Bahtsul Masail

Bagaimana Shalat Jumat Ketika Masjid Penuh Sesak dengan Jamaah?

Sel, 31 Mei 2022 | 09:15 WIB

Bagaimana Shalat Jumat Ketika Masjid Penuh Sesak dengan Jamaah?

Masjid pada shalat Jumat sering kali sesak oleh jamaah terutama masjid-masjid di sekitar perkantoran. Sebagian jamaah perkantoran yang ingin bergabung bahkan tidak kebagian tempat.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, saya mau bertanya. Masjid dekat kantor saya sering kali penuh sesak oleh jamaah karyawan dari perkantoran sekitar masjid. Bahkan tidak jarang jamaah yang tidak kebagian tempat shalat. Bagaimana dengan shalat Jumatnya? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Husaini/Jakarta Selatan)


Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Masjid pada shalat Jumat sering kali sesak oleh jamaah terutama masjid-masjid di sekitar perkantoran. Sebagian jamaah perkantoran yang ingin bergabung bahkan tidak kebagian tempat.


Pada masalah seperti kami akan mengutip sejumlah pandangan ulama yang dirangkum oleh Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majemuk. Pada masalah ini sejumlah ulama menyarankan solusi yang berbeda atas masalah keterbatasan tempat shalat Jumat.


في مذاهب العلماء في الزحام أما إذا زحم عن السجود وأمكنه السجود علي ظهر إنسان فقد ذكرنا أن الصحيح في مذهبنا أنه يلزمه ذلك وبه قال عمر بن الخطاب ومجاهد والثوري وأبو حنيفة وأحمد واسحق وأبو ثور وداود وابن المنذر وقال عطاء والزهرى والحكم ومالك لا يجوز ذلك بل ينتظر زوال الزحمة فلو سجد لم يجزئه


Artinya, “Pandangan sejumlah mazhab perihal kondisi (masjid) sesak. Adapun seseorang yang terhalang sujud karena (masjid) sesak dan hanya memungkinkan ia sujud di atas punggung jamaah (di depannya), maka telah kami sebutkan bahwa pendapat yang sahih dalam mazhab kami bahwa ia wajib melakukannya. Pendapat ini yang dikatakan Sayyidina Umar ra, Mujahid, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibnul Mundzir. Sedangkan Atha, Az-Zuhri, Al-Hakam, dan Malik berpendapat, itu (sujud di punggung orang lain) tidak boleh, tetapi ia harus menunggu sesak berkurang. Kalau ia (memaksakan) bersujud, niscaya tidak memadai,” (Imam An-Nawawi, Al-Majemuk, [Kairo, Maktabah Tafikiyyah: 2010 M], halaman 404).


Adapun Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, jamaah yang berada di masjid penuh sesak boleh memilih antara sujud di atas punggung jamaah lainnya dan menunggu (lapang di depannya). Nafi, hamba Ibnu Umar, berpendapat, jamaah tersebut cukup memberi isyarat sujud.


Adapun kondisi sesak terus menerus hingga imam melakukan rukuk pada rakaat kedua, pendapat yang sahih menurut kami, jamaah tersebut wajib mengikuti imam. Ini pandangan Imam Malik dan satu riwayat paling sahih dari Imam Ahmad. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ia cukup menyibukkan diri dengan sujud.


Adapun orang yang terhalang rukuk atau sujud karena masjid penuh sesak hingga imam mengucapkan salam, maka menurut mazhab kami, makmum yang terhalang karena masjid penuh sesak telah keluputan shalat Jumat dan ia menyempurnakannya dengan shalat zuhur empat rakaat. Pandangan ini dipegang oleh Abu Ayub As-Sakhtiani, Qatadah, Yunus, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.


Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auza’i, Abu Hanifah, dan Ahmad berpendapat, jamaah tersebut cukup menyelesaikan shalat Jumatnya. Imam Malik mengatakan, aku senang kalau jamaah tersebut menyempurnakan shalatnya empat rakaat. (An-Nawawi: 358).


Dari berbagai pandangan ulama tersebut, kami menyarankan agar orang yang terhalang ruku' dan sujud karena masjid penuh sesak mengikuti solusi yang ditawarkan oleh Mazhab Syafi’i karena uzur ini jarang terjadi.


قوله (وَمَنْ زُحِمَ عَنْ السُّجُود فَأَمْكَنَهُ عَلَى عُضْوِ إنْسَانٍ فَعَلَه وَإِلَّا فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَنْتَظِرُ وَلَا يُومِئُ بِهِ) لِنُدْرَةِ هَذَا الْعُذْرِ وَعَدَمِ دَوَامِهِ


Artinya, “(Orang yang terhalang sujud karena kondisi sesak dan hanya memungkinkan dia bersujud di atas anggota tubuh jamaah lain, hendaklah ia melakukannya. Kalau tidak memungkinkan, menurut pendapat yang sahih, ia harus menunggu (lapang) dan tidak bersujud dengan isyarat) karena uzur yang jarang dan tidak terus menerus,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011 M], juz I, halaman 358).


Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)