Tasawuf/Akhlak

Wajah Asli Manusia dalam Pandangan Ilmu Hakikat

Sab, 12 Februari 2022 | 11:00 WIB

Wajah Asli Manusia dalam Pandangan Ilmu Hakikat

Dalam ilmu hakikat, wajah manusia dilihat dari sifat batinnya, bukan tampilan fisik lahiriyahnya.

Dalam ilmu tasawuf, terdapat hal yang bersifat eksoterik (pengetahuan yang dapat dimengerti oleh siapa saja) dan yang bersifat esoteris (pengetahuan yang dimengerti oleh sejumlah orang secara terbatas). Demikian juga wajah manusia, dalam pandangan ilmu hakikat, akan tampak aslinya.


Dalam ilmu hakikat, wajah manusia dilihat dari sifat batinnya, bukan tampilan fisik lahiriyahnya. Bila memiliki hati yang suci penuh dengan sifat terpuji, yaitu syukur, sabar, ridha, qana’ah, murah hati, lapang dada, pemaaf, dan sifat terpuji lainnya (qalbin salim), maka wajah asli orang tersebut menampakkan cahaya kesucian. 


Adapun orang yang berhati busuk berisi kedengkian, kemarahan, ketamakan, kesombongan, dan sifat tercela lainnya, maka ia hakikatnya memiliki wajah yang buruk rupa meski wajah lahiriyahnya rupawan.


Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadits berikut ini:


لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب

 
Artinya,: “Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat anjing di dalamnya,” (Muttafaq alaih dari Abu Thalhah Al-Anshari).


Imam Al-Ghazali mengakui bahwa kata “baytun” (rumah) pada hadits tersebut tidak diterjemahkan secara harfiah sebagai batin manusia dan kata “kalbun” (anjing) sebagai dendam, tamak, marah, dan sifat tercela lainnya. Tetapi menurutnya, hadits ini memberikan isyarat lebih jauh untuk menelisik wajah asli kita sebagai manusia.


Imam Al-Ghazali kemudian memandang wajah manusia secara ilmu hakikat. Menurutnya, wajah asli manusia ditentukan oleh sifat terpuji dan sifat tercela di dalam batin manusia. 


واعلم أن القلب المشحون بالغضب والشره إلى الدنيا والتكلب عليها الحرص على التمزيق لأعراض الناس كلب في المعنى وقلب في الصورة فنور البصيرة يلاحظ المعاني لا الصور


Artinya: “Ketahuilah, batin manusia yang penuh dendam-kemarahan, ketamakan duniawi, keranjingan dunia, dan hasrat merusak kehormatan orang lain hakikatnya adalah anjing meski tampilan fisiknya adalah hati manusia. Sedangkan cahaya bashirah (mata batin) memandang hakikat, bukan bentuk fisiknya,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 68).


Kulit, artifisial, tampilan fisik, segala hal yang lahiriyah, dan kasatmata di dunia lebih dominan daripada substansi dan hakikat. Adapun hakikat tersembunyi di dalamnya. Sedangkan di akhirat nanti segala yang lahiriyah itu tunduk pada sifat asli manusia yang terdapat di dalam batinnya. Oleh karenanya, setiap orang kelak akan dikumpulkan dalam bentuk aslinya yang hakiki. (Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: I/68).


فيحشر الممزق لأعراض الناس كلبا ضاريا والشره إلى أموالهم ذئبا عاديا والمتكبر عليهم في صورة نمر وطالب الرياسة في صورة 


Artinya: “Orang yang merusak kehormatan orang lain akan dikumpulkan di akhirat sebagai anjing predator, orang yang tamak atas harta orang lain sebagai serigala buas, orang yang arogan sebagai macan tutul, orang yang gila kekuasaan sebagai singa,” (HR Ats-Tsa’labi).


Menurut Imam Al-Ghazali, anjing dan binatang buas lain dipandang hina bukan karena fisiknya. Anjing dan binatang buas lainnya dipinjam sebagai simbol keburukan karena sifat kebuasan dan unsur “najisnya” (sifat dendam, tamak, serakah) yang mencemari batin manusia. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)