Tasawuf/Akhlak

3 Hikmah Talak dalam Perspektif Tasawuf 

Senin, 23 Juni 2025 | 09:00 WIB

3 Hikmah Talak dalam Perspektif Tasawuf 

Ilustrasi talak. (Foto: NU Online)

Talak atau perceraian merupakan salah satu hukum yang disyariatkan dalam ajaran Islam sebagai jalan keluar terakhir saat menghadapi dinamika ikatan pernikahan. Dalam kajian fiqih, talak dipandang sebagai perbuatan yang halal, namun sangat dibenci Allah Swt, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

 

اَبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ

 

Artinya: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud).

 

Di luar pemahaman hukum fiqih yang telah kita paparkan di atas, para sufi memandang talak dengan cara yang lebih mendalam dan batiniah. Dalam perspektif tasawuf, talak bukanlah sekadar peristiwa pemutusan ikatan lahiriah antara suami dan istri, tetapi juga peristiwa spiritual yang mengandung pelajaran rohani.

 

Dalam dimensi tasawuf, setiap peristiwa yang terjadi, termasuk talak, diyakini sebagai bagian dari takdir Allah yang sarat akan hikmah sekaligus ujian bagi jiwa manusia. Talak menjadi cermin bagi manusia untuk mengenali kelemahan dirinya, membersihkan hati dari sifat buruk seperti amarah, dendam, dan egoisme, serta sebagai sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah melalui sikap sabar, ikhlas, dan rida.

 

Setidaknya ada 3 makna dan hikmah di balik talak dalam perspektif tasawuf,  yaitu sebagaimana berikut:

 

1.  Sarana pembersih jiwa

Talak merupakan sebuah musibah yang menimpa manusia, karena ia merupakan perpisahan antara pasangan yang telah mengikatkan diri dalam pertalian cinta yang sah. Salah satu inti ajaran tasawuf adalah setiap peristiwa dalam kehidupan ini, termasuk talak, dipandang sebagai ujian bagi jiwa untuk menyucikan diri dari nafsu amarah dan syahwat.

 

Talak menjadi sarana untuk muhasabah atau introspeksi, agar seseorang menyadari kelemahan dirinya dan menjauhkan diri dari sifat buruk. Imam Al-Ghazali menulis:

 

فكل بَلَاءٍ فِي الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ مِثَالُهُ الدَّوَاءُ الَّذِي يؤلم في الحال وينفع في المآل

 

Artinya : “Setiap musibah dalam urusan dunia seperti halnya obat: terasa menyakitkan pada awalnya, tetapi membawa manfaat dan kebaikan pada akhirnya.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin [Beirut: Dar Al ma’rifah, t.t] jilid IV, hal 140)

 

Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ujian hidup, termasuk talak atau perpisahan, walau terasa pahit di permukaan, sebenarnya adalah sarana penyembuhan jiwa yang membawa kebaikan dalam jangka panjang. Kepahitan yang dirasakan seorang hamba dalam hidupnya dapat menjadi momentum bagi dirinya untuk membersihkan hati dari segala sifat yang tidak terpuji.

 

2. Rida pada takdir

Para sufi sejatinya memandang talak bukan sebagai akhir dari kehidupan ini, tetapi sebagai bagian dari takdir Allah yang harus diterima dengan hati yang rida. Perceraian menjadi satu bentuk takdir yang mengingatkan seorang hamba bahwa semua yang ada di dunia hanyalah titipan, dan keterikatan pada makhluk tidak boleh mengalahkan cinta kepada Sang Khalik, sebagaimana hadits Nabi yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar Al ma’rifah,t.t) jilid IV, hal 140:

 

ونظر ﷺ إلى السماء فضحك فسئل فقال عجبت لقضاء الله تعالى للمؤمن إن قضى له بالسراء رضي وكان خيرًا له وإن قضى له بالضراء رضي وكان خيرًا له (رواه مسلم

 

Artinya: “Nabi ﷺ memandang ke langit lalu tersenyum. Ketika ditanya sebabnya, beliau bersabda: Aku kagum pada ketetapan Allah untuk seorang mukmin. Jika Allah memberinya kebahagiaan, ia ridha, dan itu menjadi kebaikan baginya. Jika Allah memberinya kesusahan, ia pun ridha, dan itu pun menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim) 

 

Makna yang dikandung hadits ini sangat mendalam. Dalam ajaran tasawuf, seorang mukmin sejati akan selalu menerima takdir Allah dengan hati yang rida, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, karena semua itu adalah jalan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah.

 

3. Jalan muhasabah cinta ilahi 

Tasawuf memandang bahwa cinta hakiki hanyalah cinta kepada Allah. Dalam memaknai talak yang memisahkan seseorang dari pasangannya, menjadi momentum bagi seorang hamba untuk kembali menata hatinya agar tidak terjerat cinta duniawi yang seringkali menyesatkan, dan berusaha menuju cinta Ilahi yang murni, sebagaimana salah satu hikmah yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Atha’illah, kitab Al-Hikam:

 

الطي الحقيقي ان تطوي مسافة الدنيا عنك حتى ترى الاخرة اقرب اليك منك

 

Artinya: “Perjalanan singkat yang sesungguhnya adalah jika engkau memperpendek jarak dunia hingga kau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu.

 

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa cara memperpendek jarak dunia adalah dengan menjauhinya, tidak selalu menyibukkan diri dengan kenikmatan dan syahwatnya, dan tidak terlena oleh dunia. Akhirat lebih dekat bermakna ia selalu di depan matamu dan tidak jauh dari hatimu. Ini adalah perjalanan singkat yang sesungguhnya. Dengannya Allah memuliakan para wali Allah dan dengannya pula peribadatan mereka terwujud dengan sempurna.

 

Talak dalam tasawuf menghadirkan perspektif yang berbeda dengan cara pandang fiqih yang membahas hukumnya, tata cara, dan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya. Tasawuf menyuguhkan cara pandang yang lebih menekankan pada pembersihan dan penataan hati. Para sufi memandang bahwa setiap peristiwa, termasuk perceraian, mengandung hikmah ilahiyah yang mengarahkan hati untuk melepaskan keterikatan dunia dan menguatkan cinta sejati hanya kepada Allah Swt.

 

Melalui talak, seorang mukmin diajak untuk melipat jarak dunia dari hatinya, hingga akhirat dan ridha Allah terasa lebih dekat daripada dirinya sendiri. Dengan demikian, talak bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bisa menjadi awal dari penyucian diri dan peluang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan ketulusan hati, Wallahu A’lam.

 

Ahmad Hashif Ulwan, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Az-Zaitunah Tunisia.