Tafsir

Etika Menghadiri Resepsi dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an

NU Online  ·  Sabtu, 14 Juni 2025 | 07:00 WIB

Etika Menghadiri Resepsi dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an

Ilustrasi resepsi permikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Resepsi adalah pertemuan yang diselenggarakan secara resmi dengan berbagai pernak-perniknya. Biasanya, pihak penyelenggara memberikan surat undangan dan tempatnya dihias indah serta disiapkan aneka makanan dan minuman istimewa. Resepsi juga identik dengan pesta perayaan seperti pernikahan, sunatan, atau acara lainnya sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah. Dalam ajaran Islam, resepsi kerap disebut walimah dan dihukumi sunnah untuk dilakukan. Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazi dalam kitabnya berkata:

 

والوليمة على العُرس مستحبة). والمراد بها طعام يتخذ للعرس. وقال الشافعي: تصدق الوليمة على كل دعوة لحادث سرور. وأقلها للمكثر شاةٌ، وللمقل ما تيسر

 

Artinya: “Mengadakan walimah atas acara pernikahan dihukumi sunnah. Yang dimaksud walimah ialah jamuan yang dihidangkan pada acara pernikahan. Imam Syafii berkata: walimah mencakup pada setiap undangan sebab adanya momen yang membahagiakan. Walimah minimalnya bagi orang yang kaya ialah satu ekor kambing, sedangkan bagi orang yang miskin ialah yang mudah baginya.” (Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazi, Fathul Qorib, [Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah: 2014], hal 131)

 

Dalam Al-Qur’an, di antara ayat yang memiliki kaitan dengan resepsi atau walimah ialah surat Al-Ahzab ayat 53. Ayat ini sebenarnya merupakan penjelasan Allah Swt terkait etika saat berkunjung ke rumah Nabi Muhammad Saw, dan juga merupakan bagian dari ayat hijab. Berikut adalah bunyi ayatnya:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْۖ وَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah Nabi (wafat). Sesungguhnya yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah”. (Qs. Al-Ahzab: 53)

 

Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsir Rawai’ Al-Bayan menjelaskan, ayat di atas merupakan perintah Allah Swt kepada orang-orang beriman untuk menerapkan etika dan adab-adab dalam Islam, terlebih saat bertamu ke rumah Nabi Muhammad Saw.

 

Syekh Muhammad Ali juga menyebutkan bahwa pada dasarnya surat Al-Ahzab ayat 53 di atas memiliki dua kandungan makna yang penting yaitu pertama, etika dalam permasalahan makan dan meminta izin serta memasuki rumah yang termasuk bagian dari etika walimah.

 

Kedua, etika saat berbicara dengan perempuan, tidak bercampur dengan perempuan atau berduaan dengan perempuan lain yang termasuk bagian dari bagian ayat hijab. (Syekh Muhammad Ali As-Shabuni, Rawaiul Bayan, [Beirut, Muassasah Manahil Al-Irfan: 1981], juz II, hal 342).

 

Lebih lanjut, dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa surat Al-Ahzab ayat 53 di atas menjelaskan di antaranya etika dalam menghadiri resepsi atau walimah dalam Islam. Berikut adalah beberapa etika menghadiri walimah yang dapat diambil dari ayat di atas:

 

Pertama, tidak diperbolehkan menghadiri walimah tanpa adanya undangan. Ulama sepakat bahwa memasuki rumah orang lain tanpa seizin pemilik rumah dihukumi haram, memakan makanan orang lain tanpa seizin pemiliknya juga dihukumi haram. Hal ini juga berlaku bagi walimah, tidak diperkenankan bagi orang yang tidak diundang untuk mengikuti walimah. Syekh Muhammad Ali berkata:

 

وقد دلت الآية الكريمة على حرمة دخول بيوت النبي صلى الله عليه وسلم إلا بعد الإذن، وعلى حرمة (التطفل) وهو أن يحضر إلى الوليمة بدون دعوة، وفاعله يسمى بـ (الطفيلي)، والحكم عام في جميع البيوت، فلا يجوز لإنسان أن يدخل بيت أحد بدون إذنه، ولا أن يتناول الطعام بدون رضى صاحبه، وهذا أدب رفيع من الآداب الاجتماعية التي أرشد إليها الإسلام

 

Artinya: “Ayat di atas menunjukkan keharaman memasuki rumah Nabi Muhammad Saw tanpa seizinnya, juga menunjukkan keharaman tathafful yaitu menghadiri walimah tanpa adanya undangan, pelakunya disebut thufaili. Hukumnya bersifat general untuk seluruh rumah. Tidak diperkenankan memasuki rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, juga tidak diperkenankan memakan makanan tanpa kerelaan pemiliknya. Ini merupakan etika yang luhur yang termasuk dalam bagian tatakrama bermasyarakat dalam Islam”. (Rawaiul Bayan, hal 350).

 

Kedua, keharusan menghadiri walimah selagi tidak adanya uzur syar’i. Nabi Muhammad Saw bersabda:

 

(اِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ اِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخاري

 

Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian diundang acara walimah, hendaknya dia menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Uzur syar’i yang dimaksud di sini ialah sesuatu yang menghalangi untuk hadir pada undangan walimah. Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazi dalam hal ini berkata:

 

إلا من عذر) أي مانع من الإجابة للوليمة، كأن يكون في موضع الدعوة من يتأذي به المدعو أو لا تليق به مجالسته

 

Artinya: “Kecuali terdapat uzur yang menghalangi untuk menghadiri walimah seperti halnya di dalam tempat acara terdapat orang yang dapat menyakiti orang yang diundang atau tidak layak untuk diajak duduk bersama”. (Fathul Qorib, hal. 131)

 

Ketiga, bersegera pulang setelah menikmati hidangan. Di antara tata krama menghadiri acara yang dapat dipahami pada ayat di atas ialah tidak berlama-lama setelah selesai menghadiri undangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak memberatkan tuan rumah.

 

فالمكث بعد الطعام غير مرغوب فيه على الإطلاق ولم يبق إلا أن يفرغ أهل البيت لبعض شأنهم، والبقاء بعد ذلك نوع من الإثقال غير محمود، يتنافى مع الأدب الرفيع، والذوق السليم

 

Artinya: “Berdiam setelah menikmati makanan tidak dianjurkan secara mutlak, sedangkan tuan rumah hendak menyelesaikan acara. Berdiam diri pada kondisi tersebut merupakan bentuk memberatkan yang tidak terpuji yang tidak sesuai dengan akhlak yang luhur dan perasaan yang sehat”. (As-Shabuni, hal 351).

 

Kesimpulannya, dalam ajaran Islam menghadiri walimah memiliki beberapa etika yang harus diperhatikan untuk dilakukan oleh orang yang menghadirinya. Bagi umat Islam, menerapkan ajaran tersebut bisa menjadi contoh wajah Islam yang baik di masyarakat. Wallahu a'lam.

 

Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta.