Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Ukuran Kekayaan yang Ideal bagi Pengamal Tasawuf

Sen, 23 April 2018 | 12:15 WIB

Manusia membutuhkan harta untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Tetapi kepemilikan harta untuk sebagian orang terlalu melimpah sehingga harta itu membuatnya lupa diri. Sementara bagi sebagian orang harta yang ada di genggamannya tidak cukup memenuhi keperluan hidupnya hingga ia kurang tenteram beribadah. Lalu seperti apa idealnya kekayaan itu?

Syekh Ibnu Athaillah mengatakan bahwa jumlah harta atau besar kekayaan yang ideal adalah harta yang cukup untuk menutupi keperluan keseharian dan tidak membuat lupa diri. Demikian disampaikan Syekh Ibnu Athaillah berikut ini:

من تمام النعمة عليك أن يرزقك ما يكفيك ويمنعك ما يطغيك

Artinya, “Salah satu kesempurnaan nikmat Allah padamu adalah pemberian-Nya berupa sedikit harta yang cukup memenuhi keperluanmu dan banyaknya mencegahmu untuk melewati batas.”

Menjelaskan hikmah ini, Syekh Zarruq mengatakan bahwa harta yang ideal itu dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia secara riil. Tetapi saat yang bersamaan, harta itu mendukung seseorang untuk beribadah.

قلت يرزقك الكفاية فلا يشوشك بالفقد ويمنعك الزيادة لئلا يشغلك بالوجد بل تكون سالما من إقبالها وسالما من إدبارها

Artinya, “Menurut saya, Allah memberimu cukup harta sehingga kehilangannya tidak membuatmu resah. Ia juga tidak memberimu banyak harta sehingga keberadaannya tidak membuatmu bimbang. Dengan jumlah yang cukup kamu tetap selamat saat harta pergi dan datang,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, [Mesir, As-Syirkatul Qaumiyyah: 2010 M/1431 H], halaman 178).

Syekh Syarqawi menjelaskan bahwa harta dan kekayaan ideal itu adalah harta yang cukup, tidak lebih, tidak kurang. Banyak atau sedikit tidak masalah. Yang penting, harta sedikit tetap bisa memenuhi keperluan hidup dan harta banyak tidak membuat durhaka kepada Allah.

من تمام النعمة عليك أن يرزقك ما يكفيك) من غير زيادة ولا نقصان (ويمنعك ما يطغيك) أي يوقعك في الطغيان وهو كثرة المال.

Artinya, “Salah satu kesempurnaan nikmat Allah padamu adalah pemberian-Nya berupa sedikit harta yang cukup memenuhi keperluanmu) tidak lebih dan tidak kurang (dan banyaknya mencegahmu untuk melewati batas) yang membuatmu terjerumus dalam kedurhakaan, yaitu kebanyakan harta,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia-Singapura, Al-Haramain, 2012 M], juz II, halaman 44).

Yang pasti, umat Islam termasuk mereka yang aktif dalam dunia tarekat dan sufisme tidak boleh kekurangan harta. Mereka harus memiliki cukup harta untuk menenangkan aktivitas ibadahnya sebagai keterangan berikut ini:

قال تعالى  كلا إن الإنسان ليطغى أن رآه استغنى وفي الحديث ما قل وكفى خير مما كثر وألهى أما ما نقص عن الكفاية فقد يكون معه اشتغال عن طاعة الرب فليس ذلك من تمام النعمة

Artinya, “Allah berfirman, ‘Sekali-kali, jangan begitu. Sungguh manusia itu melewati batas (dalam kesombongan), ia memandang dirinya telah cukup.’ Dalam hadits dikatakan, ‘Harta yang sedikit dan cuku lebih baik daripada banyak dan melenakan.’ Tetapi harta yang kurang dari cukup juga dapat menyibukkan seseorang dari Allah sehingga harta yang kurang dari cukup itu bukan nikmat yang sempurna,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia-Singapura, Al-Haramain, 2012 M], juz II, halaman 44).

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh lupa diri dan lalai dari tanggung jawab dan kewajiban kepada Allah ketika memiliki banyak harta. Tetapi umat Islam juga tidak boleh kekurangan harta karena itu cukup menggangu pikiran dalam beribadah. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)