Bahtsul Masail

Air Bercampur Garam Ruqyah, Apakah Bisa Dipakai Bersuci?

Sel, 28 Mei 2024 | 11:00 WIB

Air Bercampur Garam Ruqyah, Apakah Bisa Dipakai Bersuci?

Ilustrasi air. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu'alaikum, Ustadz/ Ustadzah Admin. Maaf mengganggu, ada yang mau saya tanyakan. Kalau kita campurkan air yang di kolam dengan garam (tapi garamnya garam ruqyah gitu, ustadz), apa air itu bisa untuk bersuci (suci dan mensucikan)? Bisa buat mandi wajib, berwudhu dan lain sebagainya? (Pasha Herani)

 

Jawaban

Walaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca NU Online yang kami hormati. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan lahir batin. Amiin

 

Sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan, akan kami perjelas terlebih dahulu bahwa syarat bersuci, walaupun bersuci sunah meliputi wudhu, mandi dan menghilangkan najis adalah menggunakan air mutlak. 

 

Air mutlak adalah penamaan air yang tidak terikat dengan apapun, atau penamaan air tersebut sesuai dengan realitanya, seperti air laut dan air sumur. Berbeda dengan air yang selalu terikat dengan nama lain seperti air mawar, air teh dan lain sebagainya. Air mutlak yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah belum digunakan untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis. Air jenis ini dalam istilah fiqih disebut air musta'mal

 

Disyaratkan juga tidak adanya perubahan mencolok pada air dari sisi rasa, warna atau baunya yang sekira dapat mencegah kemutlakan nama air. Seperti air dimasak kemudian dicampur dengan bumbu rempah dan penyedap rasa, meskipun airnya jernih namun namanya berubah menjadi air sayur. Air jenis ini dalam fikih disebut dengan air mutaghayyir

 

Adapun perubahan sedikit pada air yang sekiranya tidak sampai mengubah pada kemutlakan air, maka perubahan tersebut tidak menjadi masalah, artinya airnya tetap masuk kategori air mutlak. 

 

Perubahan air ini hanya dapat terjadi apabila disebabkan oleh sesuatu yang suci dan dapat bercampur dengan air namun air dapat terhindar dari campuran tersebut, seperti minyak jafaron dan dedaunan yang dijatuhkan ke dalam air kemudian hancur di dalamnya. (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in [Beirut: Darul Ibnu Hazm: 2004], cetakan I, halaman 41-43).

 

Selanjutnya, jika yang mencampuri air itu adalah garam ruqyah, apakah membuat air menjadi berubah (mutaghayyir) sehingga tidak lagi menjadi air mutlak dan tidak dapat digunakan untuk bersuci?

 

Jika yang dimaksud garam ruqyah adalah garam dapur yang dibacakan ayat-ayat al-Qur'an dan doa-doa tertentu sebagai sarana pengobatan, maka asal usulnya sama dengan garam dapur pada umumnya, yakni berasal dari air laut yang dipanaskan di bawah sinar matahari hingga airnya menguap dan menyisakan kristal butiran garam.  

 

Berkaitan dengan dengan pertanyaan pembaca, apakah garam dapat merusak kesucian air? ulama madzhab Syafi'i dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut:  

 

وَالْمُتَغَيِّرُ بِالْمِلْحِ فِيهِ أَوْجُهٌ، أَصَحُّهَا يَسْلُبُ الْجَبَلِيُّ مِنْهُ دُونَ الْمَائِيِّ. وَالثَّانِي: يَسْلُبَانِ. وَالثَّالِثُ: لَا يَسْلُبَانِ

 

Artinya, “Adapun air yang berubah sebab bercampur garam, dalam masalah ini terdapat sejumlah pandangan ulama. Pertama, pendapat yang paling shahih, yaitu garam gunung dapat merusak kesucian air, tidak dengan garam laut. Kedua, garam gunung dan garam laut dapat merusak kesucian air. Ketiga, garam gunung dan garam laut tidak merusak kesucian air." (Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin [Beirut, Darul Fikr: tt] juz I halaman 11).

 

Dengan demikian, menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi'i, garam yang dapat merusak kesucian air adalah garam gunung, bukan garam air laut. Alasannya karena garam laut asal mulanya adalah air yang mengeras sebagaimana salju. Sehingga perubahan pada air mutlak karena garam laut adalah perubahan yang ditoleransi. Artinya, garam laut tidak merusak kesucian air mutlak dan dapat digunakan untuk bersuci. 

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Minhajul Qawim berkata:  

 

 ولا بملح مائي* لانعقاده من عين الماء كالثلج بخلاف الملح الجبلي فيضر التغير به ما لم يكن بمقر الماء أو ممره

 

Artinya, "Tidak (berubah) sebab bercampur garam air laut karena garam laut mengeras dari materi air seperti salju. Berbeda dengan garam gunung, air yang berubah sebab bercampur dengan gram gunung menjadi rusak (kesuciannya) selama garam gunung tersebut tidak berada pada tempat menetap atau tempat mengalirnya air." (Ibnu Hajar al-Haitami, Minhajul Qawim, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2000], cetakan I, halaman 12). 

 

Selaras dengan penjelasan Imam Ibnu Hajar, Syekh Bakri Syatha dalam I'anatut Thalibin mengatakan: 

 

وقوله: وملح ماء أولا إن كان التغير بملح ناشئ من الماء، فإنه لا يضر أيضا لكونه منعقدا من الماء، فسومح فيه، بخلاف الجبلي فإنه يضر لكونه غير منعقد من الماء، فهو مستغنى عنه

 

Artinya, "Ungkapan mushanif: Dan garam air laut yakni, dan tidak (mempengaruhi kesucian air) apabila perubahan airnya sebab bercampur dengan garam yang asal mulanya dari air, maka ia tidak merusak kesucian air karena garam laut terbentuk dari air, maka perubahannya ditoleransi. Berbeda dengan garam gunung yang dapat merusak (kesucian air) karena garam gunung tidak terbentuk dari air, maka ia termasuk sesuatu yang pencampurannya dapat dihindari dari air." (Abu Bakar Utsman Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati As-Syafi'i, I'anatut Thalibin, [Beirut, Dar-Fikr: tt], juz I halaman 40).

 

Walhasil, menurut pendapat paling shahih dalam mazhab Syafi‘i, air yang bercampur dengan garam ruqyah masih menjadi air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci meskipun rasanya asin karena garam tersebut tidak merusak kesucian air. Garam laut asalnya dari air yang mengkristal setelah dipanaskan sinar matahari sehingga perubahan air karena bercampur dengannya dapat ditoleransi. Berbeda dengan garam gunung, misalnya garam gunung Himalaya, garam gunung tidak terbentuk dari air sehingga campuran garam gunung dengan air itu dapat dihindari. 

 

Namun demikian, ada pendapat yang tidak membedakan antara keduanya. Artinya, baik garam laut maupun garam gunung sama-sama tidak merusak kesucian air sehingga airnya dapat digunakan untuk bersuci. Demikian semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo