Seorang anak bersedekah untuk tetangganya 1 juta rupiah dari hasil celengan atau tabungan anak itu sendiri, kemudian ibunya tahu dan tidak suka dengan nominal yang tersebut. Apakah anak itu salah karena sedekah tidak minta ijin ibunya dulu? Terimakasih.
Muhammad Jaelani
Plosokuning Minomartani NGaglik Sleman<>
NB: Bagaimana juga sedekah istri dengan menyisihkan uang belanja tanpa meminta izin suaminya.
Jawaban:
Penanya yang budiman, setelah membaca deskripsi masalah yang ditanyakan, kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sedekah di atas adalah sedekah tathawwu` atau yang biasa dikenal di kalangan umum dengan sebutan sedekah sunnah. Dalam konteks ini setidaknya ada beberapa hal yang berkaitkelindan, yaitu pihak yang memberikan sedekah (al-mutashaddiq), pihak yang menerima sedekah (al-mutashaddaq ‘alaih), harta yang dibuat sedekah (al-mutashaddaq bih), dan niyat sedekah.
Pertanyaan di atas berkaitan dengan pihak yang memberikan sedekah tathawwu’, karenanya penjelasan kami akan fokuskan pada hal yang pertama yaitu pihak yang memberikan sedekah. Bahwa sedekah tathawwu` adalah tabarru’ karenanya pihak pemberi sedekah haruslah ahl at-tabarru` (orang yang boleh memberikan sesuatu secara sukarela). Lantas siapakah ahlut tabarru’? Ahlut tabarru` adalah orang yang berakal, baligh, rasyid (cakap), dan memiliki kewenanggan untuk melakukan tasharruf (pengelolaan). Karena itu sedekah yang diberikan oleh seorang anak kecil tidaklah sah. Hal ini sebagimana dikemukakan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
أَنْ يَكُونَ الْمُتَصَدِّقُ مِنْ أَهْل التَّبَرُّعِ ، أَيْ : عَاقِلاً بَالِغًا رَشِيدًا ، ذَا وِلاَيَةٍ فِي التَّصَرُّفِ . وَعَلَى ذَلِكَ فَلاَ تَصِحُّ صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ مِنَ الصَّغِيرِ
“Seorang yang bersedekah haruslah ahli tabarru`, yaitu orang yang berakal, baligh, cakap, dan memiliki kewenangan untuk mengelola apa yang dimilikinya” (Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, cet-1, Mesir-Dar ash-Shofwah, juz, 36, h. 326).
Kendatipun demikian, seorang anak kecil (shabiyy) yang memberikan sedekah tanpa seizin ibu atau orang tuanya tidak dengan serta merta disalahkan. Sebab, tidak ada alasan baginya untuk dipersalahkan. Bahkan semestinya orang tua menamamkan sifat kedermawan dan suka menolong kepada orang yang sedang tertimpa kesusahan kepada anaknya.
Sedangkan penjelasan mengenai seorang istri yang bersedekah dengan menggunakan uang belanja tanpa seizin suami adalah sebagai berikut. Bahwa uang belanja tersebut pada dasarnya adalah harta suami, seorang istri hanya sebagai pihak yang mengelola harta tersebut, tentu dengan izin sang suami. Para fuqaha` sepakat bahwa seorang istri boleh memberikan sedekah dari harta suaminaya dengan izin yang jelas darinya. Sedangkan jika tanpa izin, menurut jumhurul ulama diperbolehkan sepanjang tidak dilarang sang suami dan jumlahnya sedekahnya sedikit. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab yang sama dengan di atas.
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَتَصَدَّقَ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا لِلسَّائِل وَغَيْرِهِ بِمَا أَذِنَ الزَّوْجُ صَرِيحًا . كَمَا يَجُوزُ التَّصَدُّقُ مِنْ مَال الزَّوْجِ بِمَا لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ ، وَلَمْ يَنْهَ عَنْهُ إِذَا كَانَ يَسِيرًا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
“Para fuqaha’ telah sepakat bahwa boleh bagi seorang istri bersedekah dari rumah (harta) suaminya kepada peminta atau selainnya dengan izin yang jelas dari sang suami. Sebagaimana boleh menurut jumhurul ulama bagi seorang istri bersedekah dari harta suaminya dimana sang suami tidak mengizinkan dan tidak melarangnya. Hal ini ketika harta yang disedekahkan itu jumlahnya sedikit.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, cet-1, Mesir-Dar ash-Shofwah, juz, 36, h. 326).
Dari pemaparan mengenai pandangan jumhurul ulama yang memperbolehkan seorang istri memberikan sedekah dari harta suaminya setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa dalam sedekah tersebut tidak mengganggu kebutuhan primer keluarga seperti kebutuhan suami dan anak. Pihak suami mengetahui bahwa sang istri bersedekah dengan hartanya tetapi mendiamkan saja. Sepanjang hal ini terpenuhi maka tidak menjadi persoalan. Namun jika suami melarang tentunya tidak diperbolehkan.
Mahbub Ma'afi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua