin Adham dalam konteks ini mencerminkan sikap zuhud dalam menghadapi fenomena kenaikan harga. Sebagai seorang sufi yang menekankan kehidupan sederhana, tentu ia memilih tidak perlu pusing dengan fenomena harga daging yang naik kala itu.


 

Respons yang singkat serta syair yang diucapkannya seolah ingin menegaskan, bahwa dengan meninggalkannya, barang tersebut secara otomatis menjadi 'yang paling murah' karena tidak banyak diminati. Sikap ini mencerminkan kepatuhan pada prinsip-prinsipnya soal kezuhudan dalam kehidupan sehari-hari.


 

Beberapa orang mungkin menemukan relevansi dalam sikap ini, terutama mereka yang mengutamakan gaya hidup minimalis, anti pemborosan, atau berkomitmen pada prinsip-prinsip zuhud.


 

Hanya saja, relevansi sikap tersebut juga dapat dipertanyakan tergantung pada konteks dan kondisi ekonomi masyarakat. Dalam situasi di mana kenaikan harga barang pokok dapat memberikan dampak signifikan terhadap kebutuhan sehari-hari, sikap ini mungkin tidak selalu dapat diadopsi dengan mudah.


 

Beberapa orang lebih mempertimbangkan solusi yang dinilai praktis dan realistis untuk mengatasi tantangan ekonomi, seperti mencari alternatif yang lebih terjangkau atau mencari solusi bersama dalam masyarakat.


 

Kendati tidak realitis, sikap Ibrahim bin Adham dapat digarisbawahi sebagai sikap sufi yang sedang menapaki jalan zuhud dalam hidupnya, bukan sikap orang-orang pada umumnya.


 

Meski tidak realistis di mata banyak orang, sikap Ibrahim bin Adham dapat menjadi tindakan alternatif dalam beberapa kondisi, misalnya di saat kita tidak berada dalam situasi yang cukup butuh terhadap barang yang sedang melonjak harganya.


 

Selain itu, sikap sufi abad 8 ini dapat dicerminkan sebagai sikap rakyat secara individu. Adapun pemerintah, maka harus  lebih sigap menemukan solusi dan menentukan kebijakan terhadap kenaikan harga yang sedang terjadi saat ini.
 

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta