Wujud Cinta Sungguhan kepada Allah Menurut Ibnu Athaillah
Sel, 13 Maret 2018 | 07:01 WIB
Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini menyatakan ciri cinta sejati dan cinta palsu:
Artinya, “Pecinta itu bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya atau mengejar sebuah tujuan dari sang kekasih. Pecinta itu orang yang berbuat sesuatu untukmu. Pecinta itu bukan orang yang diberikan sesuatu olehmu.”
Menjelaskan hikmah ini, Syekh Syarqawi menjelaskan bahwa orang yang mengaku cinta kepada Allah takkan mengharapkan apapun atas amal ibadahnya. Orang yang cinta sungguhan kepada Allah hanya mengharap ridha-Nya sebagai keterangan Syekh Syarqawi berikut ini:
Artinya, “Pecinta) sejati (itu bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya) atas perbuatan yang dia lakukan. Ia tidak bermakasud surga atau selamat dari neraka dengan amal salehnya. (atau mengejar sebuah tujuan) duniawi atau ukhrawi (dari sang kekasih. Pecinta) sejati (itu orang yang berbuat) yakni mempersembahkan (sesuatu untukmu. Pecinta) sejati (itu bukan orang yang diberikan sesuatu olehmu) karena cinta sejati meraih seluruh (ridha) kekasih untuk pecintanya. Bagi pencinta sejati, hatinya takkan berpaling pada selain kekasihnya. Oleh karena itu, siapa saja yang menyembah Allah SWT karena surga-Nya, maka ia bukan orang yang cinta Allah, tetapi cinta surga,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Semarang: Taha Putra, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 62-63).
Jelasnya, cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan pengorbanan secara total tanpa mengharapkan imbalan apapun baik yang bersifat materi maupun nonmateri. Niat ini yang membedakan penghambaan orang yang cinta sejati kepada Allah dan penghambaan orang yang memiliki pamrih sebagai keterangan Syekh Ibnu Abbad berikut ini:
Artinya, “Cinta itu menuntut pengorbanan segala hal besar maupun hal kecil dari pecinta untuk kesenangan kekasihnya tanpa menuntut bagian yang harusnya ia terima dari kekasihnya. Ini salah satu bagian dari kelaziman riil sebuah cinta,” (Lihat Syekh Muhammad Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, [Semarang: Toha Putra, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 62-63).
Sejumlah keterangan di atas ini tidak dimaksudkan untuk menilai kadar cinta orang per orang kepada Allah SWT. Pasalnya, cinta adalah masalah ghaib yang tersimpan di batin masing-masing orang. Semua ini dimaksudkan untuk mengevaluasi diri kita seperti apa warna penghambaan kita kepada Allah SWT. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Penjelasan Nuzulul Qur’an Diperingati 17 Ramadhan, Tepat pada Lailatul Qadar?
2
Hukum Jamaah dengan Imam yang Tidak Fashih Bacaan Fatihahnya
3
Khutbah Jumat: Ramadhan Momentum Lestarikan Lingkungan
4
Kisah Unik Dakwah Gus Mus di Pusat Bramacorah hingga Kawasan Lokalisasi
5
194.744 Calon Jamaah Reguler Lunasi Biaya Haji, Masih Ada Sisa Kuota Haji 2024
6
Gempa Bawean, Masyarakat Butuh Tenda, Makanan hingga Dapur Umum
Terkini
Lihat Semua