Bahtsul Masail

Haruskah Kita Membayarkan Zakat ke Mustahik Secara Merata?

Rab, 1 Maret 2023 | 12:00 WIB

Haruskah Kita Membayarkan Zakat ke Mustahik Secara Merata?

Distribusi zakat. (Ilustrasi: NU Online)

Assalamu ‘alaikum wr.wb

Yth. Redaktur NU Online. Izin bertanya, saya memiliki harta yang sudah mencapai nishab dan bermaksud menyucikannya dengan berzakat. Apakah nilainya boleh dipecah untuk diberikan kepada lebih dari satu orang, atau harus diterima oleh satu orang saja? Terima kasih.


Jawaban

Wa’alaikum salam wr.wb.

Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Zakat adalah perintah Allah untuk menyucikan harta yang kita miliki. Dengan berzakat berarti kita telah memberikan sebagian hak orang-orang yang membutuhkan melalui rezeki yang kita dapatkan. Membayar zakat bagi yang telah memenuhi syarat dan rukunnya adalah wajib sebagai bagian dari menunaikan rukun islam.


Adapun golongan penerima zakat terbagi menjadi delapan golongan yaitu orang fakir, orang miskin, petugas amil zakat, orang yang baru masuk Islam (mualaf), memerdekakan hamba sahaya, membebaskan orang yang berhutang, berjuang meluhurkan agama Allah (fi sabilillah), dan orang yang sedang berada dalam perjalanan (ibnu sabil).


Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:


إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم


Artinya,“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, petugas amil zakat, orang yang baru masuk Islam (mualaf), memerdekakan hamba sahaya, membebaskan orang yang berhutang, berjuang meluhurkan agama Allah (fi sabilillah), dan orang yang sedang berada dalam perjalanan (ibnu sabil) sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,” (Qs At-Taubah ayat 60).


Menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan mazhab Hanbali tidak ada kewajiban memberikan zakat secara merata kepada delapan golongan penerima zakat baik bagi pembayar zakat (muzakki), pemerintah (al-imam), maupun petugas pembagian zakat (as-sa’I). 


Tidak adanya kewajiban meratakan pemberian zakat ini secara mutlak baik harta zakat berjumlah banyak maupun sedikit. Bahkan, diperbolehkan membayar zakat hanya kepada satu orang saja selama tidak lebih dari kadar kecukupan biaya hidup satu orang tersebut. Misal, pak Zaid ingin membayar zakat senilai empat ratus ribu rupiah maka ia cukup memberikan zakatnya kepada satu orang fakir saja.(Kementerian Wakaf Kuwait, Mausu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [Beirut: Darussalasil, 2002] juz.23 hal.329)


Menurut Syekh Ahmad as-Shawi dan mayoritas ulama mazhab Maliki huruf  jer lam pada lafal lil fuqara’ dalam ayat di atas bertujuan menunjukkan tujuan alokasi (tasharruf) zakat bukan kepemilikan zakat. Menurut mazhab Maliki, ayat diatas memberikan pilihan kepada muzakki mengenai tujuan alokasi zakat bukan berarti setiap golongan penerima zakat berhak mendapatkan bagian dari zakat setiap muzakki. (Ash-Shawi Ahmad bin Muhammad, Hasyiyatus Shawi ala Syarhis Shaghir [Kairo: Darul Ma’arif, 2002], juz I, halaman 665).


Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad al-Qaduri dan mayoritas ulama mazhab Hanafi tidak ada kewajiban meratakan pembayaran zakat merujuk pada para shahabat Rasulullah yang hanya membagikan zakat kepada satu golongan saja. Hal ini dikuatkan dari sebuah riwayat:


روي عن معاذ بن جبل أنه كان يأخذ من أهل اليمن الزكاة ويجعلها في صنف واحد من الناس ولا يعرف له مخالف في السلف فصارذالك إجماعا


Artinya, “Diceritakan dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa beliau mengambil zakat dari penduduk Yaman dan menjadikannya (memberikannya) kepada satu golongan dari manusia dan beliau tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat (atas kebolehan pembagian tersebut) dari ulama salaf maka hal ini menjadi ijma’ (kesepakatan ulama),” (Al-Qaduri Ahmad bin Muhammad, At-Tajrid lil Qaduri [Kairo: Darussalam, 2006 M], juz VIII, halaman 4187).


Menurut Syekh Manshur bin Yunus al-Buhuti dan mayoritas ulama mazhab Hanbali tidak ada kewajiban meratakan pembayaran zakat karena ada ayat al-Qur’an yang membolehkan membayarkan zakat hanya kepada orang-orang fakir.(Al-Buhuti Manshur bin Yunus, Daqaiq Ulin Nahyi [Beirut: Darul Fikr: 1993 M], juz I, halaman 462).


Ayat al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah


وإن تخفوها وتؤتوها الفقراء فهو خيرلكم


Artinya, “Dan jika kamu menyembunyikannya (sedekah) dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu,” (Qs Al-Baqarah ayat 271).


Sedangkan menurut mazhab Syafi’i wajib membagikan zakat kepada delapan golongan penerima zakat. Hal ini karena huruf jarr lam di sini bermakna tamlik (kepemilikan) serta huruf wawu ‘athaf bermakna musyarakah (kepemilikan bersama). Walhasil, pemerintah (al-imam) harus membagikan zakat secara merata kepada delapan golongan penerima zakat. Hal ini karena setiap harta zakat adalah milik bersama bagi delapan golongan penerima zakat.


Sedangkan muzakki (pembayar zakat) sangat dianjurkan membagikan secara merata kepada delapan golongan bila memungkinkan. Seandainya tidak memungkinkan maka muzakki membagikan zakat kepada golongan-golongan yang ditemui di daerahnya. Dan harus membagikan zakat minimal kepada tiga orang dari setiap golongan penerima zakat. (Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu [Beirut: Darul Fikr, 2002 M], juz III, halaman 1950)


Simpulan yang bisa kita pahami di sini adalah:


1. Menurut mazhab Syafi’i, wajib membagikan zakat kepada delapan golongan penerima zakat dengan merata ataupun minimal kepada golongan-golongan yang ditemukan di daerahnya. Dan minimal memberikan zakat kepada tiga orang dari setiap golongan penerima zakat.


2. Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak ada kewajiban membagikan zakat secara merata kepada delapan golongan penerima zakat. Bahkan, dibolehkan membagikan zakat hanya kepada satu golongan penerima zakat saja juga dibolehkan memberikan zakat kepada satu penerima zakat saja sesuai dengan kadar kecukupannya.


Demikian jawaban saya. Semoga bisa dipahami. Kami terbuka menerima saran dan masukan. Terima kasih. Wallahu ’alam.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Wassalamu ’alaikum wr.wb.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir