Stop Sindir Pasangan di Story, Ini Adab Digital Rumah Tangga
Jumat, 8 Agustus 2025 | 19:00 WIB
Di era digital, banyak persoalan rumah tangga tak lagi cukup dibicarakan di meja makan, tapi malah diumbar di media sosial, diselipkan dalam story WhatsApp atau Instagram, atau dibumbui caption bernada sindiran.
Suami atau istri yang kecewa, kadang lebih memilih menulis kalimat getir: “Ada pasangan tapi serasa sendiri”, atau “Jangan pura-pura sibuk padahal lupa.” Padahal, dalam pandangan Islam, membangun rumah tangga tidak hanya soal hubungan fisik dan finansial, tapi juga menjaga kehormatan, harga diri, dan kebersamaan dalam adab serta komunikasi yang baik.
Tindakan seperti ini, meski kadang dianggap sekadar curahan hati, sejatinya dapat melukai hati pasangan dan mencederai kehormatan rumah tangga. Islam memandangnya bukan sekadar persoalan etika sosial, tetapi juga masalah moral dan spiritual yang diatur oleh wahyu.
Pertama, Al-Qur’an secara tegas melarang perilaku suka menyindir dan merendahkan orang lain, terlebih kepada pasangan hidup. Dalam surah Al-Hujurat ayat 11, Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ yaskhar qaumum ming qaumin ‘asâ ay yakûnû khairam min-hum wa lâ nisâ'um min nisâ'in ‘asâ ay yakunna khairam min-hunn, wa lâ talmizû anfusakum wa lâ tanâbazû bil-alqâb, bi'sa lismul-fusûqu ba‘dal-îmân, wa mal lam yatub fa ulâ'ika humudh-dhâlimûn
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan haramnya meremehkan dan mengejek orang lain, apalagi jika hal itu berkaitan dengan agama atau bentuk tubuh (Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], juz XVI, hal. 331)
Jika kepada orang lain saja kita dilarang menyindir dan merendahkan, maka kepada pasangan hidup tentu lebih utama untuk menjaga kehormatan, harga diri, dan marwahnya.
Kedua, Rasulullah SAW memberikan peringatan keras kepada siapa saja yang membuka rahasia rumah tangganya. Beliau bersabda bahwa termasuk orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang suami yang telah berhubungan dengan istrinya, lalu menyebarkan rahasia tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim:
إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ عِندَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Artinya: “Termasuk orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang telah berhubungan dengan istrinya, lalu menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menegaskan bahwa menyebarkan rahasia istri hukumnya haram dan termasuk bentuk khianat yang paling buruk. Beliau berkata:
فَإِنَّ نَشْرَ سِرِّهَا حَرَامٌ وَهُوَ مِنْ أَخْبَثِ الْخِيَانَةِ
Artinya: “Menyebarkan rahasia istri adalah haram, dan termasuk bentuk khianat yang paling buruk.” (Syarah Shahih Muslim, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 2001], juz X, hal. 8)
Ketiga, Imam al-Ghazali memberikan nasihat tegas bahwa seorang suami yang menyakiti istrinya, baik dengan ucapan langsung maupun melalui sindiran, telah berbuat zalim dan berdosa atas hak istrinya. Beliau berkata:
فَمَنْ آذَى زَوْجَتَهُ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ فَقَدْ ظَلَمَهَا وَآثِمٌ فِي حَقِّهَا
Artinya: “Barang siapa menyakiti istrinya, baik dengan ucapan langsung atau sindiran, maka ia telah berbuat zalim dan berdosa atas haknya.” (Ihya’ ‘Ulumuddin, [Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005], juz II, hal. 50)
Sindiran, meskipun terselubung, sering kali lebih melukai dibandingkan kata-kata terang-terangan. Hal ini karena luka yang ditimbulkannya tersembunyi, namun terasa menusuk, menyisakan rasa sakit yang sulit diungkapkan. Terlebih jika sindiran itu dilakukan di ruang publik, ia menjadi bentuk penghinaan yang mempermalukan pasangan secara tidak langsung, sehingga mengikis rasa hormat dan kasih sayang dalam rumah tangga.
Keempat, Imam Abdul Wahab as-Sya’rani dalam Tanbihul Mughtarrin memberikan nasihat berharga tentang etika dalam hubungan suami-istri. Beliau menegaskan bahwa tidak ada hal yang lebih mampu memperbaiki keadaan rumah tangga selain kebiasaan suami dan istri untuk saling menutup aib satu sama lain. Dalam kata-katanya:
وَمَا رَأَيْنَا أَصْلَحَ لِلزَّوْجَيْنِ إِلَّا السَّتْرُ عَلَى بَعْضِهِمَا بَعْضًا، فَمَنْ فَضَحَ زَوْجَهُ فَهُوَ أَجْهَلُ النَّاسِ بِالدِّينِ
Artinya: “Kami tidak melihat sesuatu yang lebih memperbaiki suami-istri selain saling menutup aib satu sama lain. Siapa yang membuka aib pasangannya, maka dialah orang yang paling bodoh terhadap agama.” (Tanbihul Mughtarrin, [Kairo: Dar at-Turats, t.t.], hlm. 75).
Pesan ini menekankan bahwa menjaga rahasia dan menutupi kekurangan pasangan bukan hanya tanda kasih sayang, tetapi juga cerminan kedewasaan beragama. Membuka aib pasangan justru menciptakan keretakan, menumbuhkan kebencian, dan menunjukkan ketidakpahaman terhadap nilai-nilai luhur Islam yang menjunjung tinggi kehormatan dalam keluarga.
Kelima, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir menggolongkan sindiran yang menjatuhkan orang lain sebagai bentuk ghibah berat. Beliau menjelaskan:
وَمِنَ الْغِيبَةِ أَنْ تَقُولَ: بَلَغَنِي عَنْ فُلَانٍ كَذَا وَهُوَ كَذَا وَكَذَا فَتَكُونُ غِيبَةً مَغْلُوظَةً
Artinya: “Termasuk ghibah adalah ketika seseorang berkata: ‘Saya dengar si fulan begini, begitu’, maka ini termasuk ghibah berat.” (al-Zawajir, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001], juz II, hlm. 206).
Jika sekadar menyebut nama seseorang disertai cerita negatif saja sudah tergolong dosa besar, maka menyindir pasangan secara tidak langsung, yang membuat orang lain paham siapa yang dimaksud, termasuk perbuatan yang lebih berbahaya.
Dalam konteks rumah tangga, sindiran seperti ini kerap muncul di media sosial, baik melalui status, story, maupun komentar yang bersifat menyudutkan pasangan. Padahal, Islam telah memberikan panduan mulia dalam menghadapi konflik rumah tangga: utamakan musyawarah, komunikasi yang baik, dan jika perlu libatkan pihak ketiga yang bijak, seperti orang tua, konsultan keluarga, tokoh masyarakat, atau lembaga resmi seperti KUA dan BP4.
Apabila masalah sudah memasuki ranah hukum, penyelesaiannya bisa ditempuh melalui jalur kekeluargaan atau prosedur hukum yang berlaku. Namun, apapun keadaannya, membuka aib rumah tangga di media sosial bukanlah jalan yang dibenarkan. Menyindir pasangan di ruang publik dunia maya bukan hanya bentuk kekerasan verbal terselubung, tetapi juga perilaku yang bertentangan dengan akhlak Islam, merusak kehormatan keluarga, dan menjauhkan keberkahan rumah tangga.
Rumah tangga yang sakinah tidak dibangun dari unggahan status yang menyindir, tetapi dari komunikasi yang jujur, saling menghormati, dan usaha bersama mencari solusi. Jika masalah tidak bisa diselesaikan berdua, mintalah bantuan pihak yang bijak. Jangan sampai jari-jemari kita menjadi saksi dosa di hari kiamat hanya karena sebuah unggahan yang menyakiti pasangan. Wallahu a‘lam.
Ustadz H. Moh. Zainal Abidin, Pengajar PP Al-Muayyad Surakarta