Nikah/Keluarga

Panduan Rujuk dalam Islam

Senin, 30 Juni 2025 | 10:00 WIB

Panduan Rujuk dalam Islam

Ilustrasi rujuk. Sumber: Canva/NU Online.

Perceraian sering kali terjadi di tengah kondisi emosional yang tidak stabil, baik dari pihak suami maupun istri. Meskipun merupakan langkah halal, perceraian adalah tindakan yang sangat tidak disukai Allah dan kerap meninggalkan penyesalan bagi kedua belah pihak. Namun, Islam membuka peluang untuk memperbaiki ikatan pernikahan melalui proses rujuk.


Setelah perceraian, istri menjalani masa iddah selama tiga kali masa suci (sekitar tiga bulan). Pada masa ini, suami yang telah mengucapkan talak, baik secara langsung maupun kiasan, dan kemudian menyesalinya, dapat merujuk istrinya untuk mengembalikan ikatan pernikahan seperti semula, selama istri masih dalam masa iddah. Masa iddah ini menjadi waktu perenungan bagi kedua belah pihak untuk meredam emosi dan mempertimbangkan rekonsiliasi. (Ali Ahmad Al-Jarjawi, Beirut: Darul Fikri, 2003, Juz II, halaman 57).


Proses rujuk memiliki ketentuan yang bergantung pada jenis talak yang diucapkan suami. Dalam fiqih, talak dibagi menjadi dua jenis:

  1. Talak Raj’i: Talak yang diucapkan pada satu atau dua pernikahan pertama, yang memungkinkan suami merujuk istri tanpa syarat tambahan selama masa iddah.
  2. Talak Bain: Talak yang diucapkan pada pernikahan ketiga, yang menyebabkan pernikahan tidak dapat dirujuk kecuali dengan syarat tertentu, seperti istri menikah dengan pria lain terlebih dahulu dan bercerai secara sah.


Rujuk pada Masa Iddah akibat Talak Raj’i

Selama masa iddah setelah talak raj’i (talak satu atau dua kali), suami berhak merujuk istrinya tanpa perlu proses pernikahan baru. Proses rujuk ini tidak memerlukan persetujuan istri. Hal ini dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib:


وَإِذَا طَلَّقَ شَخْصٌ ٱمْرَأَتَهُ وَاحِدَةً أَوِ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُ بِغَيْرِ إِذْنِهَا مُرَاجَعَتُهَا مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا


Artinya: “Jika seseorang menceraikan istrinya satu atau dua kali, ia berhak merujuknya tanpa izin istri selama masa iddah belum berakhir,” (Abu Qosim Al-Ghazi, Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2005, halaman 245).


Proses rujuk tidak memerlukan wali, mahar, atau persetujuan istri, seperti pada pernikahan baru. Suami cukup mengucapkan kalimat rujuk, misalnya, “Aku merujukmu,” bagi yang mampu berbicara. Bagi yang bisu, isyarat sudah cukup.


Terkait rujuk melalui tindakan, seperti hubungan suami-istri selama masa iddah akibat talak raj’i, para ulama berbeda pendapat. Menurut Al-Awza‘i, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah, dan murid-muridnya, hubungan tersebut—baik dengan niat rujuk maupun tidak: dianggap sebagai rujuk yang sah. 


Abu Hanifah menambahkan, jika suami melakukan hubungan intim karena dorongan syahwat, perbuatan tersebut dianggap sebagai pernyataan rujuk. Namun, Imam Malik dan Ishaq berpendapat bahwa rujuk melalui tindakan hanya sah jika disertai niat rujuk. Mengenai keharusan saksi, para ulama juga berbeda pendapat, tetapi pendapat yang kuat menyatakan saksi tidak wajib. (Al-Amrani, Al-Bayan fi Madzhab Asy-Syafi’i, [Saudi: Darul Manhaj, 2000], Juz X, halaman 247).


Rujuk pada Masa Iddah sebab Talak Bain

Jika seorang suami menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (talak bain) dan ingin kembali bersamanya, ia harus melangsungkan pernikahan baru, baik saat masa iddah istri masih berlangsung maupun setelah selesai. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya:


وَحُكْمُ الرَّجْعَةِ بَعْدَ هَذَا الطَّلَاقِ، حُكْمُ ابْتِدَاءِ النِّكَاحِ، أَعْنِي: فِي اشْتِرَاطِ الصَّدَاقِ، وَالْوَلِيِّ، وَالْرِّضَا، إِلَّا أَنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ فِيهِ انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ


Artinya: “Hukum rujuk setelah talak bain sama dengan hukum pernikahan baru, yaitu mensyaratkan mahar, wali, dan persetujuan kedua belah pihak, tanpa perlu menunggu selesainya masa iddah menurut mayoritas ulama.” (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Kairo: Darul Hadits, 2004], Juz III, halaman 106).


Berbeda dengan talak raj’i (talak satu atau dua kali), yang memungkinkan rujuk hanya dengan ucapan atau tindakan tanpa saksi, talak bain mensyaratkan pernikahan yang baru. Selain itu, istri yang telah ditalak tiga kali harus telah menikah dan berhubungan layaknya suami-istri dengan pria lain (muhallil) sebelum dapat dinikahi kembali oleh mantan suaminya. Para ulama sepakat bahwa pernikahan baru ini tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa syarat tersebut terpenuhi.


Dengan demikian, proses rujuk bergantung pada jenis talak. Untuk talak raj’i, rujuk dapat dilakukan dengan ucapan atau tindakan selama masa iddah tanpa saksi. Namun, untuk talak bain, diperlukan pernikahan baru dengan syarat mahar, wali, dan persetujuan, serta syarat istri telah menikah dengan pria lain. 


Penting diingat dan diketahui oleh para pembaca, untuk memastikan proses perceraian dan rujuk berjalan sesuai hukum Islam yang berlaku di Indonesia, umat Muslim dianjurkan merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai panduan resmi melalui KUA setempat. Wallahu A’lam.


Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin.