Khawatir Pergaulan Bebas Anak? Ini 6 Panduan Pendidikan Islami
Jumat, 23 Agustus 2024 | 10:00 WIB
Tak bisa dipungkiri, menunda perkawinan dan maraknya pergaulan bebas, baik di kalangan remaja maupun dewasa disebabkan oleh banyak faktor. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki dalam Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, 1423, halaman 108 menyebut faktor-faktor pemicu tersebut mulai dari mahalnya biaya pernikahan dan berumah tangga, kurangnya pengawasan orang tua, pudarnya kontrol sosial, lemahnya pendidikan moral, longgarnya batas pergaulan laki-laki dan perempuan, kesalahan pola didik anak, hingga pengaruh mudahnya akses terhadap tayangan-tayangan dewasa di tengah anak remaja.
Meski demikian, bukan berarti kita boleh tinggal diam dan pasrah terhadap keadaan. Justru, kita harus mencarikan solusinya agar masalah ini tidak berlarut-larut. Setidaknya bisa dikurangi dan generasi kita ke depan lebih terjaga.
Namun mengingat cukup luasnya pembahasan masalah ini, maka pada kesempatan ini, penulis akan lebih fokus pada pola didik Islami agar anak kita kelak setelah dewasa memiliki karakter dan kemampuan yang baik dalam menghindari pergaulan bebas, sekaligus memiliki pemahaman mendalam akan bahaya perilaku tersebut. (Dr. Ghadah Hasyad, Al-Hiwar ma’al Abna’ ‘Ilaj li Kulli Da’, [‘Ashirul-Kutub, 2021], halaman 97-98.)
Pola didik dimaksud digali berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta hadits-hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
1. Menanamkan Ketauhidan sejak Dini
Kaitan dengan pola didik anak, Al-Qur'an sudah lebih dulu mencontohkannya. Melalui sosok Luqmanul-Hakim, Al-Qur'an mengajarkan kepada kita untuk menanamkan ketauhidan sejak dini kepada anak-anak, serta menanamkan pengawasan dan pembalasan Allah, sebagaimana yang diceritakan dalam ayat yang artinya: “Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar,” (QS. Lukman: 13).
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya),” (QS. Luqman [31]: 16).
Pada ayat berikutnya, Luqmanul Hakim menanamkan pembiasaan ibadah, menanamkan nilai-nilai sabar, dan kebiasaan amar makruf nahyi munkar kepada anaknya, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS. Lukman : 17).
Pada ayat selanjutnya, Luqmanul Hakim mengajarkan anak-anaknya akhlak yang luhur, salah satunya dengan menanamkan sikap rendah hati dan tidak sombong, sebagaimana bunyi ayat yang artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (QS. Lukman: 18).
Walhasil, pendidikan tauhid, pengenalan pada pengawasan dan pembalasan Allah terhadap anak, pembiasaan ibadah, pembiasaan amar-makruf, serta penguatan nilai-nilai sabar, menjadi dasar dalam mendidik anak agar kelak menjadi pribadi yang taat dan mampu menjauhi pergaulan bebas.
2. Menunjukkan Sikap Jujur, Bijaksana, dan Komunikatif dengan Anak
Sikap terbuka, jujur, transparan serta komunikatif dengan anak menjadi pola didik Islami yang tak kalah penting dalam membentuk karakter anak agar kelak setelah dewasa menjadi pribadi yang taat dan mampu menjauhi perbuatan keji. Hal ini seperti yang pernah dicontohkan Nabi Ibrahim saat menyampaikan perintah berkurban pada putranya Ismail.
Baca Juga
Pergaulan dalam Pandangan Islam
Sikap bijak Nabi Ibrahim ditunjukkan dalam ayat berikut yang artinya, “Maka ketika anak itu (Ismail) sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar,’” (QS. Ash-Shafat: 102).
Jika Nabi Ibrahim sebagai orang tua yang otoriter, maka bisa saja langsung meminta atau memaksa putranya agar siap dikurbankan. Namun, sikap Ibrahim tidaklah demikian. Ia meminta pandangan terhadap anaknya dan memberikannya kesempatan berbicara. Kesimpulannya, saat menyampaikan urusan yang penting, orang tua dituntut harus bijak, jujur, transparan, komunikatif serta menghormati pandangan anak. Termasuk pada saat menanamkan nilai-nilai luhur pada mereka.
Hal ini penting dilakukan orang tua, terutama saat anak menghadapi masalah. Jika orang tua tidak komunikatif, kurang perhatian, apalagi bersikap otoriter, maka bukan mustahil anak menjadi frustrasi, bahkan berani berbuat hal-hal di luar batas, termasuk pergaulan bebas.
3. Menanamkan Sikap Hormat pada Orang Tua dan Memperkenalkan Batas Pergaulan Sejak Dini
Sikap hormat anak pada orang tua dan juga batas pergaulannya juga sudah ditanamkan Al-Quran sejak dini. Hal ini bertujuan agar anak mampu menghargai hak privasi orang tuanya. Demikian sebagaimana ditetapkan dalam Al-Quran: “Wahai mereka yang telah beriman, hendaklah budak-budakmu dan anak-anakmu yang belum cukup umur meminta izin kepadamu untuk masuk (kamarmu) dalam tiga waktu. Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan kainmu sewaktu sembahyang dzuhur, dan sesudah sembahyang isya. Itulah tiga aurat bagimu.” (QS. Al-Nur [24]: 58).
Melalui ayat ini, Al-Qur'an menanamkan sikap hormat anak pada orang tuanya sekaligus menghormati hak pribadi orang tuanya. Anak menjadi terbiasa mengetuk pintu saat hendak masuk kamar orang tuanya, terutama saat-saat orang tua sedang istirahat dan tidak menutup aurat.
Di sisi lain, ayat ini bertujuan agar anak tidak melihat aurat orang tua atau aktivitas orang tua yang tidak selayaknya terlihat oleh anak. Sebab, boleh jadi perilaku menyimpang anak atau perilaku bebas anak, disebabkan oleh longgarnya pergaulan orang tua dengan mereka.
Namun, tentu saja cara ini mulai ditanamkan saat anak sudah melewati usia balita dan mulai terpisah tidur dengan orang tua. Mulai pula ajarkan batasan-batasan aurat dan cara menutupnya. Tanamkan rasa malu pada mereka jika tidak menutupinya. Bahkan, tak ada salahnya diperkenalkan siapa saja yang menjadi mahramnya dan siapa yang bukan mahramnya.
4. Membiasakan Puasa Sunnah pada Anak
Selain pembiasaan ibadah wajib, pembiasaan ibadah sunnah, seperti puasa, juga cukup bagus, baik bagi dewasa, remaja, maupun anak. Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “Namun, siapa saja yang tidak mampu (menikah), maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah penekan nafsu syahwat baginya,” (H.R. Muslim).
Anjuran berpuasa sunnah pada hadits ini asalnya memang diperuntukkan bagi laki-laki dewasa yang belum sanggup menikah. Sebab, berpuasa bermanfaat untuk menekan atau mengurangi libido atau hasrat seksual. Namun tidak ada salahnya kebiasaan puasa sunnah ini ditanamkan pada anak, terutama anak remaja. Tujuannya agar setelah memasuki masa puber atau dewasa ia menjadi terbiasa melakukannya, dan mampu mengendalikan hasrat seksualnya.
5. Batasi dan Arahkan Pergaulan Anak
Pergaulan sangat menentukan karakter dan perilaku anak. Boleh jadi anak yang baik, bisa berubah perilakunya akibat pergaulan dengan teman-temannya yang kurang baik. Pentingnya teman yang baik juga pernah diumpamakan oleh Rasulullah saw.:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Artinya: “Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi, ada kalanya penjual minyak wangi itu akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu mendapatkan aroma wanginya. Sedangkan pandai besi ada kalanya (percikan apinya) akan membakar bajumu atau kamu akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Oleh sebab itu, untuk menjaga anak dari perilaku buruk dan bebas, maka batasi pergaulannya dengan lawan jenisnya, arahkan pula pergaulannya bersama teman-teman yang baik. Selain itu, arahkan dan sibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Termasuk dalam konteks ini, awasi pula tontonan sehari-harinya.
Batasi pula penggunaan gadget atau ponselnya. Sebab, tak sedikit anak yang terjerumus pada pergaulan bebas atau penyimpangan seksual akibat tayangan yang ditontonnya. Dan yang tak kalah penting, pilihkan tempat pendidikan yang terbaik dan padat kegiatan, sehingga anak tidak memiliki banyak waktu untuk bermain dan terbawa pergaulan luar.
6. Memohon Perlindungan dan Diberi Anak Saleh
Doa memohon keturunan saleh ini banyak terdapat dalam Al-Qur'an, antara lain doa Nabi Ibrahim as:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh,” (QS. As-Saffat: 100).
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku,” (QS. Ibrahim: 40).
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Demikianlah pola didik anak agar kelak menjadi anak yang baik dan mampu menjauhi pergaulan bebas. Wallahu a'lam.
Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat