Syariah

Definisi dan Hukum Khiyar dalam Fiqih Muamalah

Senin, 4 November 2024 | 17:30 WIB

Definisi dan Hukum Khiyar dalam Fiqih Muamalah

Definisi dan hukum khiyar (freepik)

Dalam Islam jual beli bukan sebatas transaksi yang menargetkan keuntungan materi semata. Jual beli adalah cerminan dari keadilan dan kepercayaan. Konsep yang demikian tercermin dalam prosedur khiyar.
 

Konsep khiyar menegaskan bahwa tidak ada pihak yang boleh dirugikan dalam transaksi. Adapun hak tersebut diberikan kepada pembeli dan penjual. Hak khiyar memungkinkan mereka untuk mempertimbangkan ulang keputusan, menjaga agar transaksi berlangsung dalam kerelaan.
 

Menurut hukum syariah, khiyar memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi. Setiap macam khiyar, baik khiyar majlis, syarat, maupun aib, dirancang untuk memberikan ketenangan dan menghindari sengketa antara pihak-pihak yang bertransaksi. Demi menjaga keberlangsungan transaksi jual beli yang sehat. Tidak ada penipuan, kebohongan, ataupun tekanan dalam melakukan transaksi.
 

Definisi Khiyar

Penggunaan kalimat khiyar diambil dari nomina verbal (mashdar) ikhtiar yang berartikan proses memilih. Al-Khatib As-Syirbini (wafat 977 H) mendefinisikan khiyar sebagai berikut:
 

طلب خير الأمرين من إمضاء العقد أو فسخه
 

Artinya, “Mengambil pilihan terbaik pada dua opsi transaksi jual beli, baik melanjutkan atau membatalkan." (Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], juz II, halaman 402).
 

Khiyar juga berarti wewenang bagi pihak yang sedang bertransaksi, apakah melanjutkan atau membatalkannya, baik lantaran alasan syari’at yang muncul maupun berdasarkan kesepakatan bersama. Titik temu yang didapatkan adalah kesempatan bagi kedua pihak yang sedang melakukan jual beli untuk melanjutkan atau membatalkan. (Al-Mausu'atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Dzatul Salasil: 1992], juz XX, halaman 41).
 

Pada dasarnya, suatu transaksi jual beli bersifat mengikat antara penjual dan pembeli. Tentu orientasi dari jual beli adalah perpindahan hak milik dari produsen ke konsumen. Selain itu, konsekuensi dari perpindahan kepemilikan sebuah produk adalah kebebasan penuh dalam pengelolaan baik untuk menggunakan, memanfaatkan dan lain-lain.
 

Akan tetapi hukum syariat memberikan kelonggaran dari keterikatan transaksi jual beli yang dinamakan hak pilih (khiyar). Momentum melanjutkan atau membatalkan proses jual beli diberikan kepada penjual maupun pembeli sebagai sebuah keringanan. (As-Syirbibi, II/402).
 

Secara prosedural khiyar memiliki dua pendekatan dalam menentukan batas waktu untuk menimbang pilihan terbaik. Pendekatan pertama, berdasar kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli untuk periode yang diketahui  (المدة المعلومة). Para ulama kontemporer memasukkan klasifikasi tahdidan (penentuan waktu yang pasti).
 

Pendekatan kedua, pada penetapan waktu yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan (بقدر ما تدعو إليه الحاجة). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz V, halaman 5047).
 

Namun terdapat pendekatan yang lebih sesuai pada budaya dan kebiasaan tempat khiyar terjadi. Pasalnya, syariat menyebutkan secara umum batasan keterpisahan (iftiraq) antara penjual dan pembeli yang sekaligus menjadi batas waktu menimbang pilihan. Apabila syariat menetapkan sesuatu tanpa batasan tertentu dalam bahasa, maka penentuannya dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf), seperti halnya penerimaan (qabdh) dalam jual beli. (Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1995], juz V, halaman 4).
 

Dewasa ini, terdapat sistem transaksi modern yang mencerminkan prosedur khiyar. Sama-sama memberikan kesempatan kepada pihak yang bertransaksi untuk menimbang kembali keputusan mereka tanpa terikat secara penuh pada kesepakatan awal, sistem ini bernama cooling of period.
 

Contoh nyatanya ada pada transaksi rumah dan properti. Di beberapa negara, ketika orang membeli properti maka ia memiliki sekian hari untuk memutuskan melanjutkan atau membatalkan transaksi.
 

Hukum Khiyar

Hukum khiyar sudah dikonfirmasi oleh sumber-sumber hukum Islam, bahwa diperbolehkan. Salah satunya dapat dilihat di hadits Nabi Muhammad saw sebagai berikut:
 

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما
 

Artinya, “Dua pelaku transaksi selagi belum berpindah dari tempat diperbolehkan menimbang (khiyar). Ketika sebuah produk dijabarkan dengan jujur dan perinci maka transaksi akan menjadi berkah. Sedangkan produk yang tidak disampaikan serta dibumbui kebohongan akan menghilangkan keberkahan.” (HR Al-Bukhari).
 

Secara garis besar, baik pembeli maupun penjual diberikan wewenang dalam melanjutkan atau membatalkan transaksi. Merujuk pada hadits ini, khiyar akan hilang penggunaannya ketika salah satu dari kedua pelaku transaksi meninggalkan tempat (khiyar majlis). Namun hukum asal dari keberadaan khiyar adalah boleh selagi tidak terjadi indikasi-indikasi yang membatalkan. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin