Bahtsul Masail

Bolehkah Mempercayai Ramalan Zodiak dalam Islam?

Sab, 17 Februari 2018 | 07:02 WIB

Bolehkah Mempercayai Ramalan Zodiak dalam Islam?

(via carmudi.co.id)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, saya mau bertanya. Apakah Islam mengharamkan kita untuk mempercayai ramalan zodiak? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nikko V E)

Jawaban
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Masalah yang ditanyakan tampaknya lebih dekat dengan persoalan akidah, bukan persoalan fiqih. Dengan demikian kami mencoba mengulas masalah ini dari sudut pandangan akidah. Artinya, pembahasan ini tidak berujung pada halal, haram, sah, batal, maslahat, dan mudarat.

Pertama sekali, kita coba melihat zodiak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI memaknai zodiak sebagai lingkaran khayal di cakrawala yang dibagi menjadi dua belas tanda perbintangan, yaitu Aries, Taurus, Gemini, Kanser, Leo, Virgo, Libra, Skorpio, Sagitarius, Kaprikornus, Akuarius, dan Pises; rasi (bintang). Sedangkan ramalan zodiak lebih dekat maknanya dengan astrologi. Astrologi atau nujum dalam KBBI ialah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang.

Dari sini kita mendapatkan gambaran bahwa ramalan zodiak adalah ramalan yang didasarkan pada dua belas tanda bintang yang dikaitkan dengan dua belas bulan kelahiran seseorang. Praktik ramalan itu sendiri dilakukan dengan cara mengaitkan karakteristik khas yang disematkan pada tanda bintang tertentu dan bulan kelahiran seseorang sehingga karakteristik khas itu tampak berkaitan erat dengan, atau bahkan menentukan jalan nasib seseorang yang lahir pada bulan tersebut.

Lalu bagaimana kita sebagai umat Islam memandang masalah ramalan ini?

Pertama sekali yang perlu kita katakan adalah bahwa nasib itu adalah masalah ghaib. Sedangkan yang ghaib itu berada di tangan Allah. Artinya, kita harus berbaik sangka kepada Allah (husnuzzhan) bahwa bulan apapun kita dilahirkan adalah bulan baik. Dengan kata lain kita harus optimis dengan nasib dan masa depan kita.

Lalu bagaimana kita memaknai ramalan zodiak atau ramalan lainnya?

Dalam kajian Islam, kita mengenal hukum aqli (wajib [sesuatu yang pasti ada], mustahil [sesuatu yang pasti tidak ada], jaiz [sesuatu yang bisa jadi ada dan bisa jadi tidak ada]), hukum syari (wajib, sunah, haram, makruh, mubah, sah, batal), dan hukum adi (hukum kebiasaan).

Ramalan zodiak dan apapun bentuk sebab-akibat merupakan hukum adi. Hukum adi secara utuh disebutkan oleh Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Yahya ketika mengulas akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam Kitab Sifat Dua Puluh berikut ini:

“Artinya hukum adi yaitu menetapkan suatu barang bagi suatu barang atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran berulang-ulang serta sah bersalahan dan juga dengan tiada memberi bekas salah suatu itu pada yang lain,” (Lihat Sayid Utsman bin Yahya, Kitab Sifat Dua Puluh [Indonesia, Syirkah Maktabah Al-Madaniyyah] halaman 4).

Dalam konteks hukum adi ini, bisa jadi ramalan zodiak itu lahir dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti sehingga kaitan antara nasib atau karakter tertentu dan bulan tertentu tampak sangat erat. Dalam hal ini kita boleh saja mempercayai ramalan tersebut sebagai sesuatu yang berulang-ulang dan sah bersalahan, sama halnya kita mempercayai bahwa parasetamol adalah obat yang bersifat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan panas (KBBI).

Hanya saja, kita perlu ingat bahwa hubungan keduanya sah bersalahan. Artinya, ramalan itu bisa saja tidak terbukti sama sekali atau parasetamol itu tidak bekerja sama sekali dalam menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan panas. Dengan kata lain, kita tidak mempercayai bahwa hubungan bulan kelahiran dan nasib atau karakter kita itu bersifat mutlak. Kita tidak mempercayai bahwa hubungan parasetamol dan kesembuhan itu bersifat mutlak. Singkat kata, ramalan itu atau efek obat itu omong kosong belaka.

Guru kami almarhum KHM Syafi’i Hadzami mengambil contoh uang dalam masalah ini.

“Umpamanya saja uang. Uang itu mempunyai khasiat, menggirangkan, dan melegakan hati. Orang yang banyak uangnya, kelihatan segar, gampang ridhanya. Dan orang yang tidak punya uang, kelihatannya lesu, gampang marahnya, sering uring-uringan. Itu namanya khasiat uang. Tentu saja tidak dimaksudkan bahwa uang itu mempunyai ta’tsir (pengaruh-red) demikian. Yang dimaksudkan adalah menurut adat atau kebiasaan saja, atau pada umumnya yang juga tentunya dapat bersalahan dari ketentuan tersebut,” (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Seratus Masalah Agama [Kudus: Menara Kudus] juz III, halaman 38.

Lalu bagaimana kita menempatkan relasi sebab-akibat atau letak zodiak saat seseorang lahir dan nasibnya? Syekh Ibahim Al-Baijuri menyebut sedikitnya empat sikap manusia memandang relasi tersebut.

اعلم أن الفرق في هذا المقام أربعة الأولى تعتقد أنه لا تأثير لهذه الأشياء وانما التأثير لله مع إمكان التخلف بينها وبين آثارها وهذه هي الفرقة الناجية، الثانية تعتقد لا تأثير لذلك أيضا  لكن مع التلازم بحيث لا يمكن التخلف وهذه الفرقة جاهلة بحقيقة الحكم العادي وربما جرها ذلك إلى الكفر بأن تنكر ما خالف العادة كالبعث، الثالثة تعتقد أن هذه الأشياء مؤثرة بطعها وهذه الفرقة مجمع على كفرها، الرابعة تعتقد أنها مؤثرة بقوة أودعها الله فيها وهذه الفرقة في كفرها قولان والأصح انها ليست كافرة

Artinya, “Perlu diketahui bahwa manusia dalam kedudukan ini terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh apapun pada benda-benda itu. Yang memberi pengaruh hanya Allah disertai kemungkinan bersalahan antara sebab dan akibatnya. Inilah kelompok yang selamat. Kedua, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh apapun pada benda-benda itu, tetapi meyakini kelaziman antara sebab dan akibat sekira tak ada kemungkinan bersalahan. Ini adalah kelompok yang tidak mengerti hakikat hukum adi, dan terkadang dapat membawa kelompok ini pada kekufuran di mana mereka mengingkari sesuatu yang bertentangan dengan adat, misalnya kebangkitan. Ketiga, kelompok yang meyakini bahwa segala benda itu dapat memberi pengaruh karena tabiatnya. Kekufuran kelompok ini disepakati ulama. Keempat, kelompok yang meyakini bahwa benda-benda itu memberi pengaruh karena kekuatan yang Allah titipkan di dalamnya. Perihal kekufuran kelompok ini, pendapat ulama terbelah menjadi dua. Pendapat lebih sahih menyatakan bahwa kelompok ini tidak kufur,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam [Indonesia: Darul Ihyail Kutubil Arabiyah] halaman 44).

Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan sebab dan akibat atau posisi zodiak (horoskop) ketika seseorang lahir dan nasibnya dapat kita percayai dalam konteks hukum adi, yaitu sesuatu yang sah saja secara akal sehat bersalahan. Dalam relasi sebab dan akibat, berapa banyak orang bekerja keras keluar pagi dan pulang sore tetapi tetap bernasib kurang beruntung terlepas variabel lain. Dalam relasi posisi zodiak ketika seseorang lahir dan nasibnya, berapa banyak orang yang memiliki karakter berjauhan dengan ramalan zodiaknya. Dalam khasiat uang, berapa banyak orang yang bahagia meski hanya memiliki sedikit uang. Dan berapa banyak orang yang tertekan dan sulit bahagia meski memiliki banyak uang. Pasalnya, penentu dan sebab mutlak adalah Allah SWT.

Kita kembali lagi harus berbaik sangka kepada Allah bahwa hari dan bulan apapun kita dilahirkan adalah hari dan bulan baik. Posisi zodiak dan nasib kita sama sekali tidak memiliki pertalian mutlak karena yang menentukan dan berpengaruh adalah Allah SWT.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)