Hikmah di Balik Perbedaan Pendapat Ibnu Hajar dan Ar-Ramli soal Perubahan Air
Jumat, 13 Juni 2025 | 15:00 WIB
Dalam lintasan sejarah keilmuan mazhab Syafi’i, perbedaan pendapat merupakan fenomena yang tak terelakkan. Perbedaan pendapat antara dua tokoh besar, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin ar-Ramli menjadi salah satu contoh paling menonjol dari dinamika internal mazhab ini. Meskipun sama-sama mewakili otoritas tertinggi dalam mazhab Syafi’i muta’akhirin, keduanya seringkali mengambil posisi hukum yang berbeda.
Salah satu isu penting yang menunjukkan perbedaan keduanya adalah soal status air mutaghayyir. Dalam mazhab Syafi’i, air suci dan menyucikan (air mutlak) harus bebas dari perubahan yang disebabkan oleh campuran benda suci yang tidak menyucikan (mukhâlith). Jika perubahan mencolok terjadi pada warna, bau, atau rasa air, maka statusnya menjadi air mutaghayyir dan tidak sah digunakan untuk bersuci. Namun, bagaimana jika air mutaghayyir ini ditambah air mutlak dalam jumlah besar hingga perubahan itu memudar, tapi kita ragu apakah perubahan itu benar-benar hilang atau tidak?
Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa air tersebut tetap dihukumi mutaghayyir dan tidak sah digunakan bersuci. Ia menerapkan kaidah: “al-yaqîn lâ yazūl bi al-syak” (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Karena sebelumnya diyakini air telah berubah, maka status itu tetap berlaku hingga ada keyakinan baru bahwa perubahan besar telah benar-benar hilang. Pendapat ini ditegaskan dalam Tuhfatul Muhtâj dan diperkuat oleh Syarwânî, bahwa perubahan tidak dianggap hilang hanya karena adanya keraguan.
وَلَا يَضُرُّ ) فِي الطَّهُوْرِيَّةِ ( تَغَيُّرٌ لَا يَمْنَعُ الِاسْمَ ) لِقِلَّتِهِ وَلَوْ احْتِمَالًا؛ بِأَنَّ شَكَّ أَهُوَ كَثِيْرٌ أَوْ قَلِيْلٌ، مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ الكثرة ويَشُكُّ فِي زَوَالِ الكَثْرَةِ)
Artinya: “Tidak berbahaya (tidak mempengaruhi kesucian air) perubahan yang tidak menghilangkan nama (air suci) karena sedikitnya perubahan, meskipun hanya sekadar kemungkinan; seperti jika seseorang ragu apakah perubahan itu banyak atau sedikit, selama tidak diyakini bahwa perubahannya banyak dan tidak ragu (yakin) apakah perubahan yang banyak itu sudah hilang atau belum.” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Dar Ihya At-turats Al-Arabi: 1983] juz 1, halaman 70).
Baca Juga
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (1)
Adapun penjelasan Syarwani dalam Hâsyiyah Syarwânî sebagaimana berikut:
قَوْلُهُ (مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ الكَثْرَةُ إلخ) أي؛ ِلأَنَّا تَيَقَّنَّا دَفْعَ الطَّهُوْرِيَّةِ بِالتَّغَيّرِ الكَثِيْرِ، وَالأَصْلُ بَقَاؤُهُ حَتّٰى يَتَيَقَّنَ زَوَالُ ذٰلِكَ إِذْ اليَقِيْنُ لاَ يَرْفَعُهُ إِلاَّ يَقِيْنٌ مِثْلُهُ
Artinya: “Ucapannya ‘selama tidak diyakini bahwa perubahannya banyak, dan seterusnya’ maksudnya: karena kita meyakini bahwa perubahan yang banyak itu menghilangkan sifat menyucikan (air), dan hukum asalnya tetap (air tidak menyucikan) sampai diyakini bahwa perubahan yang banyak itu telah hilang, karena suatu keyakinan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keyakinan yang sebanding dengannya.” (Hasyiyah Syarwani, [Beirut, Dar Ihya At-turats Al-Arabi: 1983] juz 1, halaman 70)
Sebaliknya, Imam Ar-Ramli berpandangan bahwa setelah ditambahkan air mutlak hingga perubahan menjadi samar, maka air kembali ke hukum asalnya, yaitu suci menyucikan. Ia juga menggunakan kaidah yang sama, namun dengan pendekatan berbeda: karena yang tersisa hanyalah keraguan, maka status asal air sebagai suci kembali berlaku. Dalam Nihâyatul Muhtâj, beliau menyatakan bahwa air tersebut tetap thâhur selama tidak yakin bahwa perubahan yang mencolok masih ada.
فَلَوْ زَالَ بَعْضٌ التَّغَيُّرِ الفَاحِشٍ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَاٍء مُطْلَقٍ وَشَكَّ فِي قِلَّةِ البَاقِي عَنِ التَّغَيُّرِ فَطَهُوْرٌ أَيْضًا خِلاَفًا لٍلأَذْرَاعِي
Artinya: “Maka jika sebagian dari perubahan yang mencolok (pada air) hilang dengan sendirinya atau dengan ditambahkan air mutlak, lalu muncul keraguan apakah sisa perubahan yang ada masih banyak atau sudah sedikit, maka air tersebut tetap dihukumi suci mensucikan (thahur), menurut pendapat yang kuat, berbeda dengan pendapat al-Adzra’i.” (Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1984] juz 1, halaman 67).
Perbedaan ini mencerminkan bukan hanya sekadar variasi hasil hukum, tetapi juga pendekatan metodologis dalam membaca realitas. Pasalnya, metodologi tidak hanya sebatas teori hukum, akan tetapi mencakup cara menilai konteks dan fakta. Maka, penggunaan kaidah yang sama dengan hasil hukum berbeda karena perbedaan melihat realitas adalah perbedaan metodologis. Bukan karena perbedaan substansi kaidah, melainkan karena cara membaca fakta dan menilai dampaknya terhadap penerapan kaidah.
Imam Ibnu Hajar menggunakan istishâb terhadap status mutaghayyir: keyakinan akan perubahan tetap berlaku sampai ada keyakinan baru bahwa ia telah hilang. Sedangkan Imam Ar-Ramli menggunakan istishâb terhadap hukum asal air: sesuatu dianggap suci hingga terbukti sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa perbedaan mereka bersifat metodologis, bukan sekadar substantif.
Di sisi lain, perbedaan pendapat antara Ibnu Hajar dan Ar-Ramli mengandung banyak hikmah berharga yang dapat dituai, terkhusus bagi penganut mazhab Syafi’i:
1. Perbedaan sebagai kekuatan
Perbedaan pendapat antara dua imam besar ini justru menunjukkan keluasan khazanah mazhab Syafi’i. Kedua ulama ini tetap menjunjung tinggi adab, ilmu, dan semangat mencari kebenaran. Perbedaan ini bukan sumber perpecahan, melainkan bukti kekayaan metodologi dan keluasan dalam menanggapi ragam kondisi umat.
2. Pendekatan berbeda
Kasus ini menunjukkan bahwa satu kaidah fikih dapat menghasilkan hukum yang berbeda tergantung cara pendekatannya. Hal ini mencerminkan kedalaman ilmu dan fleksibilitas hukum Islam yang memberi ruang untuk perbedaan pandangan dalam bingkai mazhab yang sama. Tidak semua perbedaan berarti pertentangan, namun terkadang perbedaan tersebut adalah keberagaman dalam keluasan kebenaran.
3. Menumbuhkan kebijaksanaan
Perbedaan jika disikapi dengan ilmu dan adab jutru akan melatih umat Islam, terutama para penganut mazhab Syafi’i, untuk lebih mendengar, bukan hanya berbicara, membentuk pribadi yang bijaksana, bukan kaku dan fanatik. Selain itu juga bisa memperkuat ukhuwah Islamiyah, karena perbedaan ini mengajarkan untuk tetap bersatu meski tidak seragam.
Perbedaan pendapat antara kedua Imam tersebut juga mengajarkan kita bahwa perbedaan tidak melulu tentang siapa yang salah, melainkan siapa yang mau berusaha mencari kebenaran. Sebab, agama sangat menghargai siapa pun yang tulus mencari kebenaran sekalipun hasilnya tidak selalu sama.
Dengan demikian, perbedaan antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ar-Ramli menunjukkan bahwa dalam mazhab Syafi’i, keragaman bukanlah kelemahan, tetapi kekayaan intelektual. Perbedaan metodologis mereka dalam menyikapi satu kaidah yang sama justru menjadi pelajaran penting tentang keluasan pemahaman dan kedewasaan dalam bermazhab. Sikap terbuka terhadap perbedaan yang dibangun di atas ilmu dan adab adalah warisan berharga dari para ulama terdahulu yang patut diteladani oleh umat Islam, terkhusus generasi mazhab Syafi’i sekarang. Wallahu a‘lam.
Muhammad Alkautsar Izzudin Mawardi, Peserta Kelas Menulis Keislaman 2025.