Bahtsul Masail

Apakah Otomatis Seorang Istri Jatuh Talak Sebab Suaminya Tidak Shalat?

Jum, 13 Januari 2023 | 10:00 WIB

Apakah Otomatis Seorang Istri Jatuh Talak Sebab Suaminya Tidak Shalat?

Benarkah talak jatuh otomatis ketika suami tidak melaksanakan shalat. (Ilustrasi: NU Online/freepik).

Assalamu alaikum wr. wb.

Yth. Redaktur NU Online. Izin bertanya, apakah benar bahwa istri akan otomatis tertalak manakala sang suami tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu? Saya sempat membaca suatu artikel yang menyatakan bahwa talak akan jatuh secara otomatis apabila sang suami tidak mengerjakan kewajiban shalat lima waktu. Demikian. Mohon jawabannya. Wassalamu 'alaikum wr. wb. (Dedi Febri)


Jawaban

Wa alaikum salam wr.wb.

Penanya yang budiman. Tidaklah benar istri akan tertalak secara otomatis ketika suaminya tidak melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Hal ini sangat berkaitan dengan sebab yang melatarbelakangi seorang suami itu tidak melaksanakan shalat, yang bisa menyebabkan dirinya menjadi murtad, sehingga menyebabkan jatuhnya talak (furqah).


Seorang muslim yang meninggalkan shalat (tārik al-shalāh) tidaklah otomatis menjadi kafir atau murtad yang mengeluarkan statusnya dari agama Islam (nonmuslim). Jumhur ulama (mazhab Maliki, Hanafi, dan Syafii) secara mutlak menyatakan bahwa seseorang yang tidak melaksanakan shalat wajib bukan sebab membangkang atau mengingkari kewajiban shalat (juhūdan) ataupun menganggap remeh (istikhfāf) atau mengolok-olok (istihzā’), melainkan misalnya sebab mengabaikan atau tidak sungguh-sungguh (tahāwun) dan malas (kaslan, takāsulan), tidaklah menjadi kafir, tetapi menjadi fasiq.


Imam al-Nawawî (631-676 H), pensyarah Shahih Muslim menjelaskan:


وأما تارك الصلاة فإن كان منكرا لوجوبها فهو كافر بإجماع المسلمين، خارج من ملة الإسلام، إلا أن يكون قريب عهد بالإسلام ولم يخالط المسلمين مدة يبلغه فيها وجوب الصلاة عليه، وإن كان تركه تكاسلا مع اعتقاده وجوبها كما هو حال كثير من الناس، فقد اختلف العلماء فيه، فذهب مالك والشافعي --  رحمهما الله-- والجماهير من السلف والخلف إلى أنه لا يكفر بل يفسق ويستتاب، فإن تاب وإلا قتلناه حدا كالزانى المحصن، ولكنه يقتل بالسيف، وذهب جماعة من السلف إلى أنه يكفر، وهو مروي عن علي بن أبى طالب --كرم الله وجهه-- وهو إحدى الروايتين عن أحمد بن حنبل --رحمه الله--، وبه قال عبد الله بن المبارك وإسحاق بن راهويه، وهو وجه لبعض أصحاب الشافعى --رضوان الله عليه--، وذهب أبو حنيفة وجماعة من أهل الكوفة والمزني صاحب الشافعي --رحمهما الله-- إلى أنه لا يكفر ولا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي. واحتج من قال بكفره بظاهر الحديث الثانى المذكور --(أي حديث: بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة)-- وبالقياس على كلمة التوحيد، واحتج من قال لا يقتل بحديث "لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث"، وليس فيه الصلاة، واحتج الجمهور على أنه لا يكفر بقوله تعالى: ﴿إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء﴾ وبقوله صلى الله عليه وسلم: "من قال لا إله الا الله دخل الجنة"، "من مات وهو يعلم أن لا إله الا الله دخل الجنة"، "ولا يلقى الله تعالى عبد بهما غير شاك فيحجب عن الجنة"، "حرم الله على النار من قال لا إله إلا الله"، وغير ذلك


Artinya: “Adapun orang yang meninggalkan shalat, maka bila ia mengingkari kewajiban shalat itu, maka ia menjadi kafir menurut ijma’ kaum muslimin, keluar dari agama Islam, kecuali bila ia baru masuk Islam dan belum bergaul dengan kaum muslimin dalam masa yang sampai kepadanya prihal kewajiban shalat; dan (akan tetapi) bila meninggalkan shalat itu karena malas serta tetap meyakini kewajibannya, sebagaimana kondisi mayoritas orang, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat: Imam Malik r.a., Imam Syafi’i r.a. dan Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang tersebut tidaklah menjadi kafir tetapi fasiq, dan disuruh bertobat...., dan sekolompok ulama salaf berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir.... Imam Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Ahli Kufah dan al-Muzanni (murid imam Syafii) berpendapat bahwa orang tersebut tidaklah dihukum bunuh tetapi dihukum ta’zir dan dipenjara hingga mau shalat. Ulama yang berpendapat orang tersebut menjadi kafir menggunakan dalil zahir hadits “(Pembeda) di antara seseorang dan di antara syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat”, dan qiyas atas (mengucapkan) kalimat Tauhid; dan Ulama yang berpendapat orang tersebut tidak dihukum bunuh menggunakan dalil hadits: “Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali sebab salah satu dari tiga (perkara)”, dan tidak termasuk di dalamnya shalat. Jumhur Ulama berargumen bahwa orang tersebut tidaklah menjadi kafir dengan dalil firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki....” (QS. al-Nisā’ [4]: 48), dan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mengucapkan lā ilāha illallāh, maka masuk surga.”.... (Abû Zakariyā Yahyā ibn Syaraf al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, Cet. ke-4, Kairo: Dār al-Hadîts, 2001, Juz I, halaman 348)


Dalam mazhab Hanbali ada pendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat wajib menjadi kafir dengan syarat adanya seruan, ajakan atau himbauan (al-di‘āyah) dari sang imam (pemimpin/pemerintah) atau wakilnya agar ia shalat.


