Larangan Membully Muallaf yang Punya Masa Lalu Kelam
Jumat, 14 Maret 2025 | 06:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Aktris film dewasa asal Jepang, Kae Asakura yang lebih dikenal sebagai Rae Lil Black, telah menjadi sorotan publik setelah ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Sejak akhir 2024, Rae mulai mendalami ajaran Islam dan membagikan perjalanannya melalui media sosial. Ia terlihat mengenakan hijab dan mengekspresikan antusiasmenya menyambut bulan suci Ramadhan. Namun, keputusannya ini mengundang berbagai reaksi dari masyarakat.
Beberapa warganet menyoroti masa lalunya sebagai bintang film dewasa dan meragukan ketulusan niatnya dalam memeluk Islam. Mereka bahkan menuduhnya menggunakan hijab hanya untuk konten semata. Menanggapi hal ini, Rae menegaskan bahwa niatnya tulus dan hubungannya dengan Tuhan adalah urusan pribadinya.
Melalui akun Tik Toknya, ia berkata, “Sejak awal Ramadhan, orang-orang berkomentar tentang dosa saya di masa lalu, mereka bilang dosa saya tidak akan pernah diampuni. Saya juga dibilang tidak benar-benar puasa. Pertama-tama, saya benar-benar berpuasa. Dan apa yang Islam ajarkan kepada saya adalah yang terpenting niat kita. Jadi apakah saya akan masuk surga atau tidak, atau apakah dosa saya diampuni atau tidak, itu bukan urusan kalian, itu urusan saya dengan Allah.”
Baca Juga
Sikap Rasulullah pada Fenomena Bullying
Beberapa reaksi publik terhadap keputusan Rae mencerminkan beragam pandangan masyarakat terhadap individu yang berusaha mengubah hidupnya. Sementara beberapa orang memberikan dukungan dan semangat, yang lain masih terfokus pada masa lalunya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum membully seorang mualaf yang baru masuk Islam dan memiliki masa lalu yang kelam? Mari kita bahas.
Larangan Membully dalam Islam
Islam dengan tegas melarang segala bentuk bullying, seperti menghina, mengejek, memaki, mengucilkan dan lainnya. Sebab, semua itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang. Menyakiti orang lain, baik secara fisik, verbal, maupun emosional, bukanlah akhlak seorang muslim sejati.
Setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan martabat, tanpa dihina atau direndahkan. Bullying tidak hanya melukai perasaan korban, tetapi juga mencerminkan keburukan akhlak pelakunya. Islam mengajarkan umatnya untuk saling menghormati, menjaga lisan, dan menebarkan kebaikan, bukan menyakiti atau merendahkan orang lain. Larangan ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.” (QS Al-Hujurat, [49]: 11).
Merujuk penjelasan Imam Abu Muhammad al-Baghawi (wafat 516 H) dalam kitabnya mengatakan bahwa ayat di atas berkaitan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas. Salah satu sahabat Rasulullah yang memiliki gangguan pendengaran. Karena itu, setiap kali ia datang ke majelis Rasulullah, para sahabat selalu memberinya ruang agar ia bisa duduk lebih dekat dan mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh Nabi.
Namun, suatu hari ia datang terlambat untuk shalat Subuh dan tertinggal satu rakaat. Setelah shalat selesai, para sahabat segera duduk di tempat masing-masing tanpa menyisakan ruang bagi yang datang di akhir. Tsabit pun berjalan ke arah Rasulullah melewati para sahabat sambil berkata, "Berilah ruang, berilah ruang." Mereka pun sedikit menepi hingga ia bisa mendekati majelis Nabi. Namun, masih ada seseorang yang duduk tepat di depannya.
Tsabit berkata, "Geserlah sedikit." Namun orang itu menjawab, "Engkau sudah mendapat tempat, maka duduklah." Merasa tidak dihormati seperti biasanya, Tsabit duduk di belakang dengan perasaan kesal. Selesai kegiatan bersama Rasulullah, ia menepuk pundak orang itu dan bertanya siapa namanya. Setelah disebutkan namanya, Tsabit menyebut ibunya dengan sebutan yang dulu menjadi celaan pada masa Jahiliyah. Orang itu pun tertunduk malu.
Sebab perbuatan membully itu, tidak lama kemudian turunlah ayat tentang larangan membully dan mengolok-olok orang lain. Karena mendapatkan teguran, Tsabit pun menyadari kesalahannya dan segera meminta maaf. (Tafsir Ma’alimut Tanzil, [Daru at-Thaibah: 1997 M, tahqiq: Muhammad Abdullah an-Namr], jilid V, halaman 343).
Sementara itu, menurut Imam Abu Ja’far at-Thabari, sebelum Allah swt menurunkan ayat tentang larangan membully dan mencemooh orang lain, orang-orang zaman dahulu biasa memanggil “Wahai Yahudi”, dan “Wahai Nasrani” kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang baru masuk Islam. Akhirnya, turunlah ayat tersebut sebagai larangan agar tidak mengolok dengan panggilan itu. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Makkah: Darut Tarbiyah wat Turats, t.t], jilid XXII, halaman 302).
Selain itu, Allah juga melarang umat Islam untuk saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Maksud memanggil mencela dan memanggil yang buruk dalam konteks ini memiliki makna yang luas, termasuk membully orang yang memiliki masa lalu kelam, sebagaimana dalam konteks pembahasan ini.
Termasuk dalam hal ini, tidak boleh hukumnya mencela dan membully orang-orang yang memiliki kisah kelam di masa lalunya, perbuatan tidak baik, dan dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Namun dengan kisah kelam itu, kemudian ia bertobat dan menempuh jalan yang benar. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Imam Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H) dalam salah satu kitabnya mengatakan:
التَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ أَنْ يَكُوْنِ الرَّجُلُ عَمِلَ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابَ مِنْهَا وَرَاجَعَ الْحَقَّ، فَنَهَى الله أَنْ يُعَيّرَ بِمَا سَلَفَ مِنْ عَمَلِهِ
Artinya, “(Maksud) Saling dengan julukan yang buruk adalah ketika seseorang pernah melakukan kejelekan, kemudian ia bertobat dirinya dan kembali pada kebenaran, maka Allah melarang mencelanya disebabkan perbuatannya yang telah berlalu.” (ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’tsur, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid VII, halaman 564).
Oleh sebab itu, sebagai umat Islam yang baik, tidak boleh hukumnya membully orang lain hanya karena mereka memiliki masa lalu yang kelam dan penuh kesalahan. Setiap orang berhak untuk bertobat dan memperbaiki diri, sebagaimana Islam selalu membuka pintu ampunan bagi siapa saja yang kembali pada kebenaran.
Membully orang lain karena masa lalu yang kurang baik tidak hanya dapat merusak hubungan baik antar sesama, namun juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati, saling mendukung, dan saling tolong-menolong dalam hal kebaikan, termasuk dalam membantu orang lain untuk berubah menjadi lebih baik.
5 Tips Hindari Membully
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H) dalam salah satu kitabnya menulis lima tips agar kita tidak mudah membully dan merendahkan orang lain dalam keadaan apa pun, baik hal itu kepada orang yang lebih tua, lebih muda, orang yang berbeda suku dan budaya, beda nasab, bahkan pada orang yang berbeda agama sekalipun. Berikut tips-tipsnya.
Pertama, ketika bertemu dengan seseorang yang masih kecil, maka katakanlah dalam hati: “Anak ini belum pernah bermaksiat dan mendurhakai Allah, sedangkan aku telah melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia baik dariku.”
Kedua, ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, maka katakanlah dalam hati: “Orang ini telah lebih dahulu beribadah kepada Allah sebelum aku melakukannya. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.”
Ketiga, ketika melihat orang yang berilmu, maka katakanlah dalam hati: “Dia telah diberi apa yang tidak aku miliki, telah mencapai apa yang belum aku capai, dan mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Bagaimana mungkin aku bisa menyamai dan lebih baik dirinya?”
Keempat, ketika bertemu dengan orang bodoh, maka katakanlah dalam hati: “Orang ini bermaksiat kepada Allah karena ketidaktahuannya, sedangkan aku bermaksiat dengan penuh kesadaran, maka tuntutan Allah kepadaku lebih kuat. Aku pun tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan bagaimana akhir hidupnya.”
Kelima, ketika bertemu dengan orang yang tidak seagama, maka katakanlah dalam hati bahwa tidak ada yang tahu akhir hayat setiap orang, bisa jadi ia akan masuk Islam dan semua dosa-dosanya diampuni oleh Allah, dan bisa juga kita akan tersesat dan mati dalam keadaan su’ul khatimah, naudzubillah. Imam al-Ghazali dalam kitabnya mengatakan:
وإن كان كافرا قلت: لا أدري، عسى أن يسلم ويختم له بخير العمل، وينسل بإسلامه من الذنوب كما تنسل الشعرة من العجين، وأما أنا - والعياذ بالله - فعسى أن يضلني الله فأكفر فيختم لي بشر العمل؛ فيكون غدا هو من المقربين، وأنا أكون من المبعدين
Artinya, “Jika bertemu dengan orang kafir, katakanlah: ‘Aku tidak tahu, mungkin saja Allah akan memberinya hidayah hingga ia masuk Islam, kemudian ia mengakhiri hidupnya dengan amal terbaik, dan ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana sehelai rambut yang dicabut dari adonan. Sedangkan aku, naudzubullah, mungkin saja Allah menyesatkanku hingga aku kufur dan mengakhiri hidupku dengan amal yang buruk. Maka, kelak mungkin saja dia menjadi orang yang didekatkan kepada Allah, sedangkan aku menjadi orang yang dijauhkan.” (Bidayatul Hidayah, [Kairo: Maktabah Madbuli, 1993], halaman 60).
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam secara tegas melarang segala bentuk bullying, sebagaimana ditegaskan melalui ayat Al-Qur’an dan penjelasan dari para ulama di atas. Lebih jauh, petuah dari al-Ghazali melalui lima tips mengingatkan setiap individu untuk selalu bersikap rendah hati dan tidak cepat menghakimi, baik terhadap anak-anak, orang yang lebih tua, orang berilmu, maupun mereka yang memiliki perbedaan pandangan atau keyakinan. Semua itu menegaskan bahwa penilaian akhir dan ampunan adalah urusan antara individu dengan Allah, dan tidak sepantasnya kita menyudutkan seseorang hanya berdasarkan masa lalunya. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah, Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua