Dalam kehidupan rumah tangga, perceraian atau talak bukan sekadar kata yang terucap, melainkan keputusan besar yang membawa dampak hukum, emosional, dan sosial yang luas. Ia bukan hanya memutus ikatan antara dua insan, tetapi juga menyentuh banyak aspek kehidupan, termasuk anak-anak, keluarga besar, hingga lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Islam memandang talak sebagai alternatif paling terakhir setelah segala upaya perbaikan dan mediasi ditempuh.
Seorang suami hendaknya tidak gegabah dalam mengucapkan talak. Keputusan untuk menceraikan istri harus didahului dengan pertimbangan matang terhadap dampak positif dan negatifnya, baik untuk diri sendiri maupun orang-orang yang terlibat di sekitarnya.
Namun, bagaimana jika talak diucapkan oleh seseorang yang sudah pikun, atau mengalami kepikunan yang mengganggu fungsi akalnya? Apakah talaknya tetap sah dan jatuh?
Pikun atau dalam istilah medis Demensia adalah kondisi neurologis yang mempengaruhi fungsi kognitif, antara lain kemampuan berpikir, mengingat, dan membuat keputusan, termasuk mengerjakan aktivitas sehari-hari. Pikun biasanya dialami oleh orang yang sudah lanjut usia.
Dalam perspektif fikih, orang yang pikun (al-khiraf) termasuk dalam golongan orang yang catatan amalnya diangkat (tidak dibebani taklif). Ia termasuk dalam tiga golongan yang disebutkan dalam hadits, yaitu: anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga terbangun, dan orang gila hingga sadar.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan memiliki beberapa redaksi yang berbeda. Dalam salah satu riwayat Imam Abu Dawud terdapat tambahan lafaz "al-khiraf", yang berarti orang pikun. Tambahan ini menunjukkan bahwa orang pikun juga termasuk dalam golongan yang tidak dibebani taklif, karena hilangnya kemampuan untuk membedakan (tamyiz) akibat usia lanjut.
Baca Juga
Doa Nabi agar Tidak Pikun di Usia Tua
Imam As-Subki dalam kitabnya Ibrazul Ḥukmi min Ḥadītsi Rufi'al Qalam yaitu kitab yang secara khusus membahas hadits tentang "diangkatnya pena catatan amal" menjelaskan:
قول أبي داود: رواه ابن جريج، عن القاسم بن يزيد، عن علي، عن النبي ﷺ زاد فيه: (الخرف) - يقتضي أنه زائد على الثلاثة، وهذا صحيح، والمراد به: الشيخ الكبير الذي زال عقله من الكبر، فإن الشيخ الكبير قد يعرض له اختلاط عقل يمنعه من التمييز ويخرجه عن أهلية التكليف، ولا يسمى جنونا، فإن الجنون يعرض من أمراض سوداوية ويقبل العلاج، والخرف بخلاف ذلك، ولهذا لم يقل في الحديث: حتى يعقل؛ لأن الغالب أنه لا يبرأ منه إلى الموت، ولو برأ في بعض الأوقات برجوع عقله تعلق به التكليف، فسكوته عن الغاية فيه لا يضر، كما سكت عنها في بعض الروايات في المجنون
Artinya: "Perkataan Imam Abu Dawud: Diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Al-Qasim bin Yazid, dari 'Ali, dari Nabi saw bahwa beliau menambahkan dalam hadits tersebut: (الخرف) hal ini menunjukkan bahwa 'khiraf' (pikun) adalah tambahan dari tiga golongan. Yang dimaksud dengan 'khiraf' adalah: orang tua renta yang akalnya hilang karena usia lanjut atau tua. Sebab orang tua renta bisa mengalami gangguan akal yang membuatnya tidak mampu membedakan (tamyiz), keluar dari taklif.
Ia tidak disebut gila (junūn) karena kegilaan itu timbul dari penyakit sawda', dan itu bisa diobati, sedangkan pikun (khiraf) berbeda dengan itu. Oleh karena itu, dalam hadits tidak dikatakan 'hingga ia berakal' karena umumnya orang pikun tidak akan sembuh hingga wafat. Namun, jika pada waktu tertentu akalnya kembali, maka kewajiban taklif tetap berlaku padanya. Maka, tidak disebutkannya batas akhir dalam hadits tersebut tidaklah mengapa, sebagaimana dalam sebagian riwayat tentang orang gila juga tidak disebutkan batas akhirnya." (Taqiyuddin As Subki, Ibrazul Hukmi min Haditsi Rufi'al Qalam, [Beirut, Darul Basyair al-Islamiyah, cetakan pertama: 1992] halaman 98).
Kemudian talak itu dinilai sah dan jatuh talaknya jika memenuhi syarat-syaratnya, dan di antara syaratnya adalah dilakukan oleh seorang suami yang berakal atas kemauannya sendiri tanpa paksaan:
يصح الطلاق من كل زوج بالغ عاقل مختار
Artinya: "Talak sah dari setiap suami yang telah baligh, berakal, dan atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan." (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Muhadzab [Madinah, al-Maktabah as-Salafiyah :tt] juz XVII halaman 56).
Walhasil, dari paparan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa talaknya orang yang sudah pikun tidak sah dan talaknya tidak jatuh sebab orang yang sudah pikun tidak lagi terbebani hukum (taklif) karena akalnya mengalami gangguan atau bahkan hilang yang berakibat pada ketidakmampuannya untuk membedakan (tamyiz). Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.