Bila tidak ada seruan, ajakan, atau imbauan dari pemimpin itu maka seseorang yang meninggalkan shalat wajib tersebut tidaklah menjadi kafir (murtad). Akan tetapi, ada riwayat dari Imam Ahmad yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama, sebagaimana dikemukakan Ibnu Qudāmah (w. 630 H) dalam Kitabnya al-Mughnî ‘alā Mukhtashar al-Khiraqî (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009, juz I halaman 526).


Sungguhpun demikian, seorang yang memeluk agama Islam, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat sebab malas tersebut berarti melakukan perbuatan dosa (maksiat), dan bisa menyebabkan dosa besar (min al-kabā'ir), tetapi tidak menyebabkannya keluar dari Islam (mukhrijan ‘an al-Islām).


Pada umumnya, di kalangan masyarakat awam, seseorang yang tidak melaksanakan kewajiban shalat bukanlah sebab membangkang atau mengingkari kewajiban shalat itu, melainkan sebab malas mengerjakannya. Dengan berpegang pada pandangan jumhur ulama, yang menyatakan seseorang yang meninggalkan shalat tidaklah menjadi kafir (murtad), maka status pernikahan orang tersebut tetap sah, tidak terjadi perceraian (furqah).


Dengan demikian menjadi jelas bahwa status pernikahan seorang suami yang tidak melaksanakan kewajiban shalat tersebut tetaplah sah, istrinya tidak menjadi tertalak, karena suaminya itu masih dihukumi sebagai muslim, tidak murtad.


Ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat wajib sebab membangkang atau mengingkari kewajiban shalat itu (juhȗdan) menyebabkan seseorang menjadi murtad atau kafir (nonmuslim). Memang di antara sebab yang menjadikan jatuhnya talak (perceraian) adalah murtad.


Dengan demikian, dalam kasus seseorang yang meninggalkan shalat yang menyebabkan murtad (yaitu membangkan atau mengingkari ataupun menista kewajiban shalat), maka status hukum pernikahannya ditafshil (diperinci): apabila kondisi murtadnya itu sebelum dukhȗl (bersenggama) maka berlangsunglah perceraian (furqah), tetapi bila terjadinya murtad itu setelah bersenggama maka perceraiannya ditangguhkan (tawaqquf), yakni bila dalam masa ‘iddah istrinya, suami masuk Islam kembali maka status pernikahannya tetap langgeng.


Akan tetapi bila dalam masa ‘iddah itu dia tidak masuk Islam kembali, maka jatuhlah perceraian di antara keduanya dihitung sejak masa murtadnya tersebut, dan pada masa penangguhan cerai sebab murtad itu haram berhubungan intim (senggama).


Syekh al-Islām Abȗ Zakariyā al-Anshārî (825-925 H) menjelaskan:


(وَرِدَّةٌ) مِنْ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا(قَبْلَ دُخُولٍ) وَمَا فِي مَعْنَاهُ مِنْ اسْتِدْخَالِ مَنِيٍّ (تُنَجَّزُ فُرْقَةٌ)بَيْنَهُمَا لِعَدَمِ تَأَكُّدِ النِّكَاحِ بِالدُّخُولِ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ (وَبَعْدَهُ) توقفها (فَإِنْ جَمَعَهُمَا إسْلَامٌ فِي الْعِدَّةِ دَامَ نِكَاحٌ) بَيْنَهُمَا لِتَأَكُّدِهِ بِمَا ذُكِرَ (وَإِلَّا فَالْفُرْقَةُ) بَيْنَهُمَا (مِنْ) حِينِ(الرِّدَّةِ) مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا(وَحَرُمَ وَطْءٌ) فِي مُدَّةِ التَّوَقُّفِ لِتَزَلْزُلِ مِلْكِ النِّكَاحِ بِالرِّدَّةِ(وَلَا حَدَّ) فِيهِ لِشُبْهَةِ بَقَاءِ النِّكَاحِ بَلْ فِيهِ تَعْزِيرٌ وَتَجِبُ الْعِدَّةُ مِنْهُ....


Artinya: (Murtad) dari suami-istri atau salah satu dari keduanya (sebelum dukhȗl), [senggama] dan perbuatan semacam memasukkan sperma (maka diberlakukanlah perceraian) di antara keduanya, karena tidak ada pengokohan nikah dengan dukhul atau yang semakna dengannya (dan –murtad yang terjadi-- setelahnya --dukhul--) maka ditangguhkan (Maka bila Islam menyatukan keduanya --kembali-- dalam masa ‘iddah, maka tetaplah [status] nikah) di antara keduanya... (dan jika tidak --kembali Islam-- maka –jatuhlah-- perceraian) di antara keduanya --dihitung-- (dari) masa (murtad) keduanya atau salah satu dari keduanya. (Dan haram bersenggama), dalam masa penangguhan cerai itu... (dan tidak ada hukum hadd)... tetapi hukum takzir.... (Syekh al-Islām Abȗ Zakariyā al-Anshārî, Fath al-Wahhāb bi-Syarh Manhaj al-Thullāb, Semarang: Thaha Putra, tanta tahun, juz II, halaman 46). Wallahu a’lam bis shawwab.


Dengan jawaban ini menjadi jelas dan dipahami dengan baik. Semoga shalat kita semua terjaga dengan sebaik-baiknya. Amiin.


Ustadz Ahmad Ali MD, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta