Nikah/Keluarga

Ceraikan Istri saat Haid adalah Talak Bid’ah, Begini Penjelasannya

NU Online  ·  Selasa, 24 Juni 2025 | 15:00 WIB

Ceraikan Istri saat Haid adalah Talak Bid’ah, Begini Penjelasannya

Ilustrasi cerai. (Foto: NU Online/Freepik)

Pernikahan adalah ikatan yang suci yang di dalamnya terkadang dibumbui dengan berbagai macam ujian. Dampaknya, sebagian orang lebih memilih untuk bercerai sebagai jalan keluar atas permasalahan keluarga. Perceraian tidak memandang waktu sehingga muncul pertanyaan: bagaimana hukum menceraikan istri saat sedang haid? Apakah talak tersebut sah, dan apa dampaknya dalam perspektif fiqih?

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat sebuah riwayat, Ibnu Umar pernah menceraikan istrinya yang sedang haid. Peristiwa ini terjadi pada masa Rasulullah SAW, dan Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi SAW tentang hukum perbuatannya. Nabi SAW memberikan panduan yang sangat jelas:

 

"Dari Ibnu Umar RA, bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid pada masa Rasulullah SAW. Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka beliau bersabda: ‘Perintahkan ia untuk merujuknya kembali, kemudian menahannya sampai ia suci, lalu haid kembali, kemudian suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, ia boleh menahannya, dan jika ia mau, ia boleh menceraikannya sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan para wanita.’” (HR Bukhari Muslim)

 

Talak Bid'ah

Dalam literatur fiqih Syafi'iyah, menceraikan istri yang sedang haid termasuk dalam kategori talak bid'ah, yaitu talak yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan syari'at. Talak ini dihukumi haram, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi:

 

الطَّلَاقُ سُنِّيٌّ وَبِدْعِيٌّ، وَيَحْرُمُ الْبِدْعِيُّ، وَهُوَ طَلَاقٌ فِي حَيْضٍ لِمَمْسُوسَةٍ

 

Artinya, "Talak ada yang sesuai sunnah (sunni) dan bid'ah (bid'i). Talak bid'ah diharamkan, yaitu talak yang terjadi saat istri dalam keadaan haid dan sudah disetubuhi." (an-Nawawi, Minhajut Thalibin wa 'Umdatul Muftin fil Fiqh, [Beirut, Dar al-Fikr: cet. pertama, 1425 H/2005 M], hal. 236)

 

Keharaman menceraikan istri saat haid didasarkan pada alasan bahwa tindakan ini dapat memanjangkan masa iddah istri. Hal ini karena masa haid tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Dengan demikian, perceraian dalam kondisi ini menyebabkan mudarat bagi pihak istri. Dijelaskan dalam Mughni Al-Muhtaj:

 

وَالْمَعْنَى فِيهِ تَضَرُّرُهَا بِطُولِ الْعِدَّةِ، فَإِنَّ بَقِيَّةَ الْحَيْضِ لَا تُحْسَبُ مِنْهَا

 

Artinya, "Makna dari hal ini adalah ia (istri) dirugikan oleh lamanya masa iddah, karena sisa masa haid tidak dihitung sebagai bagian dari iddah." (Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma'rifat Maʿani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: cet. pertama, 1415 H/1994 M], juz IV, hal. 497)

 

Namun demikian, perlu diingat bahwa putus hubungan suami istri yang tidak boleh dilakukan saat haid adalah talak yang dijatuhkan oleh pihak suami. Artinya, apabila putus hubungan antara suami dan istri melalui proses faskh yang diputuskan oleh pengadilan karena alasan tertentu, maka hal ini tidak haram. Imam As-Syabini menjelaskan:

 

وَخَرَجَ بِقَيْدِ الطَّلَاقِ فِي السُّنِّيِّ وَالْبِدْعِيِّ الْفَسُوخُ، فَإِنَّهَا لَا تَنْقَسِمُ إِلَى سُنِّيٍّ وَلَا إِلَى بِدْعِيٍّ

 

Artinya: "Dengan batasan talak dalam kategori sunni dan bid'i, maka fasakh dikecualikan. Sebab, fasakh tidak termasuk dalam kategori sunni maupun bid'i." (Muhammad bin Ahmad al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnaʿ fi Hall Alfazh Abi Syujaʿ, [Beirut, Dar al-Fikr: cet. pertama, tt], juz II, hal. 442)

 

Selain itu, jika putus hubungan terjadi melalui proses khulu’, yaitu pihak istri siap membayar sejumlah nominal tertentu agar pihak suami menceraikannya, maka hal itu tidak termasuk talak bid’ah. Wanita yang meminta khulu’ termasuk dalam empat kategori wanita yang talaknya tidak bersifat sunnah atau bid’ah.

 

وَضَرْبٌ لَيْسَ فِي طَلَاقِهِنَّ سُنَّةٌ وَلَا بِدْعَةٌ؛ وَهُنَّ أَرْبَعٌ: الصَّغِيرَةُ، وَالْآيِسَةُ (وَهِيَ الَّتِي انْقَطَعَ حَيْضُهَا)، وَالْحَامِلُ، وَالْمُخْتَلِعَةُ الَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا الزَّوْجُ

 

Artinya: "Ada kategori wanita yang talaknya tidak termasuk sunnah maupun bid'ah, yaitu empat jenis: wanita kecil (belum haid), wanita yang tidak haid lagi (al-aisah), wanita hamil, dan wanita yang bercerai khulu’ sebelum suami menyetubuhinya." (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh at-Taqrib, [Beirut, Dar Ibn Hazm: cet. pertama, 1425 H/2005 M], hal. 243)

 

Sejalan dengan aturan tersebut, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia juga menyebutkan bahwa talak bid'i adalah talak yang dilarang. Aturan itu tertulis pada pasal 122 Kompilasi Hukum Islam. Bunyi Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sebagai berikut:

 

"Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada saat istri haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah pernah digauli."

 

Pasal ini menegaskan bahwa talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid hukumnya tidak diperbolehkan, meskipun talak tersebut tetap terjadi dalam praktiknya.

 

Menceraikan istri saat haid merupakan tindakan yang bertentangan dengan syariat dan dianggap sebagai talak bid’ah. Selain haram, tindakan ini juga berpotensi memudaratkan istri karena memperpanjang masa iddahnya. Namun, faskh dan khulu’ tidak termasuk dalam kategori ini dan memiliki hukum tersendiri. Demikian pula yang termaktub dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 122

 

Syifaul Qulub Amin, Peserta Kelas Menulis Keislaman NU Online Batch 2, Alumni PP Nurul Cholil, dan Editor Website PCNU Bangkalan.