Nikah/Keluarga

Kemapanan Finansial Jadi Acuan Pilih Pasangan Hidup, Tepatkah?

NU Online  ·  Senin, 14 Juli 2025 | 10:00 WIB

Kemapanan Finansial Jadi Acuan Pilih Pasangan Hidup, Tepatkah?

Ilustrasi financial freedom. Sumber: Canva/NU Online.

Di era digital, perbincangan tentang kriteria pasangan hidup kerap viral di media sosial. Salah satu yang paling sering jadi sorotan adalah soal kemapanan finansial. Banyak konten viral menyoroti tuntutan minimal gaji, kepemilikan mobil, rumah, atau karier mapan sebelum layak diajak menikah. Fenomena ini merupakan bukti adanya keresahan generasi muda terhadap realitas ekonomi yang semakin sulit, terutama di kota-kota besar.


Banyak perempuan, dan tak sedikit laki-laki, memilih berhati-hati sebelum menikah, salah satunya dengan memastikan calon pasangan sudah mapan secara ekonomi. Pandangan ini bukan tanpa dasar. Biaya hidup yang terus meningkat, harga rumah yang tak terjangkau, dan tekanan gaya hidup membuat kemapanan menjadi pertimbangan rasional. Apalagi, data menunjukkan konflik finansial menjadi pemicu perceraian tertinggi dalam rumah tangga.


Namun, apakah menjadikan kemapanan finansial sebagai syarat utama dalam memilih pasangan hidup merupakan keputusan yang tepat? Dalam pandangan Islam, ada keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan nilai-nilai spiritual. Agama tidak menafikan pentingnya harta, tetapi memberi peringatan agar ia tidak menjadi tolok ukur tunggal dalam menentukan nilai seseorang, apalagi dalam urusan pernikahan yang sakral. Dalam satu hadits diriwayatkan:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُ، عَنِ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنكَحُ ٱلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ ٱلدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ


Artinya, "Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, utamakanlah wanita yang memiliki agama, niscaya engkau akan beruntung (meski kau tak berharta sekalipun)." (HR Bukhari dan Muslim)


Berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyampaikan:


ٱلْمَعْنَى أَنَّ ٱللَّائِقَ بِذِي ٱلدِّينِ وَٱلْمُرُوءَةِ أَنْ يَكُونَ ٱلدِّينُ مَطْمَحَ نَظَرِهِ فِي كُلِّ شَيْءٍ، لَا سِيَّمَا فِيمَا تَطُولُ صُحْبَتُهُ، فَأَمَرَهُ ٱلنَّبِيُّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَحْصِيلِ صَاحِبَةِ ٱلدِّينِ ٱلَّذِي هُوَ غَايَةُ ٱلْبُغْيَةِ


Artinya, "Maknanya adalah bahwa seseorang yang memiliki agama dan kehormatan diri (muru'ah) sepatutnya menjadikan agama sebagai tujuan utama dalam setiap urusannya, terlebih lagi dalam urusan yang menyangkut hubungan jangka panjang (seperti pernikahan). Karena itu, Nabi ﷺ memerintahkannya agar benar-benar berusaha mendapatkan pasangan hidup yang memiliki agama, sebab itulah tujuan tertinggi yang seharusnya dicari." (Ibnu Hajar, Fathul Bari, [Kairo: Darur Rayan Litturats, 1986], juz IX, h. 38)


Dari penjelasan Ibnu Hajar ini dapat dipahami bahwa seseorang yang memiliki keimanan dan kehormatan diri idealnya menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam seluruh aspek hidupnya, termasuk dalam memilih pasangan. Pernikahan adalah ikatan jangka panjang yang sarat ujian, sehingga membangun rumah tangga bersama seseorang yang taat kepada Allah akan menjadi landasan kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan finansial yang semakin kompleks di era modern.


Saking urgennya pertimbangan moral dalam memilih pasangan hidup, Rasulullah SAW sampai menegaskan bahwa pasangan yang secara fisik biasa saja lebih utama dipilih daripada pasangan yang tampan atau cantik namun buruk akhlaknya. Sebab, kecantikan dapat menipu dan memudar, sementara akhlak dan agama adalah fondasi langgeng yang akan menentukan arah rumah tangga, baik dalam keadaan senang maupun saat menghadapi ujian hidup. Nabi bersabda:


لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ.


Artinya, "Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, sebab bisa jadi kecantikannya itu akan mencelakakannya. Jangan pula menikahi mereka karena hartanya, karena bisa jadi hartanya membuatnya sombong. Tetapi nikahilah mereka karena agamanya. Dan sungguh, seorang budak perempuan yang hitam legam, berhidung pesek, namun beragama, itu lebih utama." (HR Tirmidzi)


Meski demikian, Islam juga sangat realistis dalam memandang kebutuhan hidup. Realita zaman sekarang menuntut perencanaan ekonomi yang lebih matang. Banyak pasangan muda yang mengalami stres karena ekspektasi finansial yang tidak realistis sejak awal pernikahan. Ada yang terlalu memaksakan standar hidup, meniru gaya hidup media sosial, hingga akhirnya rumah tangga terguncang. Di sinilah pentingnya keterbukaan dan komunikasi sejak masa ta'aruf agar saling jujur tentang kondisi ekonomi masing-masing.


Pernikahan bukan hanya soal cinta dan nafkah lahir-batin, tapi juga tentang membangun visi bersama. Jika sejak awal salah satu pihak hanya menilai pasangannya dari dompet, maka ketika dompet itu menipis, yang hilang bisa lebih dari sekadar uang, yakni rasa hormat dan kepercayaan. Padahal, rumah tangga dibangun atas dasar mawaddah, rahmah, dan sakinah, bukan semata gaji dan aset.


Sebaliknya, mengabaikan faktor finansial secara total juga tidak bijak. Dalam Islam, seorang laki-laki wajib menafkahi istri dan anaknya. Jika seorang calon suami belum mampu memberikan nafkah dasar, maka menunda pernikahan dan mempersiapkan diri lebih dulu bisa menjadi pilihan yang lebih bertanggung jawab. Kemapanan bukan syarat wajib, tapi kemampuan memenuhi kebutuhan pokok adalah tanggung jawab moral dan agama.


Lalu, bagaimana dengan perempuan yang punya kemampuan finansial lebih tinggi dari calon pasangannya? Islam membolehkan hal itu selama tidak menimbulkan ketimpangan relasi dan tidak menjadi bahan untuk merendahkan atau menekan pasangan. Banyak istri dari kalangan sahabat perempuan yang lebih kaya dari suaminya, bahkan Siti Khadijah jauh lebih kaya raya dibanding Rasulullah sebagai suaminya, namun tetap menaruh hormat dan menjunjung tinggi peran suami sebagai pemimpin keluarga.


Sebagai kesimpulan, dalam memilih pasangan hidup, kemapanan finansial memang penting, tetapi bukan satu-satunya fondasi. Islam mengajarkan keseimbangan antara tanggung jawab materi dan integritas spiritual. Jangan tertipu oleh gemerlap kekayaan atau gelar prestisius, karena yang lebih menentukan adalah akhlak dan keimanan. Rumah tangga bahagia dibangun bukan dari kemewahan, melainkan dari kesalingan dalam iman, kesetiaan, dan kesediaan tumbuh bersama dalam suka maupun duka. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